Sunday, March 8, 2009

Lagi-lagi, Tidak Ada yang Romantis dari Hujan

Sebenarnya saya belum terlalu mood menulis... tapi kalau ini ditunda-tunda terus, gimana aku mau nyeritain Safari Jurnalistik? Jadi, ini poin-poin penting yang harus Anda ketahui.


***


Tanggal 2 Maret 2009.
Saya pulang dari sekolah pada pukul 15.00 WIB setelah latihan musik. Meskipun begitu, akibat kebodohan teman saya, si XXXX sialan itu, kami tidak jadi latihan di studio musik!!! Mengapa? Karena masnya penjaga sudah pulang dan teman saya tersebut lupi untuk meminta kunci studio. Padahal, dia dan kroni-kroninya itu sudah sibuk nyinyir dengan bibir mereka yang pengin saya jepit pakai jepitan jemuran: "Jangan makan dulu! Latihan musik dulu! JANGAN MAKAN!"
Dasar gila mereka itu. DILARANG MAKAN? Ingin sekali saya tampar mereka sambil berteriak, "Wooi, hari udah siang, bangun dong! Hari gini gak boleh makan? Kalian mau aku laporin ke Komnas HAM?"
Saya dan beberapa teman saya murka luar biasa atas keputusan sepihak ini. Siapa mereka, sembarangan saja melarang orang? Kalau tahu-tahu salah satu dari kita mendadak mati kelaparan, apa mereka mau nanggung. Dengan semangat '45 yang menggebu-gebu, kami melancarkan pemberontakan besar-besaran: dengan nekatnya kami makan seraya tidak memedulikan apa kata XXXX dan Kroninya itu. Sungguh mengejutkan, simpatisan pendukung revolusi ini ternyata banyak, dan akhirnya berkembang menjadi kudeta. Seluruh anggota kelompok akhirnya makan dan pemerintahan otoriter XXXX dan Kroninya pun jatuh ke dalam liang eek kucing.
Tapi ya itu tadi hasilnya... Masnya keburu pulang. Saya pun akhirnya juga pulang. Latihan musik gagal.


5 Maret 2009.
Kami akhirnya latihan musik lagi. Tidak di studio yang sudah di-booking pihak lainya (Sebel deh saya jadinya... Emosi terus!!!). Dengan meksonya kami latihan di aula. Namun justru si XXXX hilang begitupun anak-anak lainnya. Maka saya memilih mengikuti rapat OSIS dahulu... yang ternyata juga berlangsung di Aula. Bahkan meskipun saya telat sepuluh menit, para pengurus inti menobatkan saya sebagai salah satu anggota yang datang tepat waktu (nyahaha... terima kasih Dheru, Anda amat baik sekali... lebih baik dari Pak Amat, malah...) dan dipisahkan dari Kelompok Anak Terlambat. Si XXXX beserta anggota gengnya yang aneh itu ternyata termasuk terlambat, dan akhirnya mereka pun dibentak-bentak oleh Nyai Marendita.
Rapat pun berlalu... jam dua, melihat perkembangan rapat yang sudah mulai tidak produktif, saya meminta ijin untuk lain. Loading... dan dalam dua detik, access accepted. Saya pun akhirnya mulai bergabung dengan kelompok musik dan dengan suara saya yang rada gerok akibat serangan flu, mulai menjalankan tugas saya sebagai vokalis.

(Satu pertanyaan besar yang muncul adalah, mengapa semua koran tanggal 6 Maret 2009 tidak ada yang berheadline "AULA SMP N 5 YOGYAKARTA RUNTUH MENDADAK: Diduga Terkait Aktivitas Gelombang Supermegaultrasonik dari Suara Setan Seorang Murid")

Akhirnya tugas musik selesai... Saya pulang setelah jemputan saya yang berwarna kuning datang. Saya pun membayar upah Rp 1.500,00 kepada asisten supir saya, dan sementara kendaraan besar itu melaju, saya mulai merasa waswas: Akankah hari ini hujan, mengingat mega mendung mengerikan sudah berkerumun di langit sedari tadi?
Tapi saya berhasil mencapai kediaman saya sebelum hujan sempat turun. Waktu menunjukkan pukul 15.30--itu berarti, saya masih sempat mengejar waktu untuk les. Jangan lupa, hari itu hari kamis, sehingga saya harus mengikuti lembimjar Neutron.
Air hangat dengan campuran sirih dan serai sebagai obat alergi pun akhirnya siap. Saya cebar-cebur di kamar mandi, menyanyi dengan suara yang mengguncang dunia (harap dipahami secara denotatif), serta berlagak seakan saya penyanyi yang telah menaklukkan dunia (dalam pemahaman cara yang cenderung destruktif). Dan segera semuanya selesai.
Sepeda dikeluarkan, saya bersiap menggenjot...
...tapi akhirnya hujan turun.
WAAAA. TIDAAAK. Satu hal yang paling tidak saya inginkan sekarang adalah berhujan-hujanan lagi, tidak setelah kejadian dalam post Tidak Ada yang Romantis dari Hujan. Saya berniat membolos, tetapi teringat bahwa saya sudah membolos lima kali; dan itu berarti, kakak saya yang lambanluarbiasa, nyinyirtiadatara, dan sokketattanpaampun itu tidak akan memperbolehkan saya.
Benarlah, saat saya berkonsultasi, bahkan sebelum selesai ia memotong dengan suaranya yang membuat tikus merinding: "Ora entuk! Kowe wis mbolos ping lima! Nganggo mantel lak ya isa, tha?"
Kemarahan yang mengikuti tiada terkira. Sungguh, ingin sekali saya balas berseru, "Dasar tjah klemat-klemet, mbok ya kowe ki nyadar yen ora penak ngepit pas udan-udan! Wis raine teles, angine ngabul-abulake mantel, ngelek banyu udan maneh! Dasar tjah sing pikirane sempit!" dan ribuan serapah yang tidak sepantasnya ditulis disini, mengingat blog saya nanti bisa-bisa dihapus oleh pengawas pemerintah akibat memuat hal-hal tidak senonoh (kok bahasanya nggak enak sih?).
Seraya bersungut-sungut akibat marah luar biasa, saya segera menarik mantel dan mengenakannya, kemudian mulai bersepeda. Saya tidak mau mendeskripsikan kejadiannya: kurang lebih sama, bahkan dalam beberapa hal cenderung lebih mengerikan daripada deskripsi dalam post Tidak Ada yang Romantis dari Hujan mengingat saya sedang flu; kecuali bagian bahwa tas saya bodhol karena memang saya sudah ganti tas.
Saya memang tiba di Neutron dengan selamat, tapi kakak saya dengan kebodohannya telah menyebabkan celaka pada saya: sementara tubuh masih basah, AC dalam kelas masih bertiup, dan hasilnya adalah...

FLU. TOTAL. BUKAN CUMA ALERGI: FLU. TOTAL. LENGKAP DENGAN BATUK, PUSING, DEMAM, DAN TETEK BENGEK LAINNYA.

Sambil menahan segala kemurkaan dan hasrat-ingin-ngumbel saya pun mengutuk kakak saya tersebut, berharap ia mendapat balasan yang setimpal atas apa yang ia dapatkan. Sepanjang pelajaran di Neutron itu saya tidak henti-hentinya bersin, batuk, serta ragam flu lainnya, menyebabkan saya menjadi sasaran tawa dan gunjingan menghina segelintir orang, yang dimaksudkan diam-diam, namun justru jadi diketahui oleh umum (Hukumlah pula para penghina ini dengan azab-Mu, Ya Rabbi...)
Bel pulang berbunyi. Hujan sudah berhenti sepenuhnya dan saya pulang--perjalanan pulang paling tidak mengenakkan sedunia. Bayangkan, saya sudah tidak dapat konsentrasi sedikitpun dalam menyetir!!! Setidaknya tiga kali saya hampir menabrak pohon, atau orang, atau kejeglong lubang, atau keblasuk ke jalan rusak, atau jatuh kejlungup dari sepeda. Sengsaranya tiada terkira. Dalam hati, saya menduga, orang-orang yang melihat saya pasti membatin, "Ini anak naik sepeda kok sambil mabox..."
Setelah bersusah payah menyeberang jalan, saya melalui sebuah gang kecil yang membawa saya menuju jalan pintas ke belakang perumahan saya. Saya berhenti di sebuah toko untuk membeli spidol hitam. Di sini, saya mulai mendapat Sindrom Bersinus Kayaus Topanus Plus Lesus. Dengan sangat tidak konsentrasinya saya memarkir sepeda, yang langsung ambruk; kemudian mencari-cari dompet yang ternyata berada di dalam kantong. Bahkan saat memilih spidol saya masih bersin, dan dengan malu saya mendapati penjualnya menatap saya dengan iba.
Batinnya, "Aduh, ini anak kasihan sekali, udah teler sampai sekarat kok ya malah beli spidol bukannya obat, apa umbelnya sudah mempengaruhi otak..."
Dengan tidak peduli saya pun tetap membeli spidol. Kembali ke sepeda, saya segera menaikinya sebelum menyadari bahwa sepeda masih dikunci. MALU BANGET DEH, APALAGI DILIHATIN SAMA BAPAK-IBUNYA PEMILIK TOKO. Jadi saya mencari kunci, yang berada di dompet; kemudian mendapati dompet saya tidak ada di bagian dalam tas; maupun bagian depan tas; dan ternyata cuma di saku saya.
(Bapak-ibu pemilik toko: "Ya Allah, tolong berilah ketabahan kepada anak ini, serta kesembuhan baginya, supaya otaknya bisa bersih dari umbel dan ia kembali kepada konsentrasi yang lurus...")
Akhir kata, saya mengayuh sepeda untuk segera pulang. Perjalanan pulang masih sama tidak masuk akalnya dengan perjalanan sebelumnya, sama-sama keblasuk, kejeglong, kejlungup. Dan apa yang menanti di rumah?
Sekali lagi, "Pite dilebokake garasi wetan! Sepedanya dimasukkan garasi timur!"
Murka luar biasa--tapi saya tidak berani menolak karena yang bicara adalah bapak saya. Dengan mutungnya saya menaruh sepeda di garasi--tepatnya membanting sepeda di garasi--dan segera melepaskan segala mantel basah sialan dan properti kuyup lainnya. Dan saya segera naik ke kamar, membiarkan diri saya teriak-teriak murka tidak jelas.
(Ibu saya: "Ya Allah, ada apa dengan anakku? Setan apa yang menyambet dirinya? Sadarkanlah ia, Ya Rabbi!")

Apapun yang mungkin dibayangkan oleh orang-orang yang mendapati saya dalam keadaan setengah-histeris, setengah-gila, setengah-teler, dan seratus-persen-penuh-umbel-dan-flu, kakak saya telah menjatuhkan efek kebodohannya kepada saya:
FLU TOTAL
, BUKAN CUMA FLU ALERGI, LENGKAP DENGAN BATUK, PANAS, KECAPEKAN, DAN SEGALA PROPERTI FLU TOTAL LAINNYA.

Sebuah malapetaka sempurna untuk anak yang akan mengikuti Safari Jurnalistik.
Dan dalam kondisi seperti itulah, penuh ingus dan seratus persen flu, saya memulai petualangan saya di Dinas P dan P dalam sebuah Safari Jurnalistik.

Tuesday, March 3, 2009

Manisnya Balas Dendam - Seri 1

Ya. Manis sekali. Sungguh, sungguh, sangat manis.
Mengapa? Karena kita bisa menyengsarakan orang yang telah menyengsarakan kita terlebih dahulu. Sehingga orang itu sama-sama tersiksa... Kalau bisa justru lebih. HAHAHAHA (ketawa ala mak lampir).
Ini bukan cuma ungkapan klise. Saya benar-benar merasakannya. Orang itu mungkin sudah mempermalukan saya, tapi hanya pada segelintir anak... Namun, saya? Saya sudah mempermalukannya ke seisi kelas. DAN SEKARANG, ke seisi dunia.
Asal-usulnya begini. Jadi, suatu malam, saya membuka Friendster saya, langsung menuju Comments. Saat saya mengklik, mendadak muncul sebuah gambar. Gambar itu awalnya adalah foto dari HP, saat saya, pemilik ratihsanjaya.blogspot.com, serta salah seorang teman saya, sedang berdiri bertiga di depan ruang guru dengan tersenyum (biasa, Bhe Groovers itu ciri-cirinya narsis sekali). Tapi, teman saya yang namanya sungguh aneh itu (masa, Dewi Amis, coba?) telah mengedit foto tersebut.
Sebenarnya bukan mengedit--lebih tepat disebut sebagai "mencoba memakai program komputer bernama Adobe Photoshop seperti anak kecil berusia lima tahun, dengan sembarangan menebarkan efek menjijikkan ke sembarang tempat, menghasilkan sampah yang sungguh sangat norak sekali". Dan kemudian, secara sembarangan pula, dia menuliskan kalimat (tidak perlu saya jabarkan) yang intinya menyebut kami bertiga sebagai Keluarga Berencana.

WAKS.

Bukan karena hinaannya yang membuat saya syok, tapi kebodohan teman saya itu. Setahu saya, semenjak saya berusia lima tahun, program Keluarga Berencana itu menganjurkan setiap keluarga maksimal mempunyai dua anak. Di mana-mana, logonya selalu sepasang orangtua dan dua orang anak, laki-laki serta perempuan. Padahal, di sana hanya ada satu cowok, yaitu saya!
Sungguh kesalahan yang memalukan.
Tapi tentu saja saya sungguh marah pada saat itu. Betapa beraninya dia, menyebarkan sampah seperti itu ke teman-teman saya! Dia pikir, siapa dia? Tidak bisakah saya membuat dusta yang lebih mengerikan dan mematikan dari itu? Maka, saya pun sudah memasang satu tekad bulat: saya akan mempermalukan dia; dan saya pastikan, dia akan lebih sakit daripada saya.


***


Paginya, saya segera mencak-mencak dengan murkanya. Bukan cuma saya, pemilik ratihsanjaya.blogspot.com serta teman cewek saya yang satunya lagi juga. Tapi ini hanya akting--ramuan saya sedang digodhog. Bersama dengan pemilik blog tersebut, saya menyusun rencana. Dan segera saya laksanakan.
Rencananya bagaimana? Begini. Beberapa hari sebelumnya, saya, pemilik blog, dan Dewi Amis itu mengerjakan tugas PANAMA bersama-sama menggunakan flashdisk sang malaikat kaum berbau amis tersebut. Nah, tanpa sengaja kami menemukan foto-fotonya... yang sungguh-sungguh mengejutkan. Penuh skandal.
Skandal apa? Pornokah?
Bukan, tidak separah itu. Jauh lebih parah. Ada apa? Pembaca, kami mendapati bahwa teman kami tersebut telah menjadi model iklan!!! Iklan yang norak pula. Foto-fotonya saat berada di Benteng Vredeburg itu bisa dijelmakan menjadi iklan koyo sakit gigi, obat pusing kepala, lampu boros energi, dan masih banyak lagi.
Pokoknya, sebuah aset yang sangat berharga.

Jadi... rencana kami adalah mengerjadi foto itu, mewujudkannya menjadi poster iklan yang pas. Dan malamnya, saya mengerjakan calon mahakarya saya tersebut.


***


Akhirnya, selesai juga. Dan inilah hasil karya saya:


POSTER FILM "KUTUKAN DEWI LORO AMIS"


***


Segera, karya tersebut saya sebarkan di Friendster. Berhasil; sukses besar. Dewi Amis ditertawakan teman-teman saya. Di sekolah, mereka menertawainya. Saya sungguh sangat bahagia sekali!
Dan bukan hanya itu saja. Jadi, keesokan paginya, guru Matematika saya, Mr. Raphael Santi (eh, salah, ding; Raphael Santi itu nama seniman Renaissance. Kalau yang ini saRaphael Krismanto) menggunakan LCD kelas saya. Nah, sewaktu menghidupkan komputer kelas saya, apa yang menantinya?
Wajah seram Dewi Amis tersebut, nampang di wallpaper kelas.
Dan saat itu LCD menyala. Dengan segera, semua siswa di kelas saya, baik telah melihatnya di Friendster atau belum, melihat posternya. Komplit. 38 anak, semuanya menyaksikan dengan terkesima; bagaimana Dewi Amis telah menjadi model sinetron murahan di Indosiar.

Yang terjadi selanjutnya? Gampang ditebak. Seisi kelas pun tertawa.

Benar-benar terpermalukan sang malaikat ikan asin tersebut!
Saya dan pemilik ratihsanjaya.blogspot.com tidak bisa berbuat apa-apa kecuali tertawa. Tapi, kami sudah berniat, bahwa ini bukanlah satu-satunya fotonya yang akan saya pajang. Akan ada foto-fotonya yang lain, teredit dengan sempurna dalam berbagai bentuk menghinakan, terpajang baik di blog ini maupun Friendster.

Oh ya; bukan hanya ini. Akan ada lagi. Tunggulah dalam Manisnya Balas Dendam - Seri 2...

Sunday, March 1, 2009

The Curse of the Water

Air. Di mana-mana ada air. Di mana-mana, kita butuh air. Tiga hari tanpa air, kita mati. Tiga hari mandi tanpa air--yang bener aja, baunya separah apa entar. Yang penting, itulah esensinya: dalam hidup, kita tidak bisa lepas dari air.
Tapi, mengapa akhir-akhir ini saya selalu sial bila berhubungan dengan air? Mulai dari hari Kamis kemarin, saat saya diberi berkah luar biasa oleh Yang Mahakuasa, berupa hujan runtuh. Dan kemarin Sabtu... Astaga, tiga kali saya sial dengan air!
Sesungguhnya, saya tidak sepenuhnya mendapat efek negatif... Tapi tetap saja, hal-hal ini sungguh konyol, sehingga saya terpaksa mengecapnya sebagai sial. Menyebalkan sekali! Yah, lekaslah kita mulai jurnal sialan ini...

1. Di sekolah, setelah olahraga
Jadi, ceritanya begini. Saya baru saja selesai ganti baju di kamar mandi dan hendak masuk ke kelas, tempat cowok-cowok lainnya ganti baju. (Anda pasti berpikir, mengapa saya tidak bergabung. Tentunya Anda sudah tahu? Yupz, teman saya bernama XXXX itu sungguh sangat bau. Juga penuh keringat. Bayangkan, pagi-pagi waktu datang saja, masa sudah berbalut cairan buangan tubuh itu?) Setelah memasukkan baju ke dalam tas, saya mengambil air minum saya.
Di sekeliling saya, ada Abshar, Ariq, Udin, juga Akbar... dan kalau tidak salah, Simbah juga (Sejarah penamaannya panjang; akan saya ceritakan lain kali). Mereka tengah mengobrol dan bercanda seru... Tahu kan, khas komplotan A2RP. Saya berusaha tidak menghiraukan, dan meneguk air minum.
Mendadak, entah mengapa, ada sesuatu yang menyedak tenggorokan saya. Entah itu perasaan geli atau ingin terbatuk, saya tidak tahu. Yang pasti, akibatnya fatal--mendadak saja, saya menyemprotkan semua air dalam mulut saya.
Tepat ke arah Akbar.
Astaga. Saya tidak berani sama sekali menatap Akbar. Itu sungguh-sungguh suatu kecelakaan, tindakan refleks seorang manusia! Tanpa membuka mata, saya tertawa. Antara prihatin dan geli. Saya begitu tercabik dua perasaan itu. Oh, satu lagi--malu. Bagaimana tidak? Mendadak saja saya menjadi Tukang Sembur Air Minum Nomor Satu Se-Dekrizo. Pokoknya, saya tidak berani menatap Akbar, dan justru tertawa sepuasnya.
Untung sekali Akbar tidak marah (atau menahan marah, barangkali?). Tapi yang pasti, saya sungguh kehilangan muka.

2. Pulang ke rumah, sewaktu Maghrib
Setelah pulang, saya terpaksa ikut orangtua ke kantor. Walaupun saya juga mau-mau saja sih... Pulang, sudah masuk waktu Maghrib. Saya pun shalat (kilat) kemudian mengambil handuk dan baju, lekas-lekas mandi. Air hangat sudah menanti...
Pasti bingung, masa saya mandi pakai air hangat? Pembaca, jangan lupa, saya ini juga Anak Laki-laki yang Alerginya Mudah Dirangsang--tinggal mandi pakai air dingin membekukan, maka saya akan menghabiskan malam dengan hidung penuh ingus dan bersin-bersin parah.
Maka saya pun mandi... Oh, ya, hari itu adalah jadwal saya untuk keramas. Tentu saja, keramas tidak boleh pakai air hangat. Kenapa? Karena bisa menyebabkan banyaknya ketombe. Maka saya pun mengambil segayung air dingin dari bak, dan keramas.
Nah, karena lama tidak disiram air hangat, saya pun merasa sedikit kedinginan. Takut kalau kelamaan bakal pilek, maka saya ambil air di gayung di siramkan ke tubuh saya.
BYUUUUUR.
Kontan saja saya kaget. Gila apa, saya lupa bahwa di dalamnya bukan air hangat--tapi air dingin! Air yang sangat dingin sekali. Merinding sampai-sampai saya jadinya. Sambil merutuki kepikunan dan kebodohan saya, saya buru-buru membilas tubuh dengan air hangat. Kesialan kedua dalam satu hari... Beruntung sekali saya tidak pilek. Walaupun sempat kedinginan sekali sesaat.

3. Di rumah, sewaktu makan malam
Setelah mandi air hangat--plus segayung air dingin--saya pun makan malam. Menunya apa, saya sudah lupa; yang pasti mengenyangkan. Selepas makan, tentu saja saya minum. Nah, karena malas ke dispenser, saya melongok mencari gelas berisi air di meja makan. Dengan heran saya mendapati, botol air minum milik saya dan kakak saya--yang tentunya sudah habis--ada di sana dan sudah diisi lagi.
Tanpa curiga, saya menuang airnya ke dalam gelas. Sewaktu saya hendak meneguknya, saya mendapati ada kotoran kecil di sana, entah apa--tapi tidak begitu menjijikkan kok, lebih seperti remah-remah roti. KESIALANNYA BUKAN DI SINI. Tentu saja, saya tidak mau minum. Normalnya, kotorannya akan saya buang, lalu minumnya diteguk--atau bagaimanalah, saya tidak tahu.
Bodohnya, airnya saya buang semua.
Lalu saya berbalik menuju dispenser, bermaksud untuk mengambil air... dan mendapati galon air minumnya sudah hilang.
Alias airnya habis.
Saya segera mengumpat dalam hati, sekaligus ngeri. Karena itu berarti, air di botol air minum adalah air terakhir yang tersisa dari galon sebelum habis. Maksudnya untuk disimpan bila ada yang haus. Namun, sungguh bodoh, air minum dalam satu botol saya buang semua dengan percuma!
Takut dimarahi, saya segera menaruh gelas saya dan naik ke atas kamar. Daripada ketahuan membuang air dengan percuma...

Nah, itu merupakan kisah-kisah aneh saya kemarin Sabtu. Entah lucu atau tidak, saya tidak peduli. Saya hanya ingin bercerita (bohong nih; sejujurnya, curhat dan mencak-mencak) mengenai kesialan saya kemarin. Sejujurnya, mungkin lebih baik ditulis 'tadi', karena saya menulisnya hari Sabtu--namun berhubung internet saya kemarin error, maka saya terpaksa menge-postnya sekarang.
Sekian dari saya. Doakan supaya air tidak mengutuk saya lagi...