Thursday, December 23, 2010

Reminder, No More

I made this post more to remind myself.

Things had been changed in late 6 months. Senior highschool shows me how the real life was and it give a real great cultureshock. I was destroyed to my essence, I was crushed to my bones. My pride, my confidence, my fortress and walls; they were crumbling down. All happened when I realized that I am a creature of no good. I am a trash; I am a wimp; I am nothing. No matter how I looked like, no matter how people see me, I am no more than a useless person—a dust.

I do not even know, is this because I know myself way too good, or instead, because I do not know who I am?

And should I tell you about how lonely I am now? I lost my bestfriends physically. Though they are trying as best as they can to keep being with me, they are not close anymore; they are afar, physically. I can not lie to myself that that was hard. I does not mean that I do not have any friend right now; I have a lot of them. But, still, that special bond that I used to share with my bestfriends; these new friends did not have it. I do not have any place to run to; or maybe I could. But I can not stop my eyes from seeing these people's flaws. Somehow, I have forgotten the way to see their lights and keep being blinded by their shadows.

Even I have lost my luck in love. I am not saying that I always lucky in that kind of thing; but it turns to be even more difficult than before. I feel hollow, so dull, and it was because my heart being tormented and tortured so often until it lost its ability to feel. You do not know how hard this was for me, to walk through this feet-burning desert, alone; nobody knows this, nobody understands; and nobody will. I am not expecting them to.

Is it hard for me? Yes, it is hard. Can't you see how I am aching right now, how suffering I am? Days to days I cried silently, deep down inside the most secret shrine of my heart. For whom I cried? For anything. To whom I yelled? To anything. Humans, nature, plants, God. But why didn't I fight for myself, why didn't I show them my pride?

Because, maybe this is the best thing that could have happen—to be alone. I found the solitudity I need to reorganize myself; and I am not burdening those people I love. Yes, I choose sacrifice; yes, I choose martyrdom.

Yes, this blogpost is a bullshit, especially regarding the fact that the original one had been erased by this Compaq's Microsoft Word 2007's stupidity. But still, I need this to remember one thing true that I found.

That I used to be a bitch. I used to stand up tall, with my head held high and eye beaming confidence more than anybody else. I used to be strong and shiny, with my feet walk on this earth like the world is no more than a single red-carpet made for me. I used to found my power in singularity and keep moving on like I do not need any love from any human.

I used to be alone—and keep being strong in my loneliness.

And now, why can't I be a bitch again? Why can't I stand up tall again, why can't I being shiny again? Is there anything to stop me? No, there is nothing except my own eyes which keep seing flaws. So, why should I keep crying and moaning and begging for my fall?

No, I will not be a trash anymore; nor a wimp, nor nothing. I will rise again as Muhammad Akib Aryo Utomo, who walks in the earth with that eye-blinding confidence and toughness. I will be a bitch again; I will be able to say this again, easily, "Who needs any partner? We all can survive in our singularity."

This magnificently bad blogpost will be a reminder for me—that I have got to rise once more and keep moving on. A new year is going to come; and a new Muhammad Akib Aryo Utomo is going to shine.

So, beware, world; a bitch will march in your parade.

Saturday, December 4, 2010

Hopelessness

Ada sebuah lahan kosong di samping jalan masuk menuju perumahan saya. Tidak ada bangunan berdiri di atasnya, hanya ditumbuhi oleh sebuah pohon saja. Seperti lahan kosong lainnya, yang dibengkalaikan dan tidak dirawat, tidak ada seorang pun yang memerhatikan lahan tersebut. Rumputnya dibiarkan saja tumbuh; daun-daun kiring dibiarkan saja berserakan; bahkan kadang-kadang, sampah dibiarkan dibuang sembarangan. Orang-orang berlalu lalang di sekitarnya, tanpa peduli sedikitpun terhadap lahan tersebut.
Siang ini, kira-kira pukul satu tadi, saya pulang dari sekolah. Seperti biasa, saya melewati lahan kosong tersebut. Biasanya, saya melirik lahan tersebut pun tidak. Namun, siang ini ada satu pemandangan yang mau tak mau menarik pandangan saya, hingga saya terngiang-ngiang setelahnya.
Di tengah-tengah daun yang berserakan tersebut, terduduk seorang nenek. Nenek tersebut, begitu saya berasumsi, adalah seorang gelandangan. Beliau ndeprok, ndelosor (begitu istilah Jawa-nya), berbaur sepenuhnya bersama daun-daun kering dan sampah yang bahkan hampir menyamarkan beliau. Rambut berubannya dibiarkan tergerai, menjuntai menutupi wajahnya yang dipenuhi guratan nasib. Pakaiannya lebih reyot daripada pakaian gelandangan manapun yang pernah saya lihat. Ia tidak membawa banyak barang, yang terhampar bersama daun-daun kering.
Di sebelahnya, terkamuflase oleh ilalang dan daun-daun di sekitarnya, terdapat sebuah nyala api. Sekilas saya menyangka bahwa nyala itu berasal dari kompor—mungkin nenek tersebut membawa kompor, begitu saya berpikir sesaat. Namun, setelah saya perhatikan dalam observasi singkat tersebut, ternyata api tersebut tersulut dari daun-daun kering dan sampah yang dikumpulkan oleh beliau. Di atas api tersebut beliau tengah memasak—atau merebus—sesuatu, entah apa, di dalam kaleng biskuit yang sudah berjelaga.
Nenek tersebut tidak memandang kendaraan di sekitarnya. Bahkan, beliau tidak memandang jalanan. Ia hanya meneleng sedikit ke kaleng yang ia gunakan sebagai panci tersebut, namun pandangannya menerawang sesuatu yang tidak mampu saya bayangkan. Ekspresi beliau susah ditebak—bagi saya, adalah ekspresi penguatan; saat seseorang merenungi nasib dan berusaha tabah. Beliau tampak begitu rapuh dan lemah. Tanpa daya, tanpa harapan. Hopeless.
Saya tidak pernah melihat pemandangan semenyedihkan itu. Untuk sesaat, ketika saya melewati sang nenek, perhatian saya hanya terarah kepadanya. Dunia sunyi saat sesuatu di dalam diri saya mulai bertanya-tanya, putus asa dan penuh rasa iba: Siapakah nenek tersebut? Mengapa ia bahkan memasak di tengah lahan saat mendung seperti ini? Mengapa ia menggelandang? Tidakkah ada yang menolongnya? Tidakkah aku bisa menolongnya? Tidakkah aku seharusnya menolongnya?
***
Saya tiba di rumah, akhirnya. Namun, sepanjang perjalanan, saya hanya teringat oleh nenek tersebut. Saya memandang rumah saya. Rumah saya tidak besar—bahkan cenderung kecil dan sempit. Namun, tetap, bagaimanakan itu merupakan sebuah rumah. Even, it’s not just a house; it’s a home, with a family who live inside. Sedangkan nenek tersebut, saya bahkan tidak mampu membayangkan beliau memiliki sepeser saja uang; apalagi membayangkan beliau memiliki rumah dan keluarga. Saya hanya mampu membayangkan nenek tersebut menggelandang di jalanan setiap hari, sendirian, tanpa kasih sayang sedikitpun.
Batin saya tidak tenang. Terutama apabila saya teringat oleh kaleng di atas api tersebut. Itu salah satu hal yang paling membuat saya terenyuh. Bahkan, sebuah panci yang memadai pun tidak dimiliki oleh nenek tersebut. Penggantinya, beliau menggunakan kaleng biskuit—yang jelas sudah tidak sehat lagi untuk dimasak. Lebih parah lagi, saya tidak tahan membayangkan apa yang sedang dimasak oleh nenek itu. Bagi saya, beliau tidak mungkin membeli air matang, sedangkan sumber air di sekitar lahan itu hanya berasal dari… Ya, dari sawah atau dari comberan.
Sungguh, saya tidak pernah mengira bahwa hal tersebut akan terjadi di dunia selepas abad ke-19 awal.
Melihat masih ada satu orang di dunia yang mengalami nasib seperti gelandangan Inggris pada Era Victoria membuat saya terenyak. Tidak pernah, tidak pernah saya sadari dengan betul, bahwa di dunia ini, masih ada orang yang kehidupannya bahkan lebih keras daripada yang dituliskan novel-novel. Oke, saya menyadari bahwa hal tersebut terjadi di dunia; namun, di bagian dunia yang lain. Mendapati bahwa peristiwa sosial seperti itu terjadi di sekitar lingkungan tempat tinggal saya benar-benar memberikan sebuah gegaran mengejutkan bagi kesadaran saya.
Saya selama ini telah begitu beruntung. Saya dibesarkan oleh sebuah keluarga berpendidikan yang senantiasa mengasihi dan memperhatikan saya. Kami memang tidak kaya; tetapi, orangtua saya selalu mencukupi kebutuhan saya. Dari hal sesimpel pangan, di mana saya selalu makan tiga kali sehari, dengan lauk yang tidak kurang dari sebuah tempe; hingga hal sepenting pendidikan, di mana saya bersekolah di salah satu sekolah favorit yang tidak bisa dibilang murah; bahkan hingga pemenuhan kebutuhan tersier seperti buku hingga laptop. Secara materi, saya cukup. Memang, tidak mewah; namun, saya termasuk berkecukupan untuk standar Indonesia.
Dari segi afeksi, kasih sayang, saya mendapatkan segalanya. Saya memiliki dua orangtua berpendidikan yang membesarkan saya dalam nilai-nilai spiritual, moral, intelektual, dan budaya yang amat kental. Saya juga memiliki seorang kakak yang benar-benar menjadi mentor kehidupan saya, menjadi role model dalam berbagai hal pula. Bahkan, sebagai tambahan, budhe saya juga tinggal di rumah, ikut merawat saya dari kecil, menimang dan mengemong saya meski saya rewel dan bandel; dan hingga setahun lalu, ada nenek saya yang telah ikut membesarkan saya dan kakak dari lahir; mewariskan ribuan tradisi dan nilai moral kebudayaan Jawa yang mengagumkan, serta dengan gigih mendidik saya untuk melestarikan nilai-nilai tersebut bahkan ketika saya beranjak dewasa dan liar. Terlepas dari masalah-masalah yang ada dalam keluarga saya, saya dibesarkan, secara umum, dalam keluarga baik-baik.
Saya yakin, tetap ada keluarga yang lebih sejahtera dari beberapa segi dibandingkan saya; namun, itu bukan berarti keluarga saya buruk. Tidak sama sekali. Saya mendapatkan keluarga yang sangat baik. Saya mendapatkan segala yang saya butuhkan dalam hidup saya. Kehidupan saya tidak mewah; tetapi, normal dan cukup.
Bahkan, sekarang saya sadari, saya tidak mungkin mendapatkan—atau meminta—sebuah keluarga—atau kehidupan—yang lebih baik lagi.
***
Dan saya selama ini selalu meratapi kondisi saya.
Tidak saya pungkiri, ada rasa iri ketika orang lain tampaknya mendapatkan kemudahan-kemudahan dari segi material. Oke, itu alamiah sebagai manusia. Kadang-kadang, saya juga sangat dongkol ketika berbagai problem merundungi saya. Saya benci ketika saya tidak diberikan privilege seperti remaja cowok lain pada umumnya. Saya marah ketika harus menghadapi berbagai problem yan, ,sering saya pikir, tidak seharusnya saya dapatkan. Saya murka ketika hal-hal tidak terjadi seperti nilai-nilai ideal perfeksionisme saya.
Tetapi, mendapati bahwa ada nenek yang lebih tidak berdaya dibandingkan keluarga saya, menghantam saya dengan pukulan yang lebih berat—bahwa saya adalah orang yang bahkan lebih hopeless lagi. Saya telah memiliki begitu banyak pemberian Tuhan; tetapi, saya buta terhadap semuanya; bahkan, saya selalu menuntut untuk diberi lebih banyak lagi. Padahal seharusnya semua itu cukup untuk hidup di dunia dengan baik. Sesungguhnya, semua itu lebih dari cukup—sesungguhnya, saya bisa memanfaatkan semuanya untuk membuat hidup orang lain lebih baik juga.
Namun, bahkan untuk menolong sang nenek pun, saya tidak berdaya. Sempat terpikir oleh saya untuk menolong nenek itu; tetapi, pada akhirnya, saya tidak melakukannya. Mengapa? Saya terperangkap dalam batasan dan kekurangan yang sesungguhnya saya ciptakan sendiri. Entah batasan itu dalam bentuk alasan saya tidak memiliki uang cukup pada saat kejadian; atau saya tidak memiliki makanan untuk diberikan; atau saya tidak tahu bagaimana tindakan yang paling baik untuk menolong beliau.
Semua itu omong kosong. Semua itu sampah; semua itu bullshit. Alasan-alasan yang saya miliki sesungguhnya adalah keterbatasan yang saya miliki sendiri. Sesungguhnya, apabila saya menentang semua pikiran itu dan bersikap masa bodoh, saya pasti telah berbuat sesuatu untuk menolong nenek tersebut. Entah dengan tindakan apapun, entah bodoh entah brilian, entah memalukan entah membanggakan. Namun, saya pasti sudah bertindak. Saya berbuat sesuatu dan itulah yang penting.
Tetapi, bagaimana kenyataannya? Saya justru duduk di depan komputer, mengetik post ini di dalam rumah saya yang aman dan nyaman, menumpahkan segala kegelisahan, kegundahan, dan ratapan saya—sementara seharusnya saya berada di luar sana, melakukan tindakan entah apa bagi sang nenek, apabila saya adalah manusia yang benar-benar baik. Namun, dengan malu saya mengakui bahwa saya bukan manusia yang baik. Sungguh memalukan, saya justru salah satu tipe manusia yang paling buruk—manusia yang terbatasi oleh kelebihannya sendiri; manusia yang tidak berdaya oleh daya gunanya sendiri. Itu merupakan hal paling hina yang ada di dunia; dan saya terjebak di dalamnya.
Maka, ketika saya akhirnya benar-benar menyadari apa yang harus saya lakukan, semuanya sudah terlambat. Hujan akhirnya turun dan saya terjebak dalam ketidakberdayaan yang paling menyakitkan.
***
Saya tahu bahwa yang saya lakukan sekarang ini adalah tindakan yang tidak terpuji. Saya tahu bahwa saya telah melakukan hal yang sangat memalukan. Meskipun saya yakin, tanpa bermaksud menjustifikasi diri saya sendiri, bahwa di antara para pembaca pasti pernah berada di posisi saya paling tidak satu kali. Walau bagaimanapun, itu tidak membenarkan apa-apa: saya masihlah orang yang sangat memalukan. Saya orang yang paling tidak berdaya.
Oleh karena itu, saya harap para pembaca bertindak lebih baik daripada saya. Dibatasi oleh ketidakterbatasan kita adalah hal paling memalukan yang ada di dunia. Kita seharusnya tidak perlu ragu untuk mendayagunakan hal tersebut demi kebaikan. Kita tidak perlu berpikir dua kali—segera saja lakukan, whatever the risk we are taking. Saya telah melakukan kesalahan besar dengan berpikir ulang mengenai berbuat sebuah kebaikan; saya harap, Anda tidak mengulangi kesalahan saya tersebut.
Jangan sampai Anda terjebak dalam ketidakberdayaan ini, a hopelessness caused by too much hopes to be shared. Jangan ulangi kesalahan saya; kita hanya akan menjadi manusia yang lebih buruk daripada sebelumnya. Dayagunakan segala potensi Anda; olah segala ketidakterbatasan Anda; bagikan semaksimal mungkin segala kelebihan Anda.
Sehingga tatkala hujan turun di tempat Anda, dengan intensitas yang membuat tiap orang terjebak di dalam rumahnya, Anda tidak akan terjebak dalam ketidakberdayaan seperti yang saya rasakan sekarang ini.
Jumat, 03 Desember 2010

Thursday, September 16, 2010

Shadow and Smoke, Mirror and Dust (The Horse Riders)


I never know how it feels like to love a shadow.

You cannot see what shadows really are, you cannot see what their true selves are: You seemed to know them really well. You can see how their shapes are; but those are just their shapes. Their skin. Their appearance. You do not know what hides inside their darkness. When you try to enter their soul, all you can see is black, blindness. You try to dig deeper and deeper; but there is nothing inside except its gloom that hides their true personality.
That is shadow. A blinding dark veil, that hides the light inside from those who seek.

I never know how it feels to love a smoke.

Smoke has a labyrinth inside their minds, with crossing roads, contradictive paths, confusing ways, riddling alleys, and cul-de-sacs everywhere. They shall cover you with mists, then leave you standing alone in the fog, with no help. You try to walk through the grim haze. But smoke is a puzzle with too many missing puzzles; it can not be finished. You will trapped inside the labyrinth—the ashes hurt your eyes and blur your mind, but they keep you walk and walk; though more the steps you take, the more you will get lost inside.
That is smoke. A labyrinth of borderless horizon, that hold people inside their endless riddles.

I never know how it feels to love a mirror.

Mirror can give you a thousand of visions. They will show you the happiness, they will show you the cheer. They will display mirth; they will display joy. Illusions of everything that shall bring you to the highest point of a roller coaster. But those are illusions; those are visions. You cannot hold on to dreams; you cannot live in imaginations. Everytime you try to chase those sightings you will struck an undefeatable wall of glass. You can stare at those fantasies, but you cannot live with it. You can escape to the reflections, but the reflections can escape from you too.
That is mirror. The treasure chest of fantasies, that enchant people to stare at their joyous lies.

And I never know how it feels to love a dust.

Dusts are the most dynamic of things—they always move; they always change; they never stops. With the wind they blow to their own points. It is hard to understand their virtues, to follow their movements, to reach their destinations. But they always want you to follow their sparks. They want you to fly with the pollens. But their goals are vague and fading, while their wishes cannot being questioned. You try to hold them down, you try to make them move slower—but they are dusts. They are unstoppable, they are untouchable. Each time you try to keep them for yourself, they just fly away, far and unreachable.
That is dust. The moving thing, that you cannot bound, but bound you to their movements.

***

But you are those things.

You are a smoke and a mirror. You are a shadow and a dust. Like the four horse rider of apocalypse, you are a unity who bring people to their doom. With your charming incantations, you spell people to be attracted to you. With your undeniable charisma, you force people to like you. With your problematic personality, you enchant people to love you.
With your everything, you made me fall for you.

I love you till the death. And now I am dying.

Everything about you ruin all the rationality and sanity left in my mind. For the first time, I feels like an idiot—I am insane, I am crazed of you—totally. You are the greatest culture shock I ever had in my life, and now my foundations are crumbling. You are the most dangerous virus I ever had, and now you slowly took my soul and my life. I am dying because of you—literally. I want to give you all the things I have in the world, and I would. But the question is, would you? With your shadow and smoke and mirror and dust, you keep me hanging in uncertainity. I am trapped inside these walls of doubt, with the great unknown in my head.
They said, 'the great unknown' is the death itself. I said, 'the great unknown' is you.

I love you till the death.

Why won't you realize this? I would give my all. All I need to know is a bit of certainity. You said, you love me—or, at least, you have an undescribed feeling of affection. Then for the God's sake, show me. I do not wish you to decide this quickly. You know I will always love me, no matter how long I should wait for the big "yes".
I just need a goal. I just need a clearance. I just need to to know, does my battle worth it? Do I am dying for something worth dying for? Or am I a fool victim of love?

I am dying.

I am hanged—but I am not dead. Yet, I do not live. My final destiny is in your hand. If you could, and you would, give your all—then cut this rope; show me a bit of respect and affection; do not be cold. If you could not, and you would not—then pull the knot; leave me here alone, do not come closer, do not play with my feelings.
All I need is sign. Sign. You don't have to decide or declare it this quickly. Because whenever you will made the decision, I will always be able to wait. Because whatever the decision you made, I will always love you.

So show me.

Monday, June 28, 2010

Selibat


Tuhan adalah pelindungku
Saat kejahatan menyerang Ia menebarkan perisaiNya
Saat dilema menghadang Ia menunjukkan jalanNya
Saat rapuh menghantam Ia memberikan kekuatan

Tuhan adalah penghiburku
Dia memberiku penenangan saat aku terpaksa memalingkan muka dari dunia,
saat memalingkan muka dari dambaku sendiri
Dia memberiku kekuatan tatkala aku harus mematahkan hatinya,
tatkala aku harus mematahkan hatiku sendiri

Tuhan adalah sahabatku
Menjadi pegangan ketika aku harus memilih nasibku dan nasibnya
Menjadi teman saat aku terpaksa meninggalkannya di belakang
Menjadi tumpuan ketika tiada manusia menjadi tempatku bersandar
Menjadi bahu tempat terisak tatkala tidak ada yang bisa kulakukan selain menangis



Di depan hanyalah kegelisahan, dengan patah hati di kedua cabangnya
Di depan hanyalah persimpangan, dengan pahit di kedua ujungnya
Menekan batin, menuntut jiwa, menanyakan kesetiaan
"Yang manakah, yang akan kaupilih, Manusia?"

KepadaNya aku terikat, jiwa dan raga
yang kini meretih, menggelepar, mendamba
menangis pilu; meronta marah; meratap pedih
karena ekspetasiNya menentang harapan
perintahNya membelenggu keinginan

Saat perintahNya menyebabkanku remuk dan hancur
Saat laranganNya memaksaku bersimpuh terisak
Saat hukumNya meninggalkanku merana dan sengsara
Aku berlutut dalam siksa yang menyayat tubuh, menyakiti hati

Karena nafsuku menentang moral
Tindakanku menentang nurani
Keinginanku mengingkari komitmen
Hasratku membuahkan pengkhianatan

Kepada siapa aku harus tunduk, kepada apa aku harus patuh?
Saat ketidakadilan dunia akhirnya menyergapku dalam kemarahan
Betapa aku mendamba yang terlarang! Betapa aku menginginkan yang terkutuk!
Bagaimana Dia tega menimpakan ketimpangan ini kepadaku?

Tetapi, yang Dia tanyakan, selalu
"Kepada yang mana, kau akan berserah diri, Manusia?"


Tuhan adalah sukacita
Ia akan menganugerahkan kebahagiaan yang belum mampu kulihat
Ia akan memberikan kedamaian yang belum dapat kurasa
Ia akan menunjukkan berkah yang belum kusadari

Tuhan adalah kedamaian
Jalanku adalah cintaNya; petunjukku adalah kasihNya
Hidupku sepenuhnya pemberianNya; napasku sepenuhnya milikNya

Tuhan adalah kekasih
Hanya kepadaNya hidupku pantas dipersembahkan
Hanya kepadaNya hatiku pantas dipasrahkan
Karena cintaku terlarang, dambaku terkutuk, untuk manusia


Tuhan adalah tempat berpasrah diri
Maka di saat aku berada dalam kesengsaraan ini,
aku melakukan satu-satunya yang bisa kulakukan:
Aku menyerahkan hidupku kepadaNya.


Maka dari itu, aku selibat.

Wednesday, June 16, 2010

Soliloquy of Solitude


from Oxford Advanced Learner's Dictionary:

Soliloquy—a speech in a play in a which a character, who is alone on the stage, speaks his or her thoughts aloud; the act of speaking thoughts aloud in this way

Solitude—the state of being alone, especially when you find this pleasant


Kupikir aku jatuh cinta

Tetapi dengan siapa? Aku tak tahu
Mereka semua seperti bayang-bayang; tak tersentuh,
tetapi kudamba
Namun mengapa tak ada yang benar kucinta?

Ada harapan
Aku bisa saja mencintainya
Namun aku tidak bisa; semuanya hanya terlalu konyol rasanya
Kau tahu, aku tidak hanya memliki harapan, namun juga mengharapkan
dan kulihat tak ada yang bakal menyanggupinya

Ataukah mereka akan?

Aku terlalu ragu untuk percaya dan terlalu takut untuk mencoba
Aku pernah patah hati; aku tidak ingin akan patah hati lagi
Letih rasanya, menguras tenaga untuk sebuah dusta
Kebohongan
Bayang-bayang

Dan jiwaku terbagi dua

Di satu sisi aku mencintai kesendirianku dan kebebasan mutlak di dalamnya
Aku bisa memilih langkahku sendiri tanpa perlu mempertimbangkan konsekuensinya
Aku tidak perlu terikat oleh belenggu dan rantai kisah-kasih menggelikan itu
Rasanya seakan merengkuh dunia; terbebas dari penjaraku
Seringan bulu dan semerdeka merpati

Di sisi lain… Well, ada kekosongan hampa di sini
Relung yang tiada terisi; ceruk yang terbuka lebar
Sepi yang dingin dan mengilukan hati, menumpulkan indra
Kerinduan absurd untuk terobsesi kepada sesuatu
Keinginan untuk memiliki sesuatu untuk dikasihi, diberi perhatian
dan untuk dimiliki sesuatu untuk dikasihi, diberi perhatian

Namun, sekali lagi, aku tak tahu ke mana langkahku
Seakan ada cahaya di depan—namun untuk melaluinya terbentang jurang
Jembatan yang remuk redam; ketakutan untuk melangkah
takut patah takut rapuh; takut jatuh
Takut bahwa selama ini harapanku, cahayaku,
hanya akan padam saat akhirnya teraih

Takut. Takut. Dan takut.
Dan aku tidak percaya kepada siapapun

Di sini aku meretih, sedih marah benci jadi satu
Sedih atas rasa kehilangan itu; marah karena menjadi begitu lemah
Benci atas segala kecengengan dan adiksi akut ini
Aku benci menjadi rapuh. Aku benci jatuh cinta
Aku tidak ingin jatuh cinta—kepada manusia,
apalagi kepada bayang-bayang
ataukah itu bayang-bayang? Aku tak tahu apa
karena entah kepada apa aku cinta?

Atau apakah aku jatuh cinta?

Apakah ini hanya ennui?
Kurasa ini hanya ennui, namun aku tidak yakin
Yang pasti itu mencekikku: melemahkan raga, melumpuhkan syaraf, membunuh imajinasi
Penenang sempurna bagi semangat untuk hidup dan beraksi
Kebosananan yang timbul karena kehampaan dan kesunyian
Ketiadaan tawa—ketiadaan canda—bahkan ketiadaan duka
Tanpa hitam tanpa putih; tanpa warna
Netral. Transparan. Kosong. Polos.

SEPERTI HILANG KEWARASAN! Aaargh, hidup yang tidak hidup dan tanpa kehidupan

Rasa itu bercampur aduk—sepi, kosong, bosan
Solituditas yang bisa saja menyenangkan, kesunyian yang bisa saja membebaskan
Merelaksasi diri dari hiruk pikuk dunia untuk sesaat—melegakan
Namun, bagaimanapun, sepi; karena itulah esensinya

Ajari aku untuk membebaskan diri dari belenggu ini—rantai ketidakberdayaan
Bagaimanapun caranya—entah dengan mencintai, melupakan, melepaskan, bekerja

Karena aku terkungkung sunyi,
solituditas ini.

June 13th, 2010

Wednesday, June 2, 2010

Nabi Tidak Menghakimi Fashionista

Anda mungkin tidak percaya bahwa judul di atas itu nyata—namun, kira-kira, begitulah adanya.
Rasulullah SAW, nabi besar penganut agama Islam, salah satu agama besar di dunia, memang tidak secara eksplisit mengatakan hal tersebut. Namun, secara implisit Rasulullah memberikan hadis yang, sekurang-kurangnya menurut pengertian saya, membela hak-hak fashionista seluruh dunia untuk mencintai merek-merek ternama seperti Dior dan Zara.
Kisahnya dimulai sewaktu saya mengikuti ibadah shalat Jumat di masjid Al Ahdhor, masjid perumahan saya, pada tanggal 29 Mei 2010. Khatib—pengkhotbah—nya adalah seorang sepuh di perumahan saya tersebut yang saya kenal sebagai Bpk. Sunyoto. Beliau adalah seorang Muslim yang taat dan memiliki pemilihan irama yang sangat unik saat shalat—agak lucu, namun uniknya menyenangkan.
Seperti biasa, khotbah beliau agak membosankan menurut standar saya; namun, saya masih berusaha mendengarkan, diselingi lamunan-lamunan dan imajinasi eksentrik saya. Khotbahnya bertutur mengenai takabur dan kesombongan. Secara garis besar adalah apa definisi sombong itu dan bagaimana cara menjauhi kesombongan.
Nah, sewaktu Bpk. Nyoto menjelaskan definisi inilah telinga saya—yang kebetulan agak memiliki kebiasaan menangkap hal-hal ‘antik’—mendengar sebuah periwayatan akan hadis yang agak aneh. Saya sudah lupa, bagiamana tepatnya bunyi hadis tersebut. Namun, ada beberapa baris kalimat yang sangat menggelitik. Bunyinya kira-kira seperti ini: “Kesombongan tidak ditentukan oleh kecintaan akan baju-baju yang bagus dan indah, karena Allah menyukai keindahan. Kesombongan adalah sikap menolak kebenaran dan merendahkan manusia.”
Saya amat terkesiap mendengar kalimat pertama hadis tersebut, karena hal tersebut berarti, adalah bukan suatu dosa untuk menyukai baju-baju rancangan Vivienne Westwood atau bahkan memborong tas-tas Louis Vuitton seharga Rp 10 juta. Dan, bagi saya, ini adalah suatu hal yang sangat kontradiktif dengan paradigma masyarakat.
Selama ini, saya melihat masyarakat terpaku kepada stereotip, terlepas dari ketidaksukaan saya terhadap stereotip tersebut, bahwa hanya orang-orang angkuh dan kurang kerjaan saja yang membeli baju-baju luar biasa tersebut. Muslimin yang baik seharusnya menyisihkan uangnya untuk hal-hal yang lebih berguna dan membatasi pakaian mereka. Bukan berarti Muslimin harus mengenakan pakaian bekas yang sudah lusuh dan tidak layak pakai, tidak. Namun, saya mengira bahwa maksudnya, belilah baju-baju yang bagus, namun standar dan sederhana—dan berarti, memborong Gucci serta Blahnik kurang diutamakan, bahkan agak dipandang negatif.
Seperti yang sudah saya sebutkan, saya tidak menyukainya. Terlepas seperti dari seperti apa kondisi dan penampilan saya sekarang, I love fashion and nice clothes, how expensive that is. So, to know that religious people will staring at me with those evil eyes if I’m wearing Armani or Galliano from head to toe isn’t cool at all; because for me, being stylish isn’t a sin. Memang, adalah sebuah hal yang bagus apabila kita menyedekahkan uang kita untuk kaum papa. But why can’t we have a bit of fun by swimming in the sea of branded clothes?
Maka, mengetahui bahwa Nabi Muhammad SAW meriwayatkan hadis yang mendukung prinsip saya—being stylish isn’t a sin—adalah sebuah fakta mengejutkan. Rasulullah sendiri meriwayatkan hadis bahwa menyukai baju-baju yang bagus diperbolehkan dan bukan sesuatu yang berdosa! Secara tidak langsung, dalam sebuah skala yang kecil (walau bagi saya besar), sebuah dukungan terhadap kaum fashionista di seluruh dunia, yang selama ini—mau tidak mau harus diakui—agak dipandang negatif karena kecintaan mereka terhadap baju.
Dalam ketakjuban saya tersebut, Bpk. Nyoto melanjutkan khotbah beliau, kira-kira seperti ini: “Hal ini dikarenakan kesombongan manusia bukan diukur dari pakaian yang mereka kenakan, melainkan sikap mereka. Orang sombong adalah mereka yang ‘menolak kebenaran dan merendahkan orang lain’. Maksudnya adalah tidak mau mendengarkan kritik dan menganggap remeh orang lain. Ini berarti, bahkan orang yang berpakaian jelek dan miskin pun juga bisa dianggap sombong—sedangkan belum tentu orang yang berpakaian bagus itu sombong.”
Saya terpaku mendengarkan penjelasan beliau, karena hal tersebut memang benar. Apakah adil apabila seorang filantrofi dipandang ‘sombong’ hanya karena ia berbelanja di Harrods atau Fifth Avenue? Hanya karena ia membeli lingerie di Victoria’s Secret dan sepatunya dibuat oleh Jimmy Choo? Hanya karena lemarinya terisi penuh dengan Burberry, DKNY, Issey Miyake, Mango, Dolce & Gabbana, Marc Jacobs, atay Longchamps? Pakaian bukanlah tolok ukur kepribadian seseorang.
Justru, kita seharusnya mengoreksi diri kita sendiri. Apakah kita justru termasuk orang sombong, ‘yang menolak kebenaran dan merendahkan orang lain’, bahkan meskipun pakaian kita hanya dibeli di Matahari Department Store dalam obral, seharga Rp 9.000,00? Apakah kita tidak pernah mau mendengarkan kritik dan memandang hina orang lain—gampangnya, para fashionista tersebut?
Apabila iya, maka bagi kita yang termasuk orang-orang ‘sombong’ tersebut, alangkah baiknya apabila kita berinstrospeksi. Belum tentu, sikap yang kita ambil ternyata adalah benar dan disukai oleh Tuhan—terlepas anggapan kita bahwa kita melakukannya didasari ketaatan terhadap Tuhan. Tidak; Tuhan mencintai perdamaian dan toleransi. Coba, bukankah banyak ayat dalam Al-Quran yang lebih mengutamakan perdamaian dan kesatuan dibandingkan seruan untuk berperang—yang bahkan tidak bisa dilakukan kecuali untuk alasan defensif?
Sedangkan pandangan negatif terhadap orang lain, serta tindakan diskriminatif yang mengikutinya, dalam bentuk sekecil apapun adalah sebuah pengingkaran terhadap toleransi. Sebagai Muslimin, jika Rasulullah saja memberikan izin kaumNya untuk menyukai pakaian bagus—sedang tindakan-tindakan Rasulullah berasal dari Tuhan Yang Maha Esa—maka adalah sebuah kesalahan bagi kita untuk memandang negatif kecintaan para fashionista. Karena dengan begitu, kita bukan hanya menciptakan kebencian dan perpecahan, sekaligus menjadi orang yang sombong. Padahal, Tuhan sama sekali tidak menyukai kesombongan dalam bentuk sekecil apapun. Sungguh percuma bukan, apabila hal yang kita kira baik, justru akan menjerumuskan diri kita ke neraka?
Bagi fashionista sendiri, kita juga harus sadar diri. Bpk. Sunyoto juga menambahkan, “Asalkan pakaian mereka belum melewati batas kewajaran, maka diperbolehkan mengenakan baju-baju yang indah.” Ini berarti, kecuali apabila Anda adalah seorang Lady Gaga, adalah tidak wajar dan dilarang untuk berkeliaran di jalanan Indonesia hanya dengan pakaian Bath Haus yang transparan, dengan bagian dada disilang dengan selotip putih. Namun, ingat: ini juga berarti, diperbolehkan untuk berkeliaran di jalanan dengan topi-berbentuk-telepon-biru ciptaan SOMEBODY dan heels berinci-inci Alexander McQueen—tanpa berhak diberi cap sombong.
Saya bukanlah seorang ahli agama, saya mengakui hal itu; oleh sebab itu, post ini terbuka untuk didebat. Saya belum hapal semua hadis Nabi, atau bahkan semua surah Makkiyah. Namun, saya hanya ingin menyampaikan sebuah pesan utama yang saya harap sudah Anda tangkap, dengan tujuan membuka wawasan kita semua dari perspektif berbeda: Jangan menghakimi seseorang ‘sombong’ berdasarkan pakaian yang mereka kenakan.
Boleh-boleh saja seorang nerd mendadak mengenakan baju-baju terbaru dari desainer terkenal; itu adalah sebuah perubahan positif yang seharusnya kita hargai. Kita justru dilarang mencap nerd tersebut sombong hanya karena mendadak ia mengenakan baju buatan Ashley Isham; juga kepada fashionista-fashionista lainnya. Hanya karena mereka berpakaian bagus, bukan berarti mereka memang babon-babon sombong layak-tampar. Ingat, Yves Saint Laurent berkata bahwa, “We must never confuse elegance with snobberyKita tidak boleh mencampur keeleganan dengan kesombongan.”
Satu quotation yang dibenarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Bagi fashionista sendiri, cobalah melihat dari sudut pandang orang-orang non-fashionista dan anti-fashionista. Hanya karena kita menyukai barang-barang bagus, bukan berarti kita harus memalingkan muka dari kemalangan-kemalangan dunia. Kita tidak bisa memungkiri bahwa memang kita tidak akan membawa tas Chanel ke akhirat; oleh karena itu, tidak ada salahnya untuk menyedekahkan sekian persen tabungan sale kita. Toh, ada cukup banyak supermodel dan desainer ternama yang juga mendedikasikan diri sebagai seorang filantrofi.
Intinya, mari kita seimbangkan perspektif masing-masing. Sudah ada terlalu banyak pertikaian di dunia untuk ditambah rivalitas antara fashionista dan anti-fashionista. Manusia adalah makhluk yang kompleks. Kita semua terlalu rumit, terpecah, dan beberbeda-beda untu mampu dikotak-kotakkan dalam ‘apa yang baik dan yang buruk’. Kita juga tidak bisa membuat orang lain sama seperti kita. Jadi, hargailah perbedaan tersebut. Apabila Anda tidak menyukai orang-orang berpakaian wow, jangan hakimi orang tersebut—mereka mempunyai hak untuk berpakaian wow. Dan apabila Anda tidak menyukai orang-orang berpakaian cliché, jangan hakimi juga—mereka mempunyai hak untuk berpakaian cliché.
Ini hanyalah sebuah wacana, bukan pedoman paksa. Maka, keputusannya ada di tangan Anda—akankah Anda memilih untuk berpihak kepada perdamaian, atau kukuh terhadap prinsip kaku Anda sendiri. Namun, saya harap, apabila Anda masih belum menangkap makna post ini, resapilah quotation megangumkan lainnya dari Yves Saint Laurent: “Over the years, I have learned that what is important in a dress is the woman (people) who wearing it.
Yang penting itu kepribadian orangnya; bukan bentuk, merek, dan harga baju yang ia kenakan.

Saturday, May 29, 2010

To Love, Be Strong

Untuk Vira
dan semua yang sedang jatuh cinta, pernah jatuh cinta
sedang patah hati, pernah patah hati

Kisah saya berawal dengan sempurna, seperti kisah-kisah lainnya. Kau mengenal seseorang, di sebuah tempat, seseorang yang menyenangkan dan ramah. Kalian berkenalan dan berkontak ria--seharian penuh saling mengirimkan sms, bercanda, dan mengobrol bersama. Sekilas segalanya tampak sempurna--ia begitu memahami dirimu dan amat menyayangimu.
Untuk pertama kalinya, kau berpikir bahwa kau jatuh cinta.

Gayung bersambut—ia selalu menjawabmu dengan penuh perhatian. Menjadi tempatmu mencurahkan isi hati, mendiskusikan opini masing-masing, saling melemparkan lelucon—kadang-kadang diselingi bujuk rayu yang membuat tersipu. Ah, mabuk kepayang rasanya. Kau makin berpikir, Ia mencintaiku! Dan kau mengikatkan hatimu kepada ketidakpastian tersebut.
Kemudian, hari-hari berlalu, dan karena kesibukan, kalian jarang berhubungan. Intensitas sms kalian menurun—bila dahulu minimal 12 jam penuh kisah, kini dalam 1 jam kalian hanya mengirimkan 3 pesan. Isinya pun makin lama makin hambar. Perhatiannya berkurang. Suatu hari, kau menyadari, hatinya mendingin—dan kebenaran menampar wajahmu keras. Ia tidak pernah benar-benar memberikan hatinya kepadamu; itu semua hanya suka, bukan cinta. Hatinya tidak pernah dijangkarkan di dasar hatimu, bahkan meski dirimu melabuhkan diri di dirinya.

Pada akhirnya, kau ditinggalkan patah hati dan kesepian. Tiap pesan tidak ia jawab—atau meski dijawab, membutuhkan waktu sangat lama, dan tanpa emosi ‘spesial’ apapun. Mimpi-mimpimu kandas dan hanya sakit hati yang tertinggal. Kesedihan merundungmu begitu lama—namun, kau tahu bahwa itu semua hanya sia-sia belaka.

Karena kau tahu, kau harus mengangkat muka dari cintamu, dan melanjutkan hidup tanpa dirinya.

***

Saya menulis kisah ini bukan hanya untuk merespon note Facebook teman dekat saya, namun juga untuk memberikan semacam renungan. Mungkin agak berat, namun saya usahakan agar kadarnya cukup ringan. Sekarang, bila telah siap, mari kita bahas sebuah objek yang telah didiskusikan sepanjang riwayat kehidupan manusia—dan begitu sering di antara remaja, hingga menyerempet norak: cinta.

Teman dekat saya tersebut, Vira, menulis post yang kurang lebih seperti ini: Mengapa kita jatuh cinta kepada seseorang, meskipun kita tahu—dalam kapasitas sebagai remaja—sulit untuk mempertahankannya; dan mengapa, meskipun dari awal kita tahu bahwa akhirnya akan putus, tetap sulit untuk menerima akhirnya; dan menanyakan arti ‘cinta’ itu dan sebab ‘cinta’ menyakitkan.

Sewaktu saya membaca post tersebut, jujur, saya terdiam. Saya pernah mengalami jatuh cinta sebelumnya—selama sekian tahun menghabiskan energi saya untuk seseorang yang tidak pernah saya tahu benar-benar mencintai saya atau tidak. Kisah ini berakhir dengan patah hati. Orang yang cerdas tidak akan melakukan kesalahan yang sama dua kali. Namun, bodohnya saya, kisah tersebut berulang sekali lagi—kisah di awal tadi.

Maka, saya juga mengajukan pertanyaan yang sama: Mengapa kita, teenagers, selalu jatuh cinta—pacaran—meski selalu berakhir putus? Kalau begitu, apakah cinta itu? Perlukah disambut, karena berawal manis; atau justru digebah, karena berakhir sia-sia? Terutama, mengapa cinta menyakitkan? Berhari-hari saya lewatkan merenungkan hal tersebut, hingga hari ini saya menyadari jawabannya—karena cinta, dalam tingkatan manifestasi apapun, akan selalu menyakitkan.

Saya teringat filsuf Italia terkenal, Nicolò Machiavelli, yang menulis sebuah risalah terkenal mengenai kekuasaan, Il Principe. Risalah tersebut menuliskan cara-cara dasar menjadi penguasa absolut—panduan kepemimpinan radikal yang mengagumkan. Namun, ada sepenggal kata-kata yang begitu mengejutkan saya karena kebenaran di dalamnya. Machiavelli, saat membahas mengapa orang lebih baik ditakuti daripada dicintai, mengungkapkan hakikat mencintai yang sebenarnya: “Orang lebih berkeberatan menyerang seseorang yang membuat dirinya dicintai daripada yang membuat dirinya ditakuti. Karena cinta diikat oleh rantai kewajiban yang, akibat keegoisan manusia, patah setiap kali cinta dimanfaatkan untuk kepentingan mereka…”

Ada satu makna yang amat dalam dari kalimat terakhir tersebut: bahwa orang yang mencintai lebih mudah tersinggung. Dengan mencintai seseorang, kita mencurahkan perhatian kita; dan secara tidak langsung, mengharapkan balas budi: perhatian yang sama tercurah kepada diri kita. Apabila kita tidak (atau kurang) mendapatkan kasih sayang sesuai ekspektasi sebelumnya, dengan kata lain tidak sebanding dengan pemberian kita, akan timbul apa yang disebut sakit hati.

Ini merupakan alasan mengapa ‘cinta’ di antara remaja jarang bertahan lama: karena remaja belum sepenuhnya sanggup menoleransi kurangnya perhatian tersebut. Remaja terpaku pada anekdot, Aku memberi kamu sepundi perak, maka balaslah budiku dengan sepundi perak pula. Kurang sekoin perak saja akan menimbulkan keberatan, padahal keberatan apabila ditumpuk akan menjadi sakit hati.

Padahal, tidak sepenuhnya orang yang kita beri sepundi perak mampu membalasnya dalam jumlah yang sama. Kadang-kadang, kita hanya mampu memberi tiga perempat saja, atau justru hanya tiga keeping. Bukan hanya karena tidak mau, atau tidak mampu—namun, juga karena mereka merasa, itulah jumlah maksimal yang harus diberikan sebagai balas jasa, tidak lebih dan tidak kurang. Tidak ada pengertian yang sama di antara tiap manusia; oleh karena itu, perbedaan semacam ini seharusnya dapat ditoleransi. Namun, karena cinta ‘diikat oleh rantai kewajiban’, yang berarti ‘harus mengembalikan dengan sebanding’, ketimpangan tersebut lebih sering tidak dapat ditoleransi—meskipun seharusnya dapat. Berlanjut dari keberatan menjadi sakit hati.

Cinta itu memang menyakitkan. Dan memikul cinta itu memang sangat berat: Hal-hal yang bagi kita adalah hal biasa saat hanya sebatas teman, dapat menjadi memiliki arti yang berbeda saat jatuh cinta—sekali lagi, karena aturan ‘rantai kewajiban’ itu tadi. Kebanyakan remaja tidak menyadari ‘rantai kewajiban’ ini, maupun sikap toleransi dalam menghadapinya—yang berakhir, banyak di antara cinta-cintaan ini berujung putus.

Kini, kita tahu bahwa mencintai itu sulit, dan selalu akan ada sakit hati di dalamnya. Oleh karena itu, jika ingin sepenuhnya mencintai sesuatu, jadilah kuat. Siaplah menghadapi ketimpangan-ketimpangan tersebut; buang semua ekspektasi dan hadapilah kondisi nyatanya. Akan selalu ada masalah yang menghadang, dan tidak semua perhatian kita dibalas juga. Namun, apabila kita benar-benar ingin mencintai, kita tidak perlu menuntut balasan yang sebanding—bahkan, jika bisa, jangan bersikap pamrih sama sekali.

Maka, ini kembali kepada pertanyaan selanjutnya: hakikat cinta. Cinta yang nyata, bagi saya, adalah sikap untuk terus memberi tanpa pamrih tersebut. Justru bagi saya, apabila kita bisa tetap mencintai bahkan apabila yang dicintai sama sekali tidak membalas perhatian kita, itulah kasih sayang murni. Ini alasan mengapa saya memandang remeh semua remaja yang pacaran, dan sebagainya—mereka hanya suka, tertarik, bukan cinta; karena mereka tidak akan mempertahankan cinta mereka dengan cara menoleransi ketimpangan tersebut—dan tidak siap saat harus berakhir.

Lagipula, bila kita membuka mata, kita akan melihat bahwa cinta tidak hanya dimiliki kekasih. Cinta ada di mana-mana—di dalam persahabatan; antara orangtua dan anak-anak mereka; bahkan saat kita membantu mereka yang kurang beruntung. Selama seseorang dapat terus memberi tanpa mengharapkan balas budi, itu yang namanya cinta. Segala cinta ini dapat ditemukan di mana-mana. Oleh karena itu, kita tidak selamanya butuh pacar. Ya, kita kadang-kadang menyukai seseorang; namun, jika tidak bertahan, angkat kepalamu tinggi-tinggi dan lihat bahwa ada banyak cinta di sekelilingmu—bahkan cinta yang lebih murni.

Bagaimanapun, apabila kita ingin mengaplikasikan cinta di manapun kita berada, jadilah kuat. Kita harus mampu menghadapi semua kekurangan yang kita cintai; dan menyiapkan diri agar tetap tabah dalam menghadapi ketimpangan-ketimpangan tersebut, juga akhir pahit yang mungkin kita hadapi. Cinta selalu menyakitkan—maka, jadilah kuat dalam menghadapi sakit itu. To love, be strong. Orang yang tidak bisa kuat dalam menghadapi ketimpangan tersebut berarti tidak bisa mencintai. Itu sebabnya, benar apa kata J.K Rowling dalam Harry Potter, dikatakan oleh Albus Dumbledore—“Cinta adalah objek yang paling kuat di muka bumi ini.” Cinta bukan untuk orang lemah.

Maka, khusus bagi remaja yang ingin memiliki pacar, apabila kalian tidak siap patah hati, jangan jatuh cinta. Dan bagi mereka yang tidak mau belajar mencintai, jangan hidup—karena hidup ini penuh oleh cinta.

Solusinya, mari kita belajar mencintai—dengan cara belajar menjadi kuat.
To love, be strong. Because love’s hurts; and loving is a fight against the pains.

Saturday, May 15, 2010

Luka

Menjadi saya itu tidak menyenangkan.

Mungkin kalian bertanya, mengapa dalam kondisi tidak bahagia, saya masih tersenyum setiap hari. Well, tiap hari saya bahagia. Sungguh; saya menghargai setiap detik yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa. Namun, saya juga menyimpan duka, luka, dan sakit hati, yang sudah saya tanggung selama bertahun-tahun.

Sungguh menyakitkan bagi saya untuk mengingat luka ini. Lebih menyakitkan lagi, luga ini tidak pernah sembuh. Tiap hari selalu tergurat lagi, dan lagi. Diguratkan oleh orang yang berbeda-beda, menghakimi saya atas kepribadian saya sendiri.

Tahukah Anda, bagaimana menyakitkan rasanya? Mendengar orang-orang menggunjingkan Anda di belakang dalam nada berbisik penuh kepalsuan; karena mereka hanya melakukannya demi formalitas, tanpa berusaha menyembunyikan kata-katanya? Karena mereka ingin saya mendengarnya?

Sungguh menyakitkan, kata-kata itu disebutkan oleh mereka yang saya kira teman. Oleh orang-orang yang sama dengan saya. Melirik sekilas, berbincang-bincang. Saya tidak menangkap kata-katanya, pada awalnya, hingga saya menangkap sebaris kalimat yang merangkum inti kata-kata mereka:

"Itu lho, kayak yang di tivi... Siapa tuh? Alter."

Sakit.

Saya sedang berjalan, hendak menuju tempat wudhlu, saat mendengarnya, dan hati saya bagai ditusuk duri beracun. Sungguh sakit rasanya, bukan hanya pedih, demi mendengarkan gunjingan itu. Saya nyaris menangis, namun saya tahankan. Seperti yang bertahun-tahun saya lalui; saya tahankan demi mendengar hinaan semacam itu, meskipun hati saya begitu pedih karenanya.

Saya selalu menyembunyikannya, seperti yang saya lalukan bertahun-tahun. Orang-orang mungkin mengira saya biasa saja mendengar hinaan-hinaan semacam itu dan umpatan-umpatan sebangsanya, karena saya tertawa saat mendengarnya -- namun sayua tidak pernah biasa. Saya selalu sakit hati tiap mendengarnya. Satu hinaan dan satu umpatan adalah satu pisau yang mengiris perasaan saya, yang lukanya tidak dapat sembuh hanya dalam tiga-empat hari. Luka itu bertahan; dan orang-orang tidak berhenti.

Perasaan saya teriris-iris luka pedih yang tidak kunjung sembuh karena selalu disakiti.

Sekali ini saya jujur. Saya tidak pernah suka ataupun biasa-biasa saja apabila kalian semua mengumpat, menggunjingkan, atau menghina saya dengan umpatan semacam 'kayak Alter' -- bahkan meskipun maksud kalian bercanda, saya selalu terluka. Mengapa? Karena saya tidak pernah merasa seperti Alter. Tidak pernah.

Jauh di dalam diri saya, saya tidak ingin berubah. Tidak pernah sedikitpun dalam pikiran saya terbersit pikiran untuk menjadi seperti Alter. Saya menyukai diri saya yang sekarang, sebagai seorang putera ciptaan Tuhan. Oleh karena itu saya terluka apabila disebut 'kayak Alter'. Saya bukan Alter, apabila benar ia tidak menerima tugasnya sebagai puteri manusia.

Saya seorang bocah laki-laki dan saya tidak pernah mengingkarinya, terlepas dengan siapa saya bergaul atau bagaimana pergaulan sosial saya. Saya akui, saya mempunyai lebih banyak teman perempuan, lebih akrab dengan mereka; namun, itu bukan berarti saya hanya ingin bergaul dengan teman perempuan. Saya mempunyai teman laki-laki, hanya kurang akrab dengan mereka, karena kontradiksi ideologi saya dan pergulatan batin mereka.

Saya tidak ingin selalu bersama cewek, namun saya akrab dengan mereka. Itu saja. Ada suatu bobot sensitivitas yang saya temukan dari mereka dan saya menyukai ini, satu hal yang tidak saya temukan dari teman laki-laki. Saya merasa nyaman berada di antara cewek, senyaman apabila bersama cowok. Saya tidak menemukan perbedaan suasana di antara kedua kubu. Saya tidak ingin mengkhianati kaum laki-laki: saya bagian dari mereka dan saya juga bangga karenanya.
Saya tidak pernah beranggapan, "Lebih asyik maen sama cewek daripada sama cowok."

Tidak pernah. Saya menganggap perempuan dan laki-laki adalah dua kaum yang saya sama-sama nyaman bergaul di dalamnya. Dan pendapat saya ini hanya didasari satu filosofi: kesetaraan gender.

Saya tidak pernah menganggap laki-laki lebih unggul dari perempuan, karena nyatanya dalam keseharian, keduanya saling menguasai dan dengan begitu, setara: budaya mengajarkan laki-laki melindungi perempuan, namun laki-laki membutuhkan perempuan dan dengan begitu memberikan porsi kekuasaan setara dengan mereka. Itu saja. Saya hanya ingin menunjukkan pada dunia bahwa tidak perlu ada dinding pembatas yang over antara laki-laki dan perempuan karena keduanya makhluk setara.

Saya terlalu naif, tentu, beranggapan orang-orang akan mengerti. Ada banyak orang yang justru salah mengira dan... Yah, mereka menyebut saya 'kayak Alter' seperti itu. Saya berusaha berlapang dada, sekarang, apabila mendengarnya. Namun, tetap saja sakit -- karena mereka yang mengatakannya adalah kaum saya sendiri.

Saya tidak ingin melakukan pembenaran atas tindakan saya, karena belum tentu dianggap benar. Saya hanya ingin orang-orang melihat dengan perspektif saya dan memahami bahwa saya juga sakit apabila disebut 'kayak Alter'. Bertahun-tahun saya tahankan dan pendam, karena orang-orang tidak pernah mengerti, dan sayalah yang harus bersabar.

Sakit, Pembaca. Sakit sekali mendengar Anda dipanggil seperti itu. Bahkan meskipun saya berusaha tidak peduli. Sungguh pedih, mendengar Anda digunjingkan ataupun disebut seperti itu; terutama, lebih karena Anda bukan seperti itu dan tidak mau menjadi seperti itu. Tetapi, orang-orang tidak pernah berhenti.

Saya tidak tahu, harus saya sebut apakah post ini. Apakah ratapan? Keluhan? Pengharapan? Permohonan? Saya tidak tahu. Karena apabila saya mengeluh, tidak ada gunanya. Bahkan teman-teman saya menggunakan sebutan itu untuk candaan! Bahkan, meskipun diam-diam, saya terluka dalam karena candaan itu.

Yang saya tahu, ini hanyalah sebuah ekspresi kesedihan saya. Hati saya luka. Dan mungkin akan terus terluka.

Dan, jujur: saya ingin Anda tahu bahwa saya terluka. Maka pahamilah luka saya.

Monday, May 10, 2010

Travelling the World: Egypt Session, Gembiraloka

-->
PRE-CAUTION
Penyebutan nama tempat, resto, organisasi, perusahaan, dsb. di sini didasarkan pada alasan kebutuhan akan fakta saja; semua opini dan komentar yang ada di post ini semata-mata ditulis berdasarkan pengamatan kami sendiri, tanpa ada pengaruh dari pihak ketiga; tanpa adanya sponsorship dari nama-nama yang disebut; tanpa tujuan komersial dan persaingan pasar apapun seperti promosi maupun bad-imaging.

Sebelumnya, maafkan saya karena saya terpaksa memotong kisah perjalanan saya dengan Merlynda Ayu Rara Dini dan Ratih Sanjaya Wahyuningrum. Namun, saya sudah melakukan sebuah perjalanan lagi, dan ada banyak hal di sana yang harus saya ceritakan.

Jadi…

Pada tanggal 25 April 2010 kemarin, saya dan teman-teman dari kelas IX B SMP Negeri 5 Yogyakarta mengadakan sesi pemotretan outdoor untuk yearbook kelas kami. Tema yang diambil adalah Travelling; intinya kami berjalan-jalan keliling dunia: ke Jepang, Mesir, Prancis, dan Amerika Serikat. Dua hari sebelumnya kami telah mengambil gambar sesi indoor; hari itu, saatnya kami berkeliling Jogja!

Kami pergi ke lima spot: Kebun Binatang Gembiraloka, Taman Pintar, Dapur Cokelat, Japan College, dan terakhir Mi Ramen Jakal. Untuk sesi Mi Ramen Jakal, mengingat jauhnya lokasi dan keterbatasan transpor serta waktu, akhirnya diganti di Nikkou Ramen di Jalan AM Sangaji. Perjanjian dengan fotografer kami, Mas Handy dan Mas Bayu, sudah dibuat; honor sudah disiapkan (hahaha); jadwal sudah disusun dengan saksama; dan SMS maupun pengumuman sudah disebarkan.

Semua panitia rencananya akan ikut. Panitia yang ikut full seluruh sesi pemotretan hingga sore antara lain saya (karena saya ketiban ubi runtuh menjadi ketua panitia buku tahunan kelas), Ratih, Dhela alias Dhela Saputri, Icha, Inggit, Luky, Okka. Rencananya, pagi itu saya akan dijemput oleh Luky lalu langsung mbablas ke Gembiraloka, dan selama perjalanan itu Luky juga yang memboncengkan saya (karena saya belum memiliki vespa warna putih, dengan bendera Union Jack di bagian belakangnya, dan helm retro warna putih pula).

Tetapi, seharusnya, pagi itu saya sudah mendapatkan pertanda bahwa perjalanan ini akan menjadi perjalanan yang konyol dan amat sangat menyedihkan. Apa pertandanya? Satu hal yang sudah ditulis berkali-kali menjadi sumber malapetaka—setidaknya di blog GudangSaya ini: hujan.

Ya, hujan. Sejak malam Minggu hingga Minggu paginya, hujan turun dalam intensitas yang membuat jantung setiap orang yang pemotretan outdoor jedag-jedug—deras luar biasa, mereda sedikit, turun lagi agak banyak, lalu deras, lalu gerimis, lalu reda, lalu hujan lagi… dan begitu seterusnya, tanpa ada kepastian akan reda. Begitu tidak pastinya hingga akhirnya datanglah sms bertubi-tubi dari panitia pemotretan, dan teman-teman model pemotretan, yang bertanya: “Jadi ga nanti? Hujan nih” “Akib, di rumahku hujan, gimana nanti jadi ga? Masa pemotretan hujan-hujan” “Diundur waktunya piye? Ujan deres di rumahku

Akhirnya, saya—setelah berembug dengan pihak-pihak terakhit—memutuskan untuk membatalkan sesi outdoor di Gembiraloka mengingat sesi itu yang nantinya benar-benar ada di luar ruangan, dan kemungkinan terpapar hujannya besar. Akhirnya, saya menelepon teman saya, Satrio (karena Mas Handy, fotografer sesi itu, adalah kakak kandung Satrio), untuk mengundur sesi Gembiraloka ke hari Senin, dan mengirim SMS ke panitia yang lain—dan lima menit kemudian Inggit membalasnya:

INGGIT:
Akib !
Kenapa di Gembiraloka nya dibatalin ? Rumahku kan deket Gembiraloka , jadi aku tau cuacanya . Di sini tuh gak hujan . Jadwalnya kan udah dibuat , ngapain dibatalin ?

AKIB:
Lha tapi aku dah bilang sama mas nya Satrio kalau dibatalin e, lagian mas nya Satrio sendiri yang ngusulin diundur aja kalo hujan.

INGGIT:
Udah , ya bilang aja sama mas nya satrio “Mas,tapi kita kan harus ngikutin jadwal” apa gimana lah. Pokoknya hari ini harus jadi!

Maka, setelah Inggit menginformasikan bahwa di kediamannya tidak hujan—dan itu berarti, menurut Inggit, Gembiraloka tidak hujan (dan membuat saya bertanya-tanya, apakah kediaman Inggit dan Gembiraloka adalah sama); dan setelah berkonsultasi dengan teman-teman panitia yearbook; dan setelah menelepon Satrio; akhirnya sesi Gembiraloka diadakan hari Minggu itu juga, hanya diundur ke jam 08.30 pagi.

Saya dijemput Luky dengan segera dengan motor Tiger (iya bukan sih? Saya bukan penggila otomotif) abu-abu miliknya, dan kami segera berangkat ke Gembiraloka. Kami tiba di Gembiraloka kira-kira jam 8.40. Inggit serta Ratih sudah tiba sebelumnya, dan tentu saja Satrio serta Mas Handy. Lalu, salah satu model hari itu, sahabat saya, Luthfi Ghivari alias Simbah, Akhirnya, kami memutuskan bahwa kami tidak perlu menunggu panitia yang lain (dengan kata lain Dhela, Icha, serta Okka, karena menurut teman-teman yang lain mereka toh akhirnya juga datang telat), kami masuk dan menemui model pemotretan yang sudah menunggu di dalam.

Model sesi pemotretan berkode MESIR3 itu adalah Luthfi alias Simbah, Haidar alias Prenges, dan Akbar alias Sayatidaktegamengatakannya (mengenai pemberian alter ego tersebut, maafkan saya teman-teman). Pura-puranya, ketiga teman saya tersebut akan memerankan kafilah suku pribumi Sinai, yang sedang mengadakan perjalanan dengan Unta. Oleh karena itu, nanti mereka akan naik unta Gembiraloka dengan gamis dan kafiyeh.

Saya sudah, katakanlah, kurang lebih 6 tahun tidak ke Gembiraloka, dan keadaannya sungguh lebih memprihatinkan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kami kira, dengan harga tiket yang berubah menjadi Rp 12.000,00 (sehingga saya dan teman-teman ribut sebentar sebelum masuk), akan ada perubahan mendasar dari kebun binatang tersebut; namun, tentu saja itu opini yang amat naïf. Pemandangan yang pertama menyambut saya adalah bangunan Rumah Kapal yang remuk redam akibat gempa dan belum diperbaiki; selanjutnya, kandang-kandang hewan yang begitu mengenaskan. Bau kotoran binatang sesekali mengudara cukup lama, air di kolamnya sekeruh kali di kala kemarau, dan kandangnya tampak kotor.

Hewan-hewannya pun tampak merana—dan untuk pertama kalinya, saya menyadari sepenuhnya apa yang dimaksud C.S. Lewis sebagai ‘binatang bodoh’ dalam serial novel Chronicles of Narnia. Sayang sekali, C.S. Lewis tidak menambahkan frasa ‘manusia bodoh’, yaitu manusia-manusia yang begitu bodohnya hingga melempari hewan-hewan (bahkan harimau) dengan kacang, merusak sangkar kakatua jambul kuning, dan mengetuk-etuk kandang iguana. Memang menyakitkannya melihat hewan-hewan tersebut dipenjara dalam kebun binatang yang tampak kumuh tersebut, tetapi lebih menyakitkan lagi melihat manusia—yang secara intelektual lebih cerdas dari mereka yang ada di kandang—melakukan tindakan-tindakan brutal tanpa moral tersebut. Oleh karena itu, saya berpesan kepada pembaca, jika Anda tidak tahu bagaimana memperlakukan binatang dengan baik, jangan pernah pergi ke kebun binatang.

Tetapi, singkat cerita, akhirnya kami tiba di lapngan tempat unta-unta tunggangan berada. Namun, sekali lagi, satu pertanda buruk—loketnya tutup. Tutup. TUTUP. Was was, saya bertanya dengan bapak-bapak pemberi makan unta, kapankah loketnya buka? Bapak itu menjawab dengan begitu acuh, hingga saya curiga Betty si Orangutan mampu mengekspresikannya dengan lebih impresif: “Jam sepuluhan mungkin bukanya.”

Ya Allah ya Rabbi. JAM SEPULUH??? Padahal waktu itu sudah menunjukkan pukul 09.38, mundur satu jam dari waktu seharusnya. Padahal kami ada jadwal pemotretan di Taman Pintar pukul 10.00! Padahal, sahabat saya satu lagi, Bari’ alias Muhammad Farras Bari’zain, sudah menelepon saya bahwa dia sudah berada di Taman Pintar! Dan kami harus menunggu 22 menit lagi? Oh, Gembiraloka, you must be joking. Tetapi, didukung oleh teman-teman saya, dan Dhela, Icha, Okka, serta kemara SLR milik Dhela sebagai mahapenyelamat, saya memutuskan untuk menunggu. Dan menunggu. Hingga jam saya menunjukkan pukul 10.06. Padahal tidak ada tanda-tanda loket akan dibuka.

Maka saya berjalan, bersama Ratih, ke loket suvenir atraksi Menunggang Unta, untuk menanyakan tepatnya waktu pembukaan atraksi. Kami disambut oleh bapak-bapak yang, untungnya, ramah, namun jawaban mereka sungguh menusuk hati kami: “Loketnya buka jam setengah sebelas, dek.”
SETENGAH SEBELAS. THAT’S A PERFECT FORMULA TO RUIN MY WHOLE-DAY SCHEDULE.
Maka kami menanti, dengan teman-teman saya (dengan seenak udel perut mereka) justru foto-foto dengan gembira, sementara saya foto-foto dengan kupu-kupu di dalam perut saya, dan sebelah tangan berusaha menenangkan Nahal serta Bari’ yang sudah menanti di Taman Pintar. Akhirnya, tibalah jam 10.20. Setelah ribut mengenai biaya (karena kami belum mendapat komisi dari kas kelas yang akan dibagikan, dan tidak semua anak membawa uang, kurang ajarnya), dan ribut mengenai pembagian foto (karena Haidar hanya membawa dua gamis untuk tiga anak), maka kami mendandani Haidar dan Akbar duluan di depan lapangan unta. Bukan di kamar mandi; tetapi di depan lapangan unta, dengan semua mata tertuju pada mereka.

Lalu, tibalah saatnya: loket dibuka. It’s showtime!

Dengan tepuk tangan riuh dari panitia, Haidar dan Akbar pun meniti tangga menuju punggung unta. Haidar sempat susah payah naik ke punggung unta—tetapi akhirnya mereka pun naik ke punggung unta. Mas Handy masuk ke dalam arena lapangan unta untuk memotret mereka—tapi, si pawang unta, tidak mendengarkan teriakan mencegah dari kami panitia, justru mengarak Haidar dan Akbar dengan unta berkeliling lapangan.

Kontan kami tertawa terbahak-bahak, terpingkal-pingkal luar biasa—saya sampai keluar airmatanya! Bagaimana tidak? Orang-orang yang lewat segera menoleh ke lapangan unta saat melihat dua remaja berumur lima belas tahun menunggang unta di tengah Kebun Binatang Gembiraloka seperti anak-anak, diarak mengelilingi lapangan unta. Mereka yang semula sudah menyilangkan jari di kepala saat melihat Haidar dan Akbar memakai kafiyeh, segera berhenti dan berjajar di depan lapangan unta demi melihat keduanya beratraksi menjadi Bedouin-wannabe. Sungguh, saya benar-benar tidak dapat membayangkan malunya kedua anak itu, saat mereka menjadi badut mendadak.

Kami tertawa dan menyoraki keduanya dengan “Allahu Akbar!” “Labaikallahumma labaik!” seakan-akan keduanya adalah peserta haji abad ke-XIX—tepat ketika saya menoleh ke kanan dan menelan ludah. Di seberang lapangan unta, menatap Haidar dan Akbar dengan tertegun, adalah pasangan suami-istri Islam syi’ah—si suami memakai baju gamis dan si istri mengenakan baju bercadarnya. Oh God. Salah seorang dari kami melihat keduanya, berbisik, “Eh, yang asli datang!” dan seketika semua panitia menoleh.

Ya ampun, betapa malunya kami! Saya membayangkan pasutri dan putera mereka tersebut pasti luar biasa takjub melihat Haidar dan Akbar, seakan-akan penampilan mereka sedang diolok-olok di tengah Gembiraloka; dan betapa mereka amat murka. Salah seorang dari panitia justru nyeletuk, “Waduh! Kalo mereka marah terus ngebom Gembiraloka piye coba?” Kami buru-buru gaduh, menutup muka dan menyembunyikan diri dari pandangan, menyingkir dari lapangan unta, berpura-pura tidak kenal Haidar.

Namun pada saat itu untanya justru berhenti (sialnya) di dekat kami, dan kami terpaksa menyambut Haidar dengan muka merah padam. Tidak terbayangkan betapa malunya kami. Mas Handy segera mengambil kamera, memotret Haidar dan Akbar, dan inilah salah satu hasil jepretan Mas Handy:
Dan kemudian, tibalah giliran primadona kami—Simbah alias Luthfi!

Kami segera riuh, dan buru-buru memakaikan baju gamis dan kafiyeh milik Haidar ke Luthfi. Tapi Luthfi anak yang amat sangat jaim dan galak dan bawel, dan dia sudah mulai panik dan berusaha mengulur waktu.

LUTHFI : “Ini aku ganti baju sekarang apa nanti?”
SAYA : “Udah sekarang aja, cepetan to! Kasian yang udah nunggu di Taman Pintar!”
LUTHFI : (Menunjuk kafiyeh) “Ha tapi ini pake kafiyeh nya gimana?”
SAYA : “Kayak Haidar aja ya, gini aja yang simpel, gausah rewel deh, kelamaan!”
LUTHFI : (Kelabakan ngubet-ubet kafiyeh) “Lha tapi ini copot-copot e, Kib! Nah, ini malah berkibar-kibar gimana…”
SAYA : “RIBUT AMAT SIH MBAH??? Udah sana naik, entar keburu direbut orang giliranmu!”
LUTHFI : “Tapi aku entar diputer-puterin enggak? Mbok enggak usah aja ya?”
SAYA : “Haidar sama Akbar aja berani, lagian man eman, ini sekali naik sepuluh ribu masa mau diem?? Udah naik aja!”
LUTHFI : (Bolak-balik nggak jelas) “Aduh, itu dah ada yang di atas—nah, ini dateng satu lagi, terus gimana?”
SAYA : “YA ALLAH YA RABBI, MAKANYA KAMU LANGSUNG SANA NAIK UNTANYA HABIS INI!!!”

Jadi, Luthfi yang serba kikuk dan menahan malu itu pun naik tangga ke punggung unta. Tapi, kami segera panik saat Luthfi justru nyungsep di celah antara tangga dan unta, terjepit di tengah-tengahnya, tidak bisa naik ke punggung unta maupun kembali ke tangga. Kebingungan dan panik, Luthfi mondar-mandir di celah itu, kehabisan akal—hingga akhirnya pawang untanya menolong Luthfi naik unta. Pada saat itulah kafiyeh Luthfi jatuh—dan unta mulai berjalan. Kami sudah panik—pawangnya dengan terburu-buru mengembalikan kafiyeh, dan seraya menunggang unta, Luthfi membetulkan kafiyehnya.

Kami segera bersorak! Sungguh, saya tertawa-tawa melihat Luthfi di atas unta. Benar-benar persis seorang kakek 60 tahun menunggang unta, menyusuri Saudi Arabia untuk melaksanakan ibadah haji pada tahun 1800-an! Makin banyak pengunjung berkerumun untuk menyaksikan Luthfi. Beberapa di antara mereka tersenyum-senyum. Sementara Luthfi? Jangan diributkan, ia sedang menunggang unta dengan muka semerah padam udang rebus.

Tepat pada saat itu, datanglah seromobongan ibu-ibu berkerudung dengan keluarga besar mereka, tampaknya rombongan piknik ibu-ibu pengajian. Mereka menoleh ke arah Luthfi dan tertawa—dan kemudian, mendadak, serentak mereka mengeluarkan kamera digital untuk memotret Luthfi! Astaga! Luthfi dikira atraksi Orang-gila-bergamis-dan-berkafiyeh-naik-unta-purapura-jadi-Arab! Saya tidak bisa lagi menahan tawa saat orang-orang sibuk mengabadikan Luthfi dengan kamera digital dan ponsel. Sungguh, melihat Luthfi yang diam seribu satu kata, tak berkutik, pastilah sahabat saya itu malu luar biasa.

Maka, setelah Mas Handy memotret Luthfi, saat Luthfi turun dari punggung unta dan berjalan ke arah kami, kami segera bertepuk tangan riuh dan bersorak memberi selamat. Saya sungguh salut dengan Luthfi, serta Haidar dan Akbar, melihat sikap tenang mereka menghadapi para pengunjung Gembiraloka lainnya—walaupun itu 80% karena malu bagi Luthfi dan Akbar, serta 80% karena tidak tahu malu bagi Haidar. Kami membantu Luthfi melepaskan baju gamis dan kafiyehnya, dan segera memberi selamat bagi Luthfi, karena, sungguh, fotonya adalah foto terbaik hari itu menurut saya.

Kemudian, bersama-sama kami berjalan menuju lapangan parkir untuk pergi ke Taman Pintar. Sesi USA2 sudah menunggu sejak 1,5 jam yang lalu, dan saya tidak sabar ingin tahu, kejutan seperti apa yang akan kami temui selanjutnya—ataukah kemalangan yang kami temui?