Showing posts with label Pengalaman. Show all posts
Showing posts with label Pengalaman. Show all posts

Wednesday, February 29, 2012

La Dolce Far Niente


Saya ingin berbagi cerita.

Everybody knows how I love cafes so damn much. Entah mengapa, saya jauh lebih menyukai nongkrong di cafe ketimbang hangout di mall. Hiruk-pikuk pusat perbelanjaan, dengan etalase yang memicu konsumerisme, entah mengapa membuat saya agak segan, rikuh. Untuk berbelanja, saya selalu lebih menyukai tempat yang lebih kecil, lebih privat dan intim: butik, factory outlet, atau distro, di mana say
a selalu merasa lebih nyaman, homey.

Mungkin, karena itu pula, saya menjadi penggila cafe. Kegemaran ini terutama ditularkan kakak saya, yang kini di bangku kuliah amat sering nongkrong bersama teman-temannya. Saya, tidak lepas, terciprat kegemaran ini, sering diajak ikut bergabung mencoba cafe baru, mencicipi menu anyar.

Bukan hanya masalah rasa. Memang, saya tipe orang yang lebih senang memanjakan lidah ketimbang perut; mencari yang lezat, bukan yang kenyang. Namun, terutama suasananya. Ada aura kenyamanan, ketenangan, yang selalu saya idamkan di cafe. Hal tersebut memang merupakan komoditas mereka dan saya akui, saya konsumtif terhadap produk mereka tersebut.

Ambience, feeling. Rasanya, saya bisa menghabiskan berjam-jam kehidupan saya di cafe. Berikan saya laptop, sambungan internet, dan meskipun hanya ditemani secangkir kopi serta sepiring snack ringan, akan saya lahap bermenit-menit waktu tanpa batas. Belum lagi kalau ditambah teman mengobrol, wah, seisi cafe pasti akan penuh kikik dan gosip kami.

Maka, begitulah. Tiap kali saya penat, merasa butuh penyegaran, saya pasti akan segera berdandan sebaik mungkin sebelum menghubungi teman-teman terbaik saya; dan jangan cari kami di mall. Kami sedang ngafe.

Sebegitu teradiksinya saya hingga rasanya tidak komplit jika dalam seminggu saya tidak ke cafeminimal sekali. Agak parah, memang; dan berabe akibatnya mengingat saya masih duduk di bangku SMA. Rentetan efek negatif muncul, mulai dari menipisnya uang saku hingga omelan orangtua yang g

emas anaknya tidak pernah di rumah.

Namun, sudah susah bagi saya, tampaknya, untuk lepas dari cafe.


***


Nah, cerita yang ingin saya bagikan adalah kejadian malam ini, di penghujung Februari 2012.

Alkisah saya sedang penat atas sebuah kesibukan (yang menyita perhatian saya bertahun ini sehingga jauh dari blog. Tunggu post saya selanjutnya). Tentu saja, sasaran saya adalah cafe. Mumpung besoknya libur, begitu pikir saya.

Malang, saya pulang terlambat. Baru sampai rumah ketika azan Maghrib sedang berkumandang. Kakak perempuan saya pun sedang pergi; sementara orangtua sedang di rumah. Tentu saja, tidak enak rasanya jika saya memutuskan tetap pergi.

Saya jadi tambah galau. Sudah dari awal pusing, penat, kini pupus sudah harapan refreshing. Saya putar otak; bagaimana saya mendapatkan me-time saya?

Ketemulah sebuah solusi: jika saya tidak bisa pergi ke cafe, maka cafe akan hadir untuk saya.

***

Saya segera sulap kamar tidur saya, memasang jarik-jarik warisan almarhumah eyang putri saya di langit-langit, membiarkannya menjuntai dan jatuh di tempat tidur dengan artistik. Saya juga tata kain-kain pashmina ibu saya, yang bernuansa Arab, di tempat tidur dan meja belajar.


Kemudian, di lantai, saya gelar lampit kesukaan saya yang terbuat dari rotan. Lampit ini begitu etnik, terkesan eksotik; akan saya bawa jika saya tinggal di London kelak. Kebetulan, saya memiliki semacam boneka lucu, seperti kulit harimau yang biasa dipajang dengan kepalanya, namun boneka; saya atur buku saya dan boneka-boneka harimau saya yang lain di atasnya.

Saya hamparkan selimut dan bantal hias. Di satu sudut, saya tambahkan kursi duduk mungil, kemudian keranjang anyaman bambu; dan di meja belajar, saya pasang jam belajar dan rangkain bunga artifisial. Saya tebarkan lilin, saya nyalakan lampu hippie saya, kado dari sahabat SMP tercinta. Disentuh sebuah kipas hias Jepang, suasanan Oriental nya begitu terasa.


Maka, selesailah menyulap kamar saya menjadi cafe.

***

Selanjutnya, saya pergi ke supermarket terdekat dan pulang membawa segepok bahan makanan, siap memasak.

Main course, spaghetti bolognese. Sekotak spaghetti siap saji saya masak ulang sausnya, ditambahi sejumput oregano dan bumbu asli Italia yang dibawa oleh budhe saya dulu. Saya menyulap dapur menjadi sepenggal kecil Le Cordon Blue Paris: satu kompor untuk merebus pasta, satu kompor untuk menjerang air, satu kompor untuk memasak saus. Yumm.

Kemudian, saya seduh kopi instan, ditambah berpuluh sendok susu (I love creamy things so much). Mengingat masih ada buah di kulkas, saya ambil sepenggal ranting anggur, tiga buah stroberi, yang ditambahkan sebotol kecil yoghurt dan dua buah pia sebagai dessert.

Selama satu jam setelahnya saya sibuk memasak ibarat chef profesional. Ibu, yang sudah tertidur sejenak, terbangun dan dengan asyik mengamati saya memasak. Saya hanya tersenyum, dengan sabar meneruskan profesi dadakan saya sebagai koki amatir.

Akhirnya, voila, Mediterranian cuisine a la Chef Akib.

***

Saya tata semuanya di kamar atas. Dengan laptop yang tersambung dengan koneksi internet, jadilah sudah cafe amatiran saya. Di sinilah saya duduk sekarang, di antara kain, bantal, dan lilin, menulis post ini.

Adalah suatu pemahaman unik yang timbul kemudian: bahwa mencari kebahagiaan itu tidak sulit. Yang sulit adalah membangkitkan semangat untuk mencari kebahagiaan tersebut. Di awal, saya hampir saja menyerah kepada kemalasan untuk memasak dan mendekor, berniat mencari instan dengan langsung pergi ke cafe.

Namun, saya kini mempelajari, bahwa lebih menyenangkan mengolah kreativitas dan menantang diri untuk berusaha. Lagipula, bukankah yang sejati tidak didapat dengan instan? Para profesional dan pria-wanita legendaris, dari politikus hingga ilmuwan bahkan seniman, yang paling terkenal hanyalah mereka yang menempa diri bertahun-tahun hingga akhirnya bersinar hingga membekas.

Dan mendekor kamar hanyalah separtikel debu dibandingkan kerja keras mereka. Maka, saya pun berpikir, mengapa lemah? Mengapa kalah kepada malas? Jadi, saya berusaha dan di sinilah saya, menikmati hasil kerja saya dengan rasa puas yang murni. Puas, bukan hanya karena makan enak dan leyeh-leyeh, namun karena saya murni mengusahakannya sendiri.

Itulah yang saya pelajari malam ini: kerja keras.

Kemudian saya tersenyum geli ketika memahami tangan Tuhan, pastinya, berada di balik semua ini, untuk membimbing saya supaya belajar bekerja keras, tepat ketika saya mengusahakan la dolce far niente, the sweetness of doing nothing...

Sunday, January 16, 2011

Resolusi Tahun Baru


Januari 2011 sudah habis separuh dan saya baru menuliskan resolusi tahun baru saya. Beberapa orang akan berkata, "Hey, kau terlambat." Namun, saya percaya bahwa untuk bermimpi dan berubah tidak pernah terlambat.

Jadi, mengenai resolusi 2011...
Membahas mengenai resolusi 2011, tidak lepas dari hal-hal yang telah saya lakukan di tahun 2010. Harus saya akui bahwa saya mengalami banyak perubahan di tahun 2011. Pergantian dari SMP ke SMA, tidak dapat dipungkiri, adalah sebuah transisi yang amat berpengaruh dalam kehidupan saya. Ada banyak keputusan yang harus diambil, ada banyak perubahan yang harus dibuat.
Sejujurnya, 2010 adalah tahun yang sangat berat bagi saya. Ada banyak tekanan dari berbagai aspek kehidupan saya yang benar-benar merobohkan pondasi benteng kehidupan saya. Dinding-dinding yang saya bangun selama 16 tahun kehidupan saya remuk redam, tercerabut hingga ke akar-akarnya. Saya benar-benar mengalami apa yang orang-orang sebut “rollercoaster phase”—diangkat setinggi-tingginya, kemudian dihunjamkan ke tanah. Saya seperti orang hilang—tanpa arah, tanpa tujuan, tanpa teman, tanpa pedoman.
Di tahun 2010, saya benar-benar kehilangan pegangan.
Tetapi, justru kini saya menyadari bahwa penghancuran tersebut penting. Benteng perlindungan saya memang perlu dirobohkan. Mengapa? Karena kini saya sudah berada di dunia yang jauh berbeda dari dunia saya 15 tahun lalu: saya berada di ambang dunia kedewasaan, di mana saya harus meninggalkan semua proteksi imajinasi masa kecil dan melangkah menghadapi dunia nyata. Saya harus keluar dari rumah kerang saya, saya harus pergi dari benteng saya; semua agar saya benar-benar tumbuh menjadi manusia dewasa sebijaksana dan sematang mungkin.
2010 adalah perobohan. 2011 adalah pembangunan kembali. Tahun ini adalah tahun megatransisi. Di tahun inilah saya akan—dan harus—membangun pondasi bagi bentuk saya di masa-masa mendatang. Sekarang saya harus mematangkan segala pembelajaran yang saya dapatkan selama 1994-2010 serta mengadaptasikannya dalam kehidupan saya yang baru.
Oleh karena itu, langkah pertama yang saya lakukan untuk mengawali pembangunan benteng saya adalah dengan mengosongkan resolusi 2011 saya.
Saya membuat begitu banyak resolusi di 2010. Beberapa berhasil; namun, banyak yang tidak. Bukan berarti saya tidak mensyukuri pencapaian-pencapaian saya, yang tidak bisa dibilang sederhana. Namun, memang itu kenyataannya. Ironis bahwa, sekarang, saya menyadari bahwa hal-hal tersebut tidak terkabul justru karena saya terlalu memikirkannya; membicarakannya; mengejarnya. Istilah gamblangnya, menjadikan mimpi saya tersebut beban—sesuatu yang amat bertentangan dengan kepribadian saya sebagai manusia bebas. Maka, alam bawah sadar saya menentangnya; dan tiada tercapailah mimpi-mimpi tersebut.
Maka saya memutuskan untuk membiarkan semuanya mengalir. Saya akan membuat berbagai rencana, saya akan menjalani berbagai kegiatan; namun, saya tidak akan mematok apapun. Just live it. Jalani apapun sesuai arusnya. Ibaratnya, saya tidak ingin melihat sejauh apa garis finish saya dan menargetkan waktu yang harus saya habiskan. Saya hanya akan berlari menyusuri rute saya, melakukan apapun semampu saya, dan baru melihat hasilnya di akhir. Saya akan membuang semua ambisi. Saya tidak ingin terbebani oleh standar perfeksionisme saya lagi.
Dan saya akan berhenti membiarkan orang lain mendistraksi saya. Tidak, saya akan menjadi diri saya sendiri kali ini. Saya yang akan memilih pilihan hidup saya; saya yang akan menjalaninya. Orang-orang boleh menggugat, mengkritik, dan menyarankan ribuan opini—itu hak mereka. Tetapi, kali ini, saya yang akan mengeksekusi semuanya.
I am the single player in my stage. Nobody shall rain in my parade. And if that makes me a bitch, then so what? Madonna said, “I'm tough, ambitious, and I know exactly what I want. If that makes me a bitch, okay. If that is the definition of a bitch, then I have been a bitch since I was born—and I am willing to be a bitch until the day I die.
Itulah resolusi 2011 saya. Sebuah kesederhanaan. Hanya sebuah cita-cita dan komitmen, tanpa embel-embel yang membebani.
Untuk menjadi bebas.

Saturday, December 4, 2010

Hopelessness

Ada sebuah lahan kosong di samping jalan masuk menuju perumahan saya. Tidak ada bangunan berdiri di atasnya, hanya ditumbuhi oleh sebuah pohon saja. Seperti lahan kosong lainnya, yang dibengkalaikan dan tidak dirawat, tidak ada seorang pun yang memerhatikan lahan tersebut. Rumputnya dibiarkan saja tumbuh; daun-daun kiring dibiarkan saja berserakan; bahkan kadang-kadang, sampah dibiarkan dibuang sembarangan. Orang-orang berlalu lalang di sekitarnya, tanpa peduli sedikitpun terhadap lahan tersebut.
Siang ini, kira-kira pukul satu tadi, saya pulang dari sekolah. Seperti biasa, saya melewati lahan kosong tersebut. Biasanya, saya melirik lahan tersebut pun tidak. Namun, siang ini ada satu pemandangan yang mau tak mau menarik pandangan saya, hingga saya terngiang-ngiang setelahnya.
Di tengah-tengah daun yang berserakan tersebut, terduduk seorang nenek. Nenek tersebut, begitu saya berasumsi, adalah seorang gelandangan. Beliau ndeprok, ndelosor (begitu istilah Jawa-nya), berbaur sepenuhnya bersama daun-daun kering dan sampah yang bahkan hampir menyamarkan beliau. Rambut berubannya dibiarkan tergerai, menjuntai menutupi wajahnya yang dipenuhi guratan nasib. Pakaiannya lebih reyot daripada pakaian gelandangan manapun yang pernah saya lihat. Ia tidak membawa banyak barang, yang terhampar bersama daun-daun kering.
Di sebelahnya, terkamuflase oleh ilalang dan daun-daun di sekitarnya, terdapat sebuah nyala api. Sekilas saya menyangka bahwa nyala itu berasal dari kompor—mungkin nenek tersebut membawa kompor, begitu saya berpikir sesaat. Namun, setelah saya perhatikan dalam observasi singkat tersebut, ternyata api tersebut tersulut dari daun-daun kering dan sampah yang dikumpulkan oleh beliau. Di atas api tersebut beliau tengah memasak—atau merebus—sesuatu, entah apa, di dalam kaleng biskuit yang sudah berjelaga.
Nenek tersebut tidak memandang kendaraan di sekitarnya. Bahkan, beliau tidak memandang jalanan. Ia hanya meneleng sedikit ke kaleng yang ia gunakan sebagai panci tersebut, namun pandangannya menerawang sesuatu yang tidak mampu saya bayangkan. Ekspresi beliau susah ditebak—bagi saya, adalah ekspresi penguatan; saat seseorang merenungi nasib dan berusaha tabah. Beliau tampak begitu rapuh dan lemah. Tanpa daya, tanpa harapan. Hopeless.
Saya tidak pernah melihat pemandangan semenyedihkan itu. Untuk sesaat, ketika saya melewati sang nenek, perhatian saya hanya terarah kepadanya. Dunia sunyi saat sesuatu di dalam diri saya mulai bertanya-tanya, putus asa dan penuh rasa iba: Siapakah nenek tersebut? Mengapa ia bahkan memasak di tengah lahan saat mendung seperti ini? Mengapa ia menggelandang? Tidakkah ada yang menolongnya? Tidakkah aku bisa menolongnya? Tidakkah aku seharusnya menolongnya?
***
Saya tiba di rumah, akhirnya. Namun, sepanjang perjalanan, saya hanya teringat oleh nenek tersebut. Saya memandang rumah saya. Rumah saya tidak besar—bahkan cenderung kecil dan sempit. Namun, tetap, bagaimanakan itu merupakan sebuah rumah. Even, it’s not just a house; it’s a home, with a family who live inside. Sedangkan nenek tersebut, saya bahkan tidak mampu membayangkan beliau memiliki sepeser saja uang; apalagi membayangkan beliau memiliki rumah dan keluarga. Saya hanya mampu membayangkan nenek tersebut menggelandang di jalanan setiap hari, sendirian, tanpa kasih sayang sedikitpun.
Batin saya tidak tenang. Terutama apabila saya teringat oleh kaleng di atas api tersebut. Itu salah satu hal yang paling membuat saya terenyuh. Bahkan, sebuah panci yang memadai pun tidak dimiliki oleh nenek tersebut. Penggantinya, beliau menggunakan kaleng biskuit—yang jelas sudah tidak sehat lagi untuk dimasak. Lebih parah lagi, saya tidak tahan membayangkan apa yang sedang dimasak oleh nenek itu. Bagi saya, beliau tidak mungkin membeli air matang, sedangkan sumber air di sekitar lahan itu hanya berasal dari… Ya, dari sawah atau dari comberan.
Sungguh, saya tidak pernah mengira bahwa hal tersebut akan terjadi di dunia selepas abad ke-19 awal.
Melihat masih ada satu orang di dunia yang mengalami nasib seperti gelandangan Inggris pada Era Victoria membuat saya terenyak. Tidak pernah, tidak pernah saya sadari dengan betul, bahwa di dunia ini, masih ada orang yang kehidupannya bahkan lebih keras daripada yang dituliskan novel-novel. Oke, saya menyadari bahwa hal tersebut terjadi di dunia; namun, di bagian dunia yang lain. Mendapati bahwa peristiwa sosial seperti itu terjadi di sekitar lingkungan tempat tinggal saya benar-benar memberikan sebuah gegaran mengejutkan bagi kesadaran saya.
Saya selama ini telah begitu beruntung. Saya dibesarkan oleh sebuah keluarga berpendidikan yang senantiasa mengasihi dan memperhatikan saya. Kami memang tidak kaya; tetapi, orangtua saya selalu mencukupi kebutuhan saya. Dari hal sesimpel pangan, di mana saya selalu makan tiga kali sehari, dengan lauk yang tidak kurang dari sebuah tempe; hingga hal sepenting pendidikan, di mana saya bersekolah di salah satu sekolah favorit yang tidak bisa dibilang murah; bahkan hingga pemenuhan kebutuhan tersier seperti buku hingga laptop. Secara materi, saya cukup. Memang, tidak mewah; namun, saya termasuk berkecukupan untuk standar Indonesia.
Dari segi afeksi, kasih sayang, saya mendapatkan segalanya. Saya memiliki dua orangtua berpendidikan yang membesarkan saya dalam nilai-nilai spiritual, moral, intelektual, dan budaya yang amat kental. Saya juga memiliki seorang kakak yang benar-benar menjadi mentor kehidupan saya, menjadi role model dalam berbagai hal pula. Bahkan, sebagai tambahan, budhe saya juga tinggal di rumah, ikut merawat saya dari kecil, menimang dan mengemong saya meski saya rewel dan bandel; dan hingga setahun lalu, ada nenek saya yang telah ikut membesarkan saya dan kakak dari lahir; mewariskan ribuan tradisi dan nilai moral kebudayaan Jawa yang mengagumkan, serta dengan gigih mendidik saya untuk melestarikan nilai-nilai tersebut bahkan ketika saya beranjak dewasa dan liar. Terlepas dari masalah-masalah yang ada dalam keluarga saya, saya dibesarkan, secara umum, dalam keluarga baik-baik.
Saya yakin, tetap ada keluarga yang lebih sejahtera dari beberapa segi dibandingkan saya; namun, itu bukan berarti keluarga saya buruk. Tidak sama sekali. Saya mendapatkan keluarga yang sangat baik. Saya mendapatkan segala yang saya butuhkan dalam hidup saya. Kehidupan saya tidak mewah; tetapi, normal dan cukup.
Bahkan, sekarang saya sadari, saya tidak mungkin mendapatkan—atau meminta—sebuah keluarga—atau kehidupan—yang lebih baik lagi.
***
Dan saya selama ini selalu meratapi kondisi saya.
Tidak saya pungkiri, ada rasa iri ketika orang lain tampaknya mendapatkan kemudahan-kemudahan dari segi material. Oke, itu alamiah sebagai manusia. Kadang-kadang, saya juga sangat dongkol ketika berbagai problem merundungi saya. Saya benci ketika saya tidak diberikan privilege seperti remaja cowok lain pada umumnya. Saya marah ketika harus menghadapi berbagai problem yan, ,sering saya pikir, tidak seharusnya saya dapatkan. Saya murka ketika hal-hal tidak terjadi seperti nilai-nilai ideal perfeksionisme saya.
Tetapi, mendapati bahwa ada nenek yang lebih tidak berdaya dibandingkan keluarga saya, menghantam saya dengan pukulan yang lebih berat—bahwa saya adalah orang yang bahkan lebih hopeless lagi. Saya telah memiliki begitu banyak pemberian Tuhan; tetapi, saya buta terhadap semuanya; bahkan, saya selalu menuntut untuk diberi lebih banyak lagi. Padahal seharusnya semua itu cukup untuk hidup di dunia dengan baik. Sesungguhnya, semua itu lebih dari cukup—sesungguhnya, saya bisa memanfaatkan semuanya untuk membuat hidup orang lain lebih baik juga.
Namun, bahkan untuk menolong sang nenek pun, saya tidak berdaya. Sempat terpikir oleh saya untuk menolong nenek itu; tetapi, pada akhirnya, saya tidak melakukannya. Mengapa? Saya terperangkap dalam batasan dan kekurangan yang sesungguhnya saya ciptakan sendiri. Entah batasan itu dalam bentuk alasan saya tidak memiliki uang cukup pada saat kejadian; atau saya tidak memiliki makanan untuk diberikan; atau saya tidak tahu bagaimana tindakan yang paling baik untuk menolong beliau.
Semua itu omong kosong. Semua itu sampah; semua itu bullshit. Alasan-alasan yang saya miliki sesungguhnya adalah keterbatasan yang saya miliki sendiri. Sesungguhnya, apabila saya menentang semua pikiran itu dan bersikap masa bodoh, saya pasti telah berbuat sesuatu untuk menolong nenek tersebut. Entah dengan tindakan apapun, entah bodoh entah brilian, entah memalukan entah membanggakan. Namun, saya pasti sudah bertindak. Saya berbuat sesuatu dan itulah yang penting.
Tetapi, bagaimana kenyataannya? Saya justru duduk di depan komputer, mengetik post ini di dalam rumah saya yang aman dan nyaman, menumpahkan segala kegelisahan, kegundahan, dan ratapan saya—sementara seharusnya saya berada di luar sana, melakukan tindakan entah apa bagi sang nenek, apabila saya adalah manusia yang benar-benar baik. Namun, dengan malu saya mengakui bahwa saya bukan manusia yang baik. Sungguh memalukan, saya justru salah satu tipe manusia yang paling buruk—manusia yang terbatasi oleh kelebihannya sendiri; manusia yang tidak berdaya oleh daya gunanya sendiri. Itu merupakan hal paling hina yang ada di dunia; dan saya terjebak di dalamnya.
Maka, ketika saya akhirnya benar-benar menyadari apa yang harus saya lakukan, semuanya sudah terlambat. Hujan akhirnya turun dan saya terjebak dalam ketidakberdayaan yang paling menyakitkan.
***
Saya tahu bahwa yang saya lakukan sekarang ini adalah tindakan yang tidak terpuji. Saya tahu bahwa saya telah melakukan hal yang sangat memalukan. Meskipun saya yakin, tanpa bermaksud menjustifikasi diri saya sendiri, bahwa di antara para pembaca pasti pernah berada di posisi saya paling tidak satu kali. Walau bagaimanapun, itu tidak membenarkan apa-apa: saya masihlah orang yang sangat memalukan. Saya orang yang paling tidak berdaya.
Oleh karena itu, saya harap para pembaca bertindak lebih baik daripada saya. Dibatasi oleh ketidakterbatasan kita adalah hal paling memalukan yang ada di dunia. Kita seharusnya tidak perlu ragu untuk mendayagunakan hal tersebut demi kebaikan. Kita tidak perlu berpikir dua kali—segera saja lakukan, whatever the risk we are taking. Saya telah melakukan kesalahan besar dengan berpikir ulang mengenai berbuat sebuah kebaikan; saya harap, Anda tidak mengulangi kesalahan saya tersebut.
Jangan sampai Anda terjebak dalam ketidakberdayaan ini, a hopelessness caused by too much hopes to be shared. Jangan ulangi kesalahan saya; kita hanya akan menjadi manusia yang lebih buruk daripada sebelumnya. Dayagunakan segala potensi Anda; olah segala ketidakterbatasan Anda; bagikan semaksimal mungkin segala kelebihan Anda.
Sehingga tatkala hujan turun di tempat Anda, dengan intensitas yang membuat tiap orang terjebak di dalam rumahnya, Anda tidak akan terjebak dalam ketidakberdayaan seperti yang saya rasakan sekarang ini.
Jumat, 03 Desember 2010

Saturday, May 29, 2010

To Love, Be Strong

Untuk Vira
dan semua yang sedang jatuh cinta, pernah jatuh cinta
sedang patah hati, pernah patah hati

Kisah saya berawal dengan sempurna, seperti kisah-kisah lainnya. Kau mengenal seseorang, di sebuah tempat, seseorang yang menyenangkan dan ramah. Kalian berkenalan dan berkontak ria--seharian penuh saling mengirimkan sms, bercanda, dan mengobrol bersama. Sekilas segalanya tampak sempurna--ia begitu memahami dirimu dan amat menyayangimu.
Untuk pertama kalinya, kau berpikir bahwa kau jatuh cinta.

Gayung bersambut—ia selalu menjawabmu dengan penuh perhatian. Menjadi tempatmu mencurahkan isi hati, mendiskusikan opini masing-masing, saling melemparkan lelucon—kadang-kadang diselingi bujuk rayu yang membuat tersipu. Ah, mabuk kepayang rasanya. Kau makin berpikir, Ia mencintaiku! Dan kau mengikatkan hatimu kepada ketidakpastian tersebut.
Kemudian, hari-hari berlalu, dan karena kesibukan, kalian jarang berhubungan. Intensitas sms kalian menurun—bila dahulu minimal 12 jam penuh kisah, kini dalam 1 jam kalian hanya mengirimkan 3 pesan. Isinya pun makin lama makin hambar. Perhatiannya berkurang. Suatu hari, kau menyadari, hatinya mendingin—dan kebenaran menampar wajahmu keras. Ia tidak pernah benar-benar memberikan hatinya kepadamu; itu semua hanya suka, bukan cinta. Hatinya tidak pernah dijangkarkan di dasar hatimu, bahkan meski dirimu melabuhkan diri di dirinya.

Pada akhirnya, kau ditinggalkan patah hati dan kesepian. Tiap pesan tidak ia jawab—atau meski dijawab, membutuhkan waktu sangat lama, dan tanpa emosi ‘spesial’ apapun. Mimpi-mimpimu kandas dan hanya sakit hati yang tertinggal. Kesedihan merundungmu begitu lama—namun, kau tahu bahwa itu semua hanya sia-sia belaka.

Karena kau tahu, kau harus mengangkat muka dari cintamu, dan melanjutkan hidup tanpa dirinya.

***

Saya menulis kisah ini bukan hanya untuk merespon note Facebook teman dekat saya, namun juga untuk memberikan semacam renungan. Mungkin agak berat, namun saya usahakan agar kadarnya cukup ringan. Sekarang, bila telah siap, mari kita bahas sebuah objek yang telah didiskusikan sepanjang riwayat kehidupan manusia—dan begitu sering di antara remaja, hingga menyerempet norak: cinta.

Teman dekat saya tersebut, Vira, menulis post yang kurang lebih seperti ini: Mengapa kita jatuh cinta kepada seseorang, meskipun kita tahu—dalam kapasitas sebagai remaja—sulit untuk mempertahankannya; dan mengapa, meskipun dari awal kita tahu bahwa akhirnya akan putus, tetap sulit untuk menerima akhirnya; dan menanyakan arti ‘cinta’ itu dan sebab ‘cinta’ menyakitkan.

Sewaktu saya membaca post tersebut, jujur, saya terdiam. Saya pernah mengalami jatuh cinta sebelumnya—selama sekian tahun menghabiskan energi saya untuk seseorang yang tidak pernah saya tahu benar-benar mencintai saya atau tidak. Kisah ini berakhir dengan patah hati. Orang yang cerdas tidak akan melakukan kesalahan yang sama dua kali. Namun, bodohnya saya, kisah tersebut berulang sekali lagi—kisah di awal tadi.

Maka, saya juga mengajukan pertanyaan yang sama: Mengapa kita, teenagers, selalu jatuh cinta—pacaran—meski selalu berakhir putus? Kalau begitu, apakah cinta itu? Perlukah disambut, karena berawal manis; atau justru digebah, karena berakhir sia-sia? Terutama, mengapa cinta menyakitkan? Berhari-hari saya lewatkan merenungkan hal tersebut, hingga hari ini saya menyadari jawabannya—karena cinta, dalam tingkatan manifestasi apapun, akan selalu menyakitkan.

Saya teringat filsuf Italia terkenal, Nicolò Machiavelli, yang menulis sebuah risalah terkenal mengenai kekuasaan, Il Principe. Risalah tersebut menuliskan cara-cara dasar menjadi penguasa absolut—panduan kepemimpinan radikal yang mengagumkan. Namun, ada sepenggal kata-kata yang begitu mengejutkan saya karena kebenaran di dalamnya. Machiavelli, saat membahas mengapa orang lebih baik ditakuti daripada dicintai, mengungkapkan hakikat mencintai yang sebenarnya: “Orang lebih berkeberatan menyerang seseorang yang membuat dirinya dicintai daripada yang membuat dirinya ditakuti. Karena cinta diikat oleh rantai kewajiban yang, akibat keegoisan manusia, patah setiap kali cinta dimanfaatkan untuk kepentingan mereka…”

Ada satu makna yang amat dalam dari kalimat terakhir tersebut: bahwa orang yang mencintai lebih mudah tersinggung. Dengan mencintai seseorang, kita mencurahkan perhatian kita; dan secara tidak langsung, mengharapkan balas budi: perhatian yang sama tercurah kepada diri kita. Apabila kita tidak (atau kurang) mendapatkan kasih sayang sesuai ekspektasi sebelumnya, dengan kata lain tidak sebanding dengan pemberian kita, akan timbul apa yang disebut sakit hati.

Ini merupakan alasan mengapa ‘cinta’ di antara remaja jarang bertahan lama: karena remaja belum sepenuhnya sanggup menoleransi kurangnya perhatian tersebut. Remaja terpaku pada anekdot, Aku memberi kamu sepundi perak, maka balaslah budiku dengan sepundi perak pula. Kurang sekoin perak saja akan menimbulkan keberatan, padahal keberatan apabila ditumpuk akan menjadi sakit hati.

Padahal, tidak sepenuhnya orang yang kita beri sepundi perak mampu membalasnya dalam jumlah yang sama. Kadang-kadang, kita hanya mampu memberi tiga perempat saja, atau justru hanya tiga keeping. Bukan hanya karena tidak mau, atau tidak mampu—namun, juga karena mereka merasa, itulah jumlah maksimal yang harus diberikan sebagai balas jasa, tidak lebih dan tidak kurang. Tidak ada pengertian yang sama di antara tiap manusia; oleh karena itu, perbedaan semacam ini seharusnya dapat ditoleransi. Namun, karena cinta ‘diikat oleh rantai kewajiban’, yang berarti ‘harus mengembalikan dengan sebanding’, ketimpangan tersebut lebih sering tidak dapat ditoleransi—meskipun seharusnya dapat. Berlanjut dari keberatan menjadi sakit hati.

Cinta itu memang menyakitkan. Dan memikul cinta itu memang sangat berat: Hal-hal yang bagi kita adalah hal biasa saat hanya sebatas teman, dapat menjadi memiliki arti yang berbeda saat jatuh cinta—sekali lagi, karena aturan ‘rantai kewajiban’ itu tadi. Kebanyakan remaja tidak menyadari ‘rantai kewajiban’ ini, maupun sikap toleransi dalam menghadapinya—yang berakhir, banyak di antara cinta-cintaan ini berujung putus.

Kini, kita tahu bahwa mencintai itu sulit, dan selalu akan ada sakit hati di dalamnya. Oleh karena itu, jika ingin sepenuhnya mencintai sesuatu, jadilah kuat. Siaplah menghadapi ketimpangan-ketimpangan tersebut; buang semua ekspektasi dan hadapilah kondisi nyatanya. Akan selalu ada masalah yang menghadang, dan tidak semua perhatian kita dibalas juga. Namun, apabila kita benar-benar ingin mencintai, kita tidak perlu menuntut balasan yang sebanding—bahkan, jika bisa, jangan bersikap pamrih sama sekali.

Maka, ini kembali kepada pertanyaan selanjutnya: hakikat cinta. Cinta yang nyata, bagi saya, adalah sikap untuk terus memberi tanpa pamrih tersebut. Justru bagi saya, apabila kita bisa tetap mencintai bahkan apabila yang dicintai sama sekali tidak membalas perhatian kita, itulah kasih sayang murni. Ini alasan mengapa saya memandang remeh semua remaja yang pacaran, dan sebagainya—mereka hanya suka, tertarik, bukan cinta; karena mereka tidak akan mempertahankan cinta mereka dengan cara menoleransi ketimpangan tersebut—dan tidak siap saat harus berakhir.

Lagipula, bila kita membuka mata, kita akan melihat bahwa cinta tidak hanya dimiliki kekasih. Cinta ada di mana-mana—di dalam persahabatan; antara orangtua dan anak-anak mereka; bahkan saat kita membantu mereka yang kurang beruntung. Selama seseorang dapat terus memberi tanpa mengharapkan balas budi, itu yang namanya cinta. Segala cinta ini dapat ditemukan di mana-mana. Oleh karena itu, kita tidak selamanya butuh pacar. Ya, kita kadang-kadang menyukai seseorang; namun, jika tidak bertahan, angkat kepalamu tinggi-tinggi dan lihat bahwa ada banyak cinta di sekelilingmu—bahkan cinta yang lebih murni.

Bagaimanapun, apabila kita ingin mengaplikasikan cinta di manapun kita berada, jadilah kuat. Kita harus mampu menghadapi semua kekurangan yang kita cintai; dan menyiapkan diri agar tetap tabah dalam menghadapi ketimpangan-ketimpangan tersebut, juga akhir pahit yang mungkin kita hadapi. Cinta selalu menyakitkan—maka, jadilah kuat dalam menghadapi sakit itu. To love, be strong. Orang yang tidak bisa kuat dalam menghadapi ketimpangan tersebut berarti tidak bisa mencintai. Itu sebabnya, benar apa kata J.K Rowling dalam Harry Potter, dikatakan oleh Albus Dumbledore—“Cinta adalah objek yang paling kuat di muka bumi ini.” Cinta bukan untuk orang lemah.

Maka, khusus bagi remaja yang ingin memiliki pacar, apabila kalian tidak siap patah hati, jangan jatuh cinta. Dan bagi mereka yang tidak mau belajar mencintai, jangan hidup—karena hidup ini penuh oleh cinta.

Solusinya, mari kita belajar mencintai—dengan cara belajar menjadi kuat.
To love, be strong. Because love’s hurts; and loving is a fight against the pains.

Monday, May 10, 2010

Travelling the World: Egypt Session, Gembiraloka

-->
PRE-CAUTION
Penyebutan nama tempat, resto, organisasi, perusahaan, dsb. di sini didasarkan pada alasan kebutuhan akan fakta saja; semua opini dan komentar yang ada di post ini semata-mata ditulis berdasarkan pengamatan kami sendiri, tanpa ada pengaruh dari pihak ketiga; tanpa adanya sponsorship dari nama-nama yang disebut; tanpa tujuan komersial dan persaingan pasar apapun seperti promosi maupun bad-imaging.

Sebelumnya, maafkan saya karena saya terpaksa memotong kisah perjalanan saya dengan Merlynda Ayu Rara Dini dan Ratih Sanjaya Wahyuningrum. Namun, saya sudah melakukan sebuah perjalanan lagi, dan ada banyak hal di sana yang harus saya ceritakan.

Jadi…

Pada tanggal 25 April 2010 kemarin, saya dan teman-teman dari kelas IX B SMP Negeri 5 Yogyakarta mengadakan sesi pemotretan outdoor untuk yearbook kelas kami. Tema yang diambil adalah Travelling; intinya kami berjalan-jalan keliling dunia: ke Jepang, Mesir, Prancis, dan Amerika Serikat. Dua hari sebelumnya kami telah mengambil gambar sesi indoor; hari itu, saatnya kami berkeliling Jogja!

Kami pergi ke lima spot: Kebun Binatang Gembiraloka, Taman Pintar, Dapur Cokelat, Japan College, dan terakhir Mi Ramen Jakal. Untuk sesi Mi Ramen Jakal, mengingat jauhnya lokasi dan keterbatasan transpor serta waktu, akhirnya diganti di Nikkou Ramen di Jalan AM Sangaji. Perjanjian dengan fotografer kami, Mas Handy dan Mas Bayu, sudah dibuat; honor sudah disiapkan (hahaha); jadwal sudah disusun dengan saksama; dan SMS maupun pengumuman sudah disebarkan.

Semua panitia rencananya akan ikut. Panitia yang ikut full seluruh sesi pemotretan hingga sore antara lain saya (karena saya ketiban ubi runtuh menjadi ketua panitia buku tahunan kelas), Ratih, Dhela alias Dhela Saputri, Icha, Inggit, Luky, Okka. Rencananya, pagi itu saya akan dijemput oleh Luky lalu langsung mbablas ke Gembiraloka, dan selama perjalanan itu Luky juga yang memboncengkan saya (karena saya belum memiliki vespa warna putih, dengan bendera Union Jack di bagian belakangnya, dan helm retro warna putih pula).

Tetapi, seharusnya, pagi itu saya sudah mendapatkan pertanda bahwa perjalanan ini akan menjadi perjalanan yang konyol dan amat sangat menyedihkan. Apa pertandanya? Satu hal yang sudah ditulis berkali-kali menjadi sumber malapetaka—setidaknya di blog GudangSaya ini: hujan.

Ya, hujan. Sejak malam Minggu hingga Minggu paginya, hujan turun dalam intensitas yang membuat jantung setiap orang yang pemotretan outdoor jedag-jedug—deras luar biasa, mereda sedikit, turun lagi agak banyak, lalu deras, lalu gerimis, lalu reda, lalu hujan lagi… dan begitu seterusnya, tanpa ada kepastian akan reda. Begitu tidak pastinya hingga akhirnya datanglah sms bertubi-tubi dari panitia pemotretan, dan teman-teman model pemotretan, yang bertanya: “Jadi ga nanti? Hujan nih” “Akib, di rumahku hujan, gimana nanti jadi ga? Masa pemotretan hujan-hujan” “Diundur waktunya piye? Ujan deres di rumahku

Akhirnya, saya—setelah berembug dengan pihak-pihak terakhit—memutuskan untuk membatalkan sesi outdoor di Gembiraloka mengingat sesi itu yang nantinya benar-benar ada di luar ruangan, dan kemungkinan terpapar hujannya besar. Akhirnya, saya menelepon teman saya, Satrio (karena Mas Handy, fotografer sesi itu, adalah kakak kandung Satrio), untuk mengundur sesi Gembiraloka ke hari Senin, dan mengirim SMS ke panitia yang lain—dan lima menit kemudian Inggit membalasnya:

INGGIT:
Akib !
Kenapa di Gembiraloka nya dibatalin ? Rumahku kan deket Gembiraloka , jadi aku tau cuacanya . Di sini tuh gak hujan . Jadwalnya kan udah dibuat , ngapain dibatalin ?

AKIB:
Lha tapi aku dah bilang sama mas nya Satrio kalau dibatalin e, lagian mas nya Satrio sendiri yang ngusulin diundur aja kalo hujan.

INGGIT:
Udah , ya bilang aja sama mas nya satrio “Mas,tapi kita kan harus ngikutin jadwal” apa gimana lah. Pokoknya hari ini harus jadi!

Maka, setelah Inggit menginformasikan bahwa di kediamannya tidak hujan—dan itu berarti, menurut Inggit, Gembiraloka tidak hujan (dan membuat saya bertanya-tanya, apakah kediaman Inggit dan Gembiraloka adalah sama); dan setelah berkonsultasi dengan teman-teman panitia yearbook; dan setelah menelepon Satrio; akhirnya sesi Gembiraloka diadakan hari Minggu itu juga, hanya diundur ke jam 08.30 pagi.

Saya dijemput Luky dengan segera dengan motor Tiger (iya bukan sih? Saya bukan penggila otomotif) abu-abu miliknya, dan kami segera berangkat ke Gembiraloka. Kami tiba di Gembiraloka kira-kira jam 8.40. Inggit serta Ratih sudah tiba sebelumnya, dan tentu saja Satrio serta Mas Handy. Lalu, salah satu model hari itu, sahabat saya, Luthfi Ghivari alias Simbah, Akhirnya, kami memutuskan bahwa kami tidak perlu menunggu panitia yang lain (dengan kata lain Dhela, Icha, serta Okka, karena menurut teman-teman yang lain mereka toh akhirnya juga datang telat), kami masuk dan menemui model pemotretan yang sudah menunggu di dalam.

Model sesi pemotretan berkode MESIR3 itu adalah Luthfi alias Simbah, Haidar alias Prenges, dan Akbar alias Sayatidaktegamengatakannya (mengenai pemberian alter ego tersebut, maafkan saya teman-teman). Pura-puranya, ketiga teman saya tersebut akan memerankan kafilah suku pribumi Sinai, yang sedang mengadakan perjalanan dengan Unta. Oleh karena itu, nanti mereka akan naik unta Gembiraloka dengan gamis dan kafiyeh.

Saya sudah, katakanlah, kurang lebih 6 tahun tidak ke Gembiraloka, dan keadaannya sungguh lebih memprihatinkan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kami kira, dengan harga tiket yang berubah menjadi Rp 12.000,00 (sehingga saya dan teman-teman ribut sebentar sebelum masuk), akan ada perubahan mendasar dari kebun binatang tersebut; namun, tentu saja itu opini yang amat naïf. Pemandangan yang pertama menyambut saya adalah bangunan Rumah Kapal yang remuk redam akibat gempa dan belum diperbaiki; selanjutnya, kandang-kandang hewan yang begitu mengenaskan. Bau kotoran binatang sesekali mengudara cukup lama, air di kolamnya sekeruh kali di kala kemarau, dan kandangnya tampak kotor.

Hewan-hewannya pun tampak merana—dan untuk pertama kalinya, saya menyadari sepenuhnya apa yang dimaksud C.S. Lewis sebagai ‘binatang bodoh’ dalam serial novel Chronicles of Narnia. Sayang sekali, C.S. Lewis tidak menambahkan frasa ‘manusia bodoh’, yaitu manusia-manusia yang begitu bodohnya hingga melempari hewan-hewan (bahkan harimau) dengan kacang, merusak sangkar kakatua jambul kuning, dan mengetuk-etuk kandang iguana. Memang menyakitkannya melihat hewan-hewan tersebut dipenjara dalam kebun binatang yang tampak kumuh tersebut, tetapi lebih menyakitkan lagi melihat manusia—yang secara intelektual lebih cerdas dari mereka yang ada di kandang—melakukan tindakan-tindakan brutal tanpa moral tersebut. Oleh karena itu, saya berpesan kepada pembaca, jika Anda tidak tahu bagaimana memperlakukan binatang dengan baik, jangan pernah pergi ke kebun binatang.

Tetapi, singkat cerita, akhirnya kami tiba di lapngan tempat unta-unta tunggangan berada. Namun, sekali lagi, satu pertanda buruk—loketnya tutup. Tutup. TUTUP. Was was, saya bertanya dengan bapak-bapak pemberi makan unta, kapankah loketnya buka? Bapak itu menjawab dengan begitu acuh, hingga saya curiga Betty si Orangutan mampu mengekspresikannya dengan lebih impresif: “Jam sepuluhan mungkin bukanya.”

Ya Allah ya Rabbi. JAM SEPULUH??? Padahal waktu itu sudah menunjukkan pukul 09.38, mundur satu jam dari waktu seharusnya. Padahal kami ada jadwal pemotretan di Taman Pintar pukul 10.00! Padahal, sahabat saya satu lagi, Bari’ alias Muhammad Farras Bari’zain, sudah menelepon saya bahwa dia sudah berada di Taman Pintar! Dan kami harus menunggu 22 menit lagi? Oh, Gembiraloka, you must be joking. Tetapi, didukung oleh teman-teman saya, dan Dhela, Icha, Okka, serta kemara SLR milik Dhela sebagai mahapenyelamat, saya memutuskan untuk menunggu. Dan menunggu. Hingga jam saya menunjukkan pukul 10.06. Padahal tidak ada tanda-tanda loket akan dibuka.

Maka saya berjalan, bersama Ratih, ke loket suvenir atraksi Menunggang Unta, untuk menanyakan tepatnya waktu pembukaan atraksi. Kami disambut oleh bapak-bapak yang, untungnya, ramah, namun jawaban mereka sungguh menusuk hati kami: “Loketnya buka jam setengah sebelas, dek.”
SETENGAH SEBELAS. THAT’S A PERFECT FORMULA TO RUIN MY WHOLE-DAY SCHEDULE.
Maka kami menanti, dengan teman-teman saya (dengan seenak udel perut mereka) justru foto-foto dengan gembira, sementara saya foto-foto dengan kupu-kupu di dalam perut saya, dan sebelah tangan berusaha menenangkan Nahal serta Bari’ yang sudah menanti di Taman Pintar. Akhirnya, tibalah jam 10.20. Setelah ribut mengenai biaya (karena kami belum mendapat komisi dari kas kelas yang akan dibagikan, dan tidak semua anak membawa uang, kurang ajarnya), dan ribut mengenai pembagian foto (karena Haidar hanya membawa dua gamis untuk tiga anak), maka kami mendandani Haidar dan Akbar duluan di depan lapangan unta. Bukan di kamar mandi; tetapi di depan lapangan unta, dengan semua mata tertuju pada mereka.

Lalu, tibalah saatnya: loket dibuka. It’s showtime!

Dengan tepuk tangan riuh dari panitia, Haidar dan Akbar pun meniti tangga menuju punggung unta. Haidar sempat susah payah naik ke punggung unta—tetapi akhirnya mereka pun naik ke punggung unta. Mas Handy masuk ke dalam arena lapangan unta untuk memotret mereka—tapi, si pawang unta, tidak mendengarkan teriakan mencegah dari kami panitia, justru mengarak Haidar dan Akbar dengan unta berkeliling lapangan.

Kontan kami tertawa terbahak-bahak, terpingkal-pingkal luar biasa—saya sampai keluar airmatanya! Bagaimana tidak? Orang-orang yang lewat segera menoleh ke lapangan unta saat melihat dua remaja berumur lima belas tahun menunggang unta di tengah Kebun Binatang Gembiraloka seperti anak-anak, diarak mengelilingi lapangan unta. Mereka yang semula sudah menyilangkan jari di kepala saat melihat Haidar dan Akbar memakai kafiyeh, segera berhenti dan berjajar di depan lapangan unta demi melihat keduanya beratraksi menjadi Bedouin-wannabe. Sungguh, saya benar-benar tidak dapat membayangkan malunya kedua anak itu, saat mereka menjadi badut mendadak.

Kami tertawa dan menyoraki keduanya dengan “Allahu Akbar!” “Labaikallahumma labaik!” seakan-akan keduanya adalah peserta haji abad ke-XIX—tepat ketika saya menoleh ke kanan dan menelan ludah. Di seberang lapangan unta, menatap Haidar dan Akbar dengan tertegun, adalah pasangan suami-istri Islam syi’ah—si suami memakai baju gamis dan si istri mengenakan baju bercadarnya. Oh God. Salah seorang dari kami melihat keduanya, berbisik, “Eh, yang asli datang!” dan seketika semua panitia menoleh.

Ya ampun, betapa malunya kami! Saya membayangkan pasutri dan putera mereka tersebut pasti luar biasa takjub melihat Haidar dan Akbar, seakan-akan penampilan mereka sedang diolok-olok di tengah Gembiraloka; dan betapa mereka amat murka. Salah seorang dari panitia justru nyeletuk, “Waduh! Kalo mereka marah terus ngebom Gembiraloka piye coba?” Kami buru-buru gaduh, menutup muka dan menyembunyikan diri dari pandangan, menyingkir dari lapangan unta, berpura-pura tidak kenal Haidar.

Namun pada saat itu untanya justru berhenti (sialnya) di dekat kami, dan kami terpaksa menyambut Haidar dengan muka merah padam. Tidak terbayangkan betapa malunya kami. Mas Handy segera mengambil kamera, memotret Haidar dan Akbar, dan inilah salah satu hasil jepretan Mas Handy:
Dan kemudian, tibalah giliran primadona kami—Simbah alias Luthfi!

Kami segera riuh, dan buru-buru memakaikan baju gamis dan kafiyeh milik Haidar ke Luthfi. Tapi Luthfi anak yang amat sangat jaim dan galak dan bawel, dan dia sudah mulai panik dan berusaha mengulur waktu.

LUTHFI : “Ini aku ganti baju sekarang apa nanti?”
SAYA : “Udah sekarang aja, cepetan to! Kasian yang udah nunggu di Taman Pintar!”
LUTHFI : (Menunjuk kafiyeh) “Ha tapi ini pake kafiyeh nya gimana?”
SAYA : “Kayak Haidar aja ya, gini aja yang simpel, gausah rewel deh, kelamaan!”
LUTHFI : (Kelabakan ngubet-ubet kafiyeh) “Lha tapi ini copot-copot e, Kib! Nah, ini malah berkibar-kibar gimana…”
SAYA : “RIBUT AMAT SIH MBAH??? Udah sana naik, entar keburu direbut orang giliranmu!”
LUTHFI : “Tapi aku entar diputer-puterin enggak? Mbok enggak usah aja ya?”
SAYA : “Haidar sama Akbar aja berani, lagian man eman, ini sekali naik sepuluh ribu masa mau diem?? Udah naik aja!”
LUTHFI : (Bolak-balik nggak jelas) “Aduh, itu dah ada yang di atas—nah, ini dateng satu lagi, terus gimana?”
SAYA : “YA ALLAH YA RABBI, MAKANYA KAMU LANGSUNG SANA NAIK UNTANYA HABIS INI!!!”

Jadi, Luthfi yang serba kikuk dan menahan malu itu pun naik tangga ke punggung unta. Tapi, kami segera panik saat Luthfi justru nyungsep di celah antara tangga dan unta, terjepit di tengah-tengahnya, tidak bisa naik ke punggung unta maupun kembali ke tangga. Kebingungan dan panik, Luthfi mondar-mandir di celah itu, kehabisan akal—hingga akhirnya pawang untanya menolong Luthfi naik unta. Pada saat itulah kafiyeh Luthfi jatuh—dan unta mulai berjalan. Kami sudah panik—pawangnya dengan terburu-buru mengembalikan kafiyeh, dan seraya menunggang unta, Luthfi membetulkan kafiyehnya.

Kami segera bersorak! Sungguh, saya tertawa-tawa melihat Luthfi di atas unta. Benar-benar persis seorang kakek 60 tahun menunggang unta, menyusuri Saudi Arabia untuk melaksanakan ibadah haji pada tahun 1800-an! Makin banyak pengunjung berkerumun untuk menyaksikan Luthfi. Beberapa di antara mereka tersenyum-senyum. Sementara Luthfi? Jangan diributkan, ia sedang menunggang unta dengan muka semerah padam udang rebus.

Tepat pada saat itu, datanglah seromobongan ibu-ibu berkerudung dengan keluarga besar mereka, tampaknya rombongan piknik ibu-ibu pengajian. Mereka menoleh ke arah Luthfi dan tertawa—dan kemudian, mendadak, serentak mereka mengeluarkan kamera digital untuk memotret Luthfi! Astaga! Luthfi dikira atraksi Orang-gila-bergamis-dan-berkafiyeh-naik-unta-purapura-jadi-Arab! Saya tidak bisa lagi menahan tawa saat orang-orang sibuk mengabadikan Luthfi dengan kamera digital dan ponsel. Sungguh, melihat Luthfi yang diam seribu satu kata, tak berkutik, pastilah sahabat saya itu malu luar biasa.

Maka, setelah Mas Handy memotret Luthfi, saat Luthfi turun dari punggung unta dan berjalan ke arah kami, kami segera bertepuk tangan riuh dan bersorak memberi selamat. Saya sungguh salut dengan Luthfi, serta Haidar dan Akbar, melihat sikap tenang mereka menghadapi para pengunjung Gembiraloka lainnya—walaupun itu 80% karena malu bagi Luthfi dan Akbar, serta 80% karena tidak tahu malu bagi Haidar. Kami membantu Luthfi melepaskan baju gamis dan kafiyehnya, dan segera memberi selamat bagi Luthfi, karena, sungguh, fotonya adalah foto terbaik hari itu menurut saya.

Kemudian, bersama-sama kami berjalan menuju lapangan parkir untuk pergi ke Taman Pintar. Sesi USA2 sudah menunggu sejak 1,5 jam yang lalu, dan saya tidak sabar ingin tahu, kejutan seperti apa yang akan kami temui selanjutnya—ataukah kemalangan yang kami temui?