Tuesday, December 29, 2009

Tersesat Itu Menyenangkan: Part One

Pertama-tama, sekali lagi, saya minta maaf karena sudah lama tidak nge-blog. Pertama-tama, sekali lagi, saya minta maaf karena sudah lama tidak nge-blog. Tetapi saya mempunyai alasan. Pertama, internet rumah saya telah menjadi error sekali. Puncaknya, selama berminggu-minggu bahkan tidak ada koneksi sama sekali! Jujur, saya ingin sekali muntab pada si empunya BTS, tapi apa daya, saya merasa itu tidak adil, mengingat atas jerih payah beliaulah saya bisa nge-net gratis selama beberapa bulan pertama. Yang kedua, saya sudah kelas IX, yang itu berarti saya tidak bisa seenaknya melenggang ke warnet sembarangan. Mengingat nilai saya sering turun dengan mudahnya, penjagaan orangtua saya diperketat—ekstra diperketat. Yang ketiga, masih susah bagi saya untuk menulis, terutama setelah meninggalnya nenek saya tercinta. Tapi itu cerita lain, tidak untuk ditorehkan hari ini. Biarlah post ini menjadi terapi saya untuk sembuh.

Saya mengikuti sebuah ‘program pendampingan’, walaupun itu istilah sangat-halusnya. Istilah sedangnya, ‘terapi’, dan istilah sangat kasarnya ‘diobati sakit jiwanya’. Tapi saya yakin, empunya pendamping pasti tidak setuju. Nah, program ini diprakarsai oleh Fakultas Psikologi UGM, di mana calon-calon psikolognya harus latihan praktek dahulu sebelum benar-benar terjun ke lapangan. Dan inilah saya, sang ‘korban’ eksperimen Mbak Renny, sang ‘pendamping’—atau, istilah kasarnya, setidaknya, ‘calon dokter jiwa’. (Maafkan saya ya Mbak, it’s just a joke.)

Saya ingat, saat itu saya pergi ke gedung Fakultas Psikologi UGM (tempat saya akan bersekolah nantinya, AMIN AMIN AMIN). Saya belum pernah pergi ke sana sendiri, terutama karena di sana bukan tempat anak SMP biasa hangout. Jadi saya sedikit ngeri, apalagi saya harus pulang sendiri nantinya, dan nyaris tidak tahu jalur bus untuk pulang. Pada saat itulah, sebelum saya pulang, Mbak Renny memberikan nasihat bijaknya yang kesekian kali. Saya sudah lupa kalimat persisnya, tapi inilah inti yang saya tangkap.

Katanya, “Tersesat itu menyenangkan, karena dengan begitu kita bisa mengeksplorasi wilayah-wilayah yang belum pernah kita kenal; dan siapa yang tahu kejutan apa yang kita dapatkan di sana? Justru, jika kita terpaku pada zona aman kita, kita tidak akan pernah mendapatkan hal-hal terbaik dalam hidup. Karena hidup itu labirin petualangan yang penuh kejutan.”

Pada waktu itu, saya menelannya bulat-bulat terutama karena saya masih takut naik jalur bus yang belum pernah saya lalui. Saya akui kata Mbak Renny benar. Sungguh menyenangkan perjalanan bus itu, terlebih karena saya melewati jalan yang tidak biasa saya lewati sebelumnya. Namun tetap, saya belum menghayati betul nasihat itu. Saya baru benar-benar menasihatinya beberapa bulan kemudian ketika saya kembali ke Kompleks UGM, kali ini bersama dua sahabat saya, Merlynda Ayu Rara Dini dan Ratih Sanjaya Wahyuningrum.

Kini, mari kita mulai perjalanan saya untuk menghayati keindahan tersesat.

PART ONE: BILA DARI AWAL SAJA SUDAH SENGSARA


Waktu itu sekolah sedang libur. Rencananya, kami pergi ke Fakultas Ilmu Budaya untuk mengunjungi Festival Makanan Eropa yang waktu itu diadakan di sana. Rencananya, kami berangkat ke sana pukul sepuluh dari sekolah. Rencananya. Sayangnya, rencananya tidak berjalan.

Saya berangkat dari rumah pukul 09.30 WIB, setelah orangtua saya berangkat ke kantor. Saya berencana naik bus jalur dua karena harganya murah, dekat, dan cepat. Berjalanlah saya ke Jalan Sisingamangaraja, dan di sana, saya menanti.

Lima belas menit lewat. Bus jalur dua belum juga muncul. Saya mulai jengah, mengingat pagi itu matahari sangat terik. Eh, yang tidak dinyana, seorang tukang becak justru mangkal di dekat saya dengan enaknya. “Mbecak, mas,” katanya menawarkan. Saya tidak acuh. Saya sih mau-mau saja mbecak hingga sekolah, tapi, please, gila aja, mbayarnya berapa?! Budget di dompet pun kecil. Memang, ada Rp 200.000,00 di kantong, tapi target saya hanya habis Rp 50.000,00—maksimal sekali Rp 100.000,00.

Tambah dua puluh menit lewat. Saya sudah mulai muntab. Saya sampai nge-SMS Ratih dan Merlyn, mengecek apakah mereka sudah tiba. Merlyn sudah berangkat, Ratih belum; bahkan dia sangsi akan ikut karena tidak ada pengantar. Pak Becaknya masih mangkal, berkali-kali menawarkan pada saya. Saya sebal luar biasa. Saya sampai meng-update status Facebook karena sebal. Yang parah, berkali-kali jalur 15 lewat. Saya tergoda untuk naik. Namun saat saya berkonsultasi pada bapak saya, kata beliau, “Jangan.”

Tambah sepuluh menit lewat. Saya benar-benar marah sekarang. Tak dinyana, Pak Becak tersebut justru berkata, “Ampun nengga ting mriki, Mas. Nengga nipun ting pertelon mrika, bus ipun lewat mrika—Jangan menunggu di sini, Mas. Nunggunya di pertigaan sana, di sana bus jalur 2 lewat.” Saya malu sekali; saya sudah menjelek-jelekkan bapak tersebut di Facebook, tapi dia justru menolong saya. Saya berterima kasih, dan buru-buru mengupdate status Facebook.

Saya menunggu di pertigaan Pasar Telo. Dan… sekali lagi; mungkin sekitar dua puluh menit lewat. Bus jalur dua bukannya tidak lewat; mereka lewat, bus jalur dua berwarna oranye, dengan kondisi yang masih prima dan bersih. Dua buah malah. Dan keduanya bahkan tidak berhenti saat saya memberi tanda. Mereka hanya ngeloyor begitu saja. Yang satu malah menggelengkan kepala dan langsung cabut! Sungguh, saya muntab. Malu luar biasa saya, hampir satu jam lamanya menunggu bus, tapi ditolak mentah-mentah! Udara panas pula!

Saya ambil keputusan drastis: saya naik bus TransJogja.

Untuk menuju shelter, saya butuh lima belas menit melalui trotoar yang tidak teduh dan jarang dilewati orang, saat matahari bersinar sangat terik, saat hari sudah masuk ke wilayah siang dan bukan lagi pagi; dalam kondisi marah dan capek, kurang konsentrasi hingga tersandung-sandung kepayahan; mengenakan kostum yang salah di wilayah yang salah pula; hanya ditemani handphone Nokia kuno tanpa kamera, dengan koneksi internet pas-pasan, tanpa fitur penunjang seperti MP3, dan parahnya, tidak bisa bergetar apalagi bersuara.

Sungguh, saya sungguh merana.

Dan ditambah sepuluh menit lagi menanti di shelter TransJogja. Saya sudah berkeringat kepayahan, saya sendiri rada jengah dengan kondisi saya. Saya tidak berani bercermin, pasti saya mual melihat saya sendiri. Mungkin orang lain akan bersikap biasa-biasa saja, tapi jujur, saya tidak bisa tidak jengah bila saya pergi hangout dalam kondisi berkeringat, kusam karena polusi jalanan. Mana saya tidak bawa sabun cuci muka dan handbody. Anda boleh berkata saja feminin, atau metroseksual, tapi itu jujur dari sugesti saya sendiri. Saya tidak bisa hangout dalam kondisi kumal.

Akhirnya bus TransJogja tiba, dan sayapun naik. Perjalanan menuju shelter berikutnya di Dinas Kehutanan dimulai. Saya duduk, bersyukur luar biasa karena AC segar yang mendinginkan tubuh saya. Menyenangkan sekali! Ada dua foreigner di sana; ada sedikit rasa ingin ngobrol, mungkin karena euphoria dini saya, tapi saya memutuskan berkutat dengan Facebook saya. Tapi di perjalanan saya ini tidak ada keberuntungan bagi saya.

Bus TransJogja tersebut transit di Terminal Giwangan lamaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa sekali. Saya sudah tidak mau menghitung waktu lagi, bahkan meski saya menyanyikan lagi Menghitung Hari penuh kemarahan di dalam bus. Lamaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa sekali. Saat saya sudah tidak tahan, bus itu akhirnya berjalan. Tapi waktu sudah menunjukkan pukul sebelas lebih, dan Merlyn yang sudah menanti lama, juga mulai tidak sabar. Saya pun menjadi lebih tidak sabar lagi saat diberondong SMS Merlyn yang isinya membuat jengah: “Udah mpe mana?” “Aku dah mpe sekolah daritadi.” “Masih berapa lama?” dsb dsb dsb.

Saya akhirnya sampai di shelter Dinas Kehutanan hanya untuk mendapati saya dipaksa menanti lebih lama dalam kondisi yang lebih buruk. Seorang ibu-ibu turun bersama saya, dan sebuah keluarga tiba di shelter. Dan keluarga itu, Masya Allah, sangat mengenaskan.

Sebelumnya tolong perhatikan: saya tahu apa yang akan saya tulis ini tidak adil, namun mengingat kondisi saya yang ingin sekali meledakkan seisi Jogja, atau setidaknya seluruh bus jalur dua warna oranye di Jogja, saya tidak mampu menahan diri untuk tidak berpikir seperti apa yang akan saya tulis di bawah. Jadi, silakan lewati atau sekalian saja tutup situs ini jika memang tidak mau membacanya.


Keluarga itu terdiri atas seorang ayah, ibu, seorang remaja tanggung laki-laki seperti saya, seorang anak laki-laki kecil, dan anak perempuan yang lebih kecil Entah keluarga itu dari mana. Tapi, sungguh, keluarga itu seperti keluarga gelandangan pinggir jalan. Kedua anaknya tampak tidak terawat, ibunya pun acuh sekali. Dan baunya… dibandingkan bau keringat murni mereka, baunya Okka saja harum semerbak, penuh ‘sensasi’ warna-warni di sini. Keluarga itu seperti sudah sebulan tidak mandi. Mau tidak mau saya berpikir, buat apa keluarga kumuh seperti ini naik TransJogja?

Dan dalam perkembangannya, keluarga itu jauh lebih mengerikan daripada yang saya kira. Ibunya benar-benar tidak acuh, berbicara hanya dalam bentakan keras saat anaknya berbuat salah. Ayahnya memang penyayang, sangat perhatian kepada anak-anaknya, namun cara bermainnya mengerikan—sangat khas orang tidak berpendidikan. Ia memangku puteranya dan mengentak-entakkan kepala bocah itu dengan momentum kuat. Sungguh saya mencemaskan si bocah. Binar matanya saja sudah tidak cerdas, dan apa inteligensinya tidak tambah melorot gara-gara entakan ayahnya yang bodoh itu? Sementara si remaja tanggung dengan asyiknya menonton acara TV hura-hura yang tidak mendidik, itupun wajahnya sudah segembira anak-anak kecil yang melihat Petualangan Sherina di bioskop dulu.

Lalu si bocah dan si anak perempuan bertengkar, entah karena apa. Ibunya melerai keras. Ibu yang turun bersama saya tampak iba; ia berbaik hati memberikan permen kepada si bocah dan si anak perempuan, masing-masing dua buah Collins kacang. Tetapi yang dilakukan si anak perempuan sungguh tidak dinyana. Dengan keegoisan dan kekasaran brutal ia merebut kedua Collins abangnya, membentak keras, meninggalnya si bocah tampak sangat kehilangan. Bila saya menjadi sang ibu, sudah saya jewer anak saya tersebut. Bagaimana tidak? Permen tampaknya adalah sebuah berkah yang amat sangat bagi keduanya, namun mengapa si adik tidak mau berbagi berkah tersebut? Alih-alih, ibunya mendiamkan kedua anaknya—sehingga terpaksa sang ibu-pemberi-permen memberikan lagi permennya kepada sang bocah. Baru saat itu wajah sang ibu tampak cerah, sehingga saya curiga ia memang mengharapkan anaknya diberi permen lebih.

Saya begitu muak kepada keluarga itu, mau tidak mau, bukan karena bau mereka, namun lebih karena budaya keluarga mereka yang begitu minim pendidikan moral dan etika. Bila seperti itu caranya, bagaimana mungkin ketiga anaknya dapat tumbuh dalam hidup yang normal dan berkecukupan seperti anak lainnya? Bagaimana mungkin ketiga anaknya mencapai cita-cita, atau bahkan mempunyai cita-cita? Budaya keluarga tersebut adalah antitesis dari budaya yang kondusif bagi perkembangan anak. Saya menyadari, dengan sedikit sesal, bahwa ada kemungkinan anak-anak tersebut akan tumbuh menjadi kedua orangtuanya, manusia yang terjebak dalam keterpurukan namun tidak mau bangkit. Memang, mereka tidak bisa disalahkan, karena siapa tahu budaya seperti apa yang menumbuhkan dua orangtua mengerikan seperti itu? Namun saya tetap tidak bisa mencegah hati saya menceloskan teriakan putus asa, khawatir, dan marah: ini salah. Budaya mereka salah.

TransJogja lainnya datang dan kami semua—ibu pemberi permen dan keluarga berantakan itu—masuk. Saya, lagi-lagi, terperangkap di antara mereka. Saya terpaksa duduk di tengah-tengah mereka. Ada satu kejadian lagi yang mengenyakkan saya: si anak perempuan berlari memilih tempat terbaik di dalam bus, namun kedua orangtuanya menolak mengikuti anaknya tersebut. Mending kalau mereka kemudian memanggil anak mereka bergabung dengan mereka; mereka hanya diam dan acuh, seakan masa bodoh saja terhadap anak perempuan mereka, bahkan bila ia diculik orang atau dilempar keluar bus. Sungguh mencengangkan.

Bus berjalan menuju shelter SMP Negeri 5 Yogyakarta. Sepanjang perjalanan, sang ibu tidur pulas. Anaknya yang kecil-kecil bermain sendiri, melompat ke sana-kemari tanpa penjagaan; sementara remaja tanggung itu duduk menerawang, seakan salah tingkah, atau mungkin iri terhadap orang-orang di dalam TransJogja yang tampak lebih kaya daripada dirinya. Sebuah sikap yang tidak bisa disalahkan; inilah akibat dari kesenjangan sosial-ekonomi di Indonesia. Dan oleh karena itu, saya memilih untuk diam saja sepanjang perjalanan, berkutat pada SMS dan Facebook. (Terutama karena Merlyn tidak henti-hentinya mengirim sms.)

Keluarga itu kemudian turun, saya lupa di shelter mana. Saya sungguh iba pada keluarga kurang pendidikan itu. Namun, apa yang bisa saya lakukan? Saya hanya pelajar. Orang bisa berkata, “Kamu bisa membantu mereka dengan belajar dan menjadi orang baik-baik,” tapi toh itu bukan hal yang konkrit. Tapi keluarga itu tetap pergi, maka pergilah mereka.

Lalu kami mengitari Kridosono, dan di depan, sekolah saya, Pawitikra tercinta. Saya bersiap-siap turun dan meninggalkan perjalanan ajaib itu. Sungguh, perjalanan terlama saya untuk menempuh 5 kilometer yang sudah sering saya lakukan. Secara menakjubkan saya butuh waktu dua jam untuk mencapai SMP Negeri 5 Yogyakarta. Wow! Sungguh perubahan menakjubkan, mengingat saya biasa menembuh 20 menit saja untuk tiba ke sana.

Tapi toh, dua jam sudah berlalu. Saya harus turun dari perjalanan memuakkan tersebut. Maka, seraya mengirimkan sms terakhir ke Merlyn dan Ratih yang sudah menanti, saya turun dari shelter TransJogja. Nasihat Mbak Renny menggema di kepala saya, namun hanya 10% terserap di otak; karena pikiran saya terus mendengungkan pertanyaan, “Bila dari awal saja sudah sengsara, bagaimana bagian tengahnya nanti?”