Saturday, May 29, 2010

To Love, Be Strong

Untuk Vira
dan semua yang sedang jatuh cinta, pernah jatuh cinta
sedang patah hati, pernah patah hati

Kisah saya berawal dengan sempurna, seperti kisah-kisah lainnya. Kau mengenal seseorang, di sebuah tempat, seseorang yang menyenangkan dan ramah. Kalian berkenalan dan berkontak ria--seharian penuh saling mengirimkan sms, bercanda, dan mengobrol bersama. Sekilas segalanya tampak sempurna--ia begitu memahami dirimu dan amat menyayangimu.
Untuk pertama kalinya, kau berpikir bahwa kau jatuh cinta.

Gayung bersambut—ia selalu menjawabmu dengan penuh perhatian. Menjadi tempatmu mencurahkan isi hati, mendiskusikan opini masing-masing, saling melemparkan lelucon—kadang-kadang diselingi bujuk rayu yang membuat tersipu. Ah, mabuk kepayang rasanya. Kau makin berpikir, Ia mencintaiku! Dan kau mengikatkan hatimu kepada ketidakpastian tersebut.
Kemudian, hari-hari berlalu, dan karena kesibukan, kalian jarang berhubungan. Intensitas sms kalian menurun—bila dahulu minimal 12 jam penuh kisah, kini dalam 1 jam kalian hanya mengirimkan 3 pesan. Isinya pun makin lama makin hambar. Perhatiannya berkurang. Suatu hari, kau menyadari, hatinya mendingin—dan kebenaran menampar wajahmu keras. Ia tidak pernah benar-benar memberikan hatinya kepadamu; itu semua hanya suka, bukan cinta. Hatinya tidak pernah dijangkarkan di dasar hatimu, bahkan meski dirimu melabuhkan diri di dirinya.

Pada akhirnya, kau ditinggalkan patah hati dan kesepian. Tiap pesan tidak ia jawab—atau meski dijawab, membutuhkan waktu sangat lama, dan tanpa emosi ‘spesial’ apapun. Mimpi-mimpimu kandas dan hanya sakit hati yang tertinggal. Kesedihan merundungmu begitu lama—namun, kau tahu bahwa itu semua hanya sia-sia belaka.

Karena kau tahu, kau harus mengangkat muka dari cintamu, dan melanjutkan hidup tanpa dirinya.

***

Saya menulis kisah ini bukan hanya untuk merespon note Facebook teman dekat saya, namun juga untuk memberikan semacam renungan. Mungkin agak berat, namun saya usahakan agar kadarnya cukup ringan. Sekarang, bila telah siap, mari kita bahas sebuah objek yang telah didiskusikan sepanjang riwayat kehidupan manusia—dan begitu sering di antara remaja, hingga menyerempet norak: cinta.

Teman dekat saya tersebut, Vira, menulis post yang kurang lebih seperti ini: Mengapa kita jatuh cinta kepada seseorang, meskipun kita tahu—dalam kapasitas sebagai remaja—sulit untuk mempertahankannya; dan mengapa, meskipun dari awal kita tahu bahwa akhirnya akan putus, tetap sulit untuk menerima akhirnya; dan menanyakan arti ‘cinta’ itu dan sebab ‘cinta’ menyakitkan.

Sewaktu saya membaca post tersebut, jujur, saya terdiam. Saya pernah mengalami jatuh cinta sebelumnya—selama sekian tahun menghabiskan energi saya untuk seseorang yang tidak pernah saya tahu benar-benar mencintai saya atau tidak. Kisah ini berakhir dengan patah hati. Orang yang cerdas tidak akan melakukan kesalahan yang sama dua kali. Namun, bodohnya saya, kisah tersebut berulang sekali lagi—kisah di awal tadi.

Maka, saya juga mengajukan pertanyaan yang sama: Mengapa kita, teenagers, selalu jatuh cinta—pacaran—meski selalu berakhir putus? Kalau begitu, apakah cinta itu? Perlukah disambut, karena berawal manis; atau justru digebah, karena berakhir sia-sia? Terutama, mengapa cinta menyakitkan? Berhari-hari saya lewatkan merenungkan hal tersebut, hingga hari ini saya menyadari jawabannya—karena cinta, dalam tingkatan manifestasi apapun, akan selalu menyakitkan.

Saya teringat filsuf Italia terkenal, Nicolò Machiavelli, yang menulis sebuah risalah terkenal mengenai kekuasaan, Il Principe. Risalah tersebut menuliskan cara-cara dasar menjadi penguasa absolut—panduan kepemimpinan radikal yang mengagumkan. Namun, ada sepenggal kata-kata yang begitu mengejutkan saya karena kebenaran di dalamnya. Machiavelli, saat membahas mengapa orang lebih baik ditakuti daripada dicintai, mengungkapkan hakikat mencintai yang sebenarnya: “Orang lebih berkeberatan menyerang seseorang yang membuat dirinya dicintai daripada yang membuat dirinya ditakuti. Karena cinta diikat oleh rantai kewajiban yang, akibat keegoisan manusia, patah setiap kali cinta dimanfaatkan untuk kepentingan mereka…”

Ada satu makna yang amat dalam dari kalimat terakhir tersebut: bahwa orang yang mencintai lebih mudah tersinggung. Dengan mencintai seseorang, kita mencurahkan perhatian kita; dan secara tidak langsung, mengharapkan balas budi: perhatian yang sama tercurah kepada diri kita. Apabila kita tidak (atau kurang) mendapatkan kasih sayang sesuai ekspektasi sebelumnya, dengan kata lain tidak sebanding dengan pemberian kita, akan timbul apa yang disebut sakit hati.

Ini merupakan alasan mengapa ‘cinta’ di antara remaja jarang bertahan lama: karena remaja belum sepenuhnya sanggup menoleransi kurangnya perhatian tersebut. Remaja terpaku pada anekdot, Aku memberi kamu sepundi perak, maka balaslah budiku dengan sepundi perak pula. Kurang sekoin perak saja akan menimbulkan keberatan, padahal keberatan apabila ditumpuk akan menjadi sakit hati.

Padahal, tidak sepenuhnya orang yang kita beri sepundi perak mampu membalasnya dalam jumlah yang sama. Kadang-kadang, kita hanya mampu memberi tiga perempat saja, atau justru hanya tiga keeping. Bukan hanya karena tidak mau, atau tidak mampu—namun, juga karena mereka merasa, itulah jumlah maksimal yang harus diberikan sebagai balas jasa, tidak lebih dan tidak kurang. Tidak ada pengertian yang sama di antara tiap manusia; oleh karena itu, perbedaan semacam ini seharusnya dapat ditoleransi. Namun, karena cinta ‘diikat oleh rantai kewajiban’, yang berarti ‘harus mengembalikan dengan sebanding’, ketimpangan tersebut lebih sering tidak dapat ditoleransi—meskipun seharusnya dapat. Berlanjut dari keberatan menjadi sakit hati.

Cinta itu memang menyakitkan. Dan memikul cinta itu memang sangat berat: Hal-hal yang bagi kita adalah hal biasa saat hanya sebatas teman, dapat menjadi memiliki arti yang berbeda saat jatuh cinta—sekali lagi, karena aturan ‘rantai kewajiban’ itu tadi. Kebanyakan remaja tidak menyadari ‘rantai kewajiban’ ini, maupun sikap toleransi dalam menghadapinya—yang berakhir, banyak di antara cinta-cintaan ini berujung putus.

Kini, kita tahu bahwa mencintai itu sulit, dan selalu akan ada sakit hati di dalamnya. Oleh karena itu, jika ingin sepenuhnya mencintai sesuatu, jadilah kuat. Siaplah menghadapi ketimpangan-ketimpangan tersebut; buang semua ekspektasi dan hadapilah kondisi nyatanya. Akan selalu ada masalah yang menghadang, dan tidak semua perhatian kita dibalas juga. Namun, apabila kita benar-benar ingin mencintai, kita tidak perlu menuntut balasan yang sebanding—bahkan, jika bisa, jangan bersikap pamrih sama sekali.

Maka, ini kembali kepada pertanyaan selanjutnya: hakikat cinta. Cinta yang nyata, bagi saya, adalah sikap untuk terus memberi tanpa pamrih tersebut. Justru bagi saya, apabila kita bisa tetap mencintai bahkan apabila yang dicintai sama sekali tidak membalas perhatian kita, itulah kasih sayang murni. Ini alasan mengapa saya memandang remeh semua remaja yang pacaran, dan sebagainya—mereka hanya suka, tertarik, bukan cinta; karena mereka tidak akan mempertahankan cinta mereka dengan cara menoleransi ketimpangan tersebut—dan tidak siap saat harus berakhir.

Lagipula, bila kita membuka mata, kita akan melihat bahwa cinta tidak hanya dimiliki kekasih. Cinta ada di mana-mana—di dalam persahabatan; antara orangtua dan anak-anak mereka; bahkan saat kita membantu mereka yang kurang beruntung. Selama seseorang dapat terus memberi tanpa mengharapkan balas budi, itu yang namanya cinta. Segala cinta ini dapat ditemukan di mana-mana. Oleh karena itu, kita tidak selamanya butuh pacar. Ya, kita kadang-kadang menyukai seseorang; namun, jika tidak bertahan, angkat kepalamu tinggi-tinggi dan lihat bahwa ada banyak cinta di sekelilingmu—bahkan cinta yang lebih murni.

Bagaimanapun, apabila kita ingin mengaplikasikan cinta di manapun kita berada, jadilah kuat. Kita harus mampu menghadapi semua kekurangan yang kita cintai; dan menyiapkan diri agar tetap tabah dalam menghadapi ketimpangan-ketimpangan tersebut, juga akhir pahit yang mungkin kita hadapi. Cinta selalu menyakitkan—maka, jadilah kuat dalam menghadapi sakit itu. To love, be strong. Orang yang tidak bisa kuat dalam menghadapi ketimpangan tersebut berarti tidak bisa mencintai. Itu sebabnya, benar apa kata J.K Rowling dalam Harry Potter, dikatakan oleh Albus Dumbledore—“Cinta adalah objek yang paling kuat di muka bumi ini.” Cinta bukan untuk orang lemah.

Maka, khusus bagi remaja yang ingin memiliki pacar, apabila kalian tidak siap patah hati, jangan jatuh cinta. Dan bagi mereka yang tidak mau belajar mencintai, jangan hidup—karena hidup ini penuh oleh cinta.

Solusinya, mari kita belajar mencintai—dengan cara belajar menjadi kuat.
To love, be strong. Because love’s hurts; and loving is a fight against the pains.

Saturday, May 15, 2010

Luka

Menjadi saya itu tidak menyenangkan.

Mungkin kalian bertanya, mengapa dalam kondisi tidak bahagia, saya masih tersenyum setiap hari. Well, tiap hari saya bahagia. Sungguh; saya menghargai setiap detik yang diberikan oleh Yang Maha Kuasa. Namun, saya juga menyimpan duka, luka, dan sakit hati, yang sudah saya tanggung selama bertahun-tahun.

Sungguh menyakitkan bagi saya untuk mengingat luka ini. Lebih menyakitkan lagi, luga ini tidak pernah sembuh. Tiap hari selalu tergurat lagi, dan lagi. Diguratkan oleh orang yang berbeda-beda, menghakimi saya atas kepribadian saya sendiri.

Tahukah Anda, bagaimana menyakitkan rasanya? Mendengar orang-orang menggunjingkan Anda di belakang dalam nada berbisik penuh kepalsuan; karena mereka hanya melakukannya demi formalitas, tanpa berusaha menyembunyikan kata-katanya? Karena mereka ingin saya mendengarnya?

Sungguh menyakitkan, kata-kata itu disebutkan oleh mereka yang saya kira teman. Oleh orang-orang yang sama dengan saya. Melirik sekilas, berbincang-bincang. Saya tidak menangkap kata-katanya, pada awalnya, hingga saya menangkap sebaris kalimat yang merangkum inti kata-kata mereka:

"Itu lho, kayak yang di tivi... Siapa tuh? Alter."

Sakit.

Saya sedang berjalan, hendak menuju tempat wudhlu, saat mendengarnya, dan hati saya bagai ditusuk duri beracun. Sungguh sakit rasanya, bukan hanya pedih, demi mendengarkan gunjingan itu. Saya nyaris menangis, namun saya tahankan. Seperti yang bertahun-tahun saya lalui; saya tahankan demi mendengar hinaan semacam itu, meskipun hati saya begitu pedih karenanya.

Saya selalu menyembunyikannya, seperti yang saya lalukan bertahun-tahun. Orang-orang mungkin mengira saya biasa saja mendengar hinaan-hinaan semacam itu dan umpatan-umpatan sebangsanya, karena saya tertawa saat mendengarnya -- namun sayua tidak pernah biasa. Saya selalu sakit hati tiap mendengarnya. Satu hinaan dan satu umpatan adalah satu pisau yang mengiris perasaan saya, yang lukanya tidak dapat sembuh hanya dalam tiga-empat hari. Luka itu bertahan; dan orang-orang tidak berhenti.

Perasaan saya teriris-iris luka pedih yang tidak kunjung sembuh karena selalu disakiti.

Sekali ini saya jujur. Saya tidak pernah suka ataupun biasa-biasa saja apabila kalian semua mengumpat, menggunjingkan, atau menghina saya dengan umpatan semacam 'kayak Alter' -- bahkan meskipun maksud kalian bercanda, saya selalu terluka. Mengapa? Karena saya tidak pernah merasa seperti Alter. Tidak pernah.

Jauh di dalam diri saya, saya tidak ingin berubah. Tidak pernah sedikitpun dalam pikiran saya terbersit pikiran untuk menjadi seperti Alter. Saya menyukai diri saya yang sekarang, sebagai seorang putera ciptaan Tuhan. Oleh karena itu saya terluka apabila disebut 'kayak Alter'. Saya bukan Alter, apabila benar ia tidak menerima tugasnya sebagai puteri manusia.

Saya seorang bocah laki-laki dan saya tidak pernah mengingkarinya, terlepas dengan siapa saya bergaul atau bagaimana pergaulan sosial saya. Saya akui, saya mempunyai lebih banyak teman perempuan, lebih akrab dengan mereka; namun, itu bukan berarti saya hanya ingin bergaul dengan teman perempuan. Saya mempunyai teman laki-laki, hanya kurang akrab dengan mereka, karena kontradiksi ideologi saya dan pergulatan batin mereka.

Saya tidak ingin selalu bersama cewek, namun saya akrab dengan mereka. Itu saja. Ada suatu bobot sensitivitas yang saya temukan dari mereka dan saya menyukai ini, satu hal yang tidak saya temukan dari teman laki-laki. Saya merasa nyaman berada di antara cewek, senyaman apabila bersama cowok. Saya tidak menemukan perbedaan suasana di antara kedua kubu. Saya tidak ingin mengkhianati kaum laki-laki: saya bagian dari mereka dan saya juga bangga karenanya.
Saya tidak pernah beranggapan, "Lebih asyik maen sama cewek daripada sama cowok."

Tidak pernah. Saya menganggap perempuan dan laki-laki adalah dua kaum yang saya sama-sama nyaman bergaul di dalamnya. Dan pendapat saya ini hanya didasari satu filosofi: kesetaraan gender.

Saya tidak pernah menganggap laki-laki lebih unggul dari perempuan, karena nyatanya dalam keseharian, keduanya saling menguasai dan dengan begitu, setara: budaya mengajarkan laki-laki melindungi perempuan, namun laki-laki membutuhkan perempuan dan dengan begitu memberikan porsi kekuasaan setara dengan mereka. Itu saja. Saya hanya ingin menunjukkan pada dunia bahwa tidak perlu ada dinding pembatas yang over antara laki-laki dan perempuan karena keduanya makhluk setara.

Saya terlalu naif, tentu, beranggapan orang-orang akan mengerti. Ada banyak orang yang justru salah mengira dan... Yah, mereka menyebut saya 'kayak Alter' seperti itu. Saya berusaha berlapang dada, sekarang, apabila mendengarnya. Namun, tetap saja sakit -- karena mereka yang mengatakannya adalah kaum saya sendiri.

Saya tidak ingin melakukan pembenaran atas tindakan saya, karena belum tentu dianggap benar. Saya hanya ingin orang-orang melihat dengan perspektif saya dan memahami bahwa saya juga sakit apabila disebut 'kayak Alter'. Bertahun-tahun saya tahankan dan pendam, karena orang-orang tidak pernah mengerti, dan sayalah yang harus bersabar.

Sakit, Pembaca. Sakit sekali mendengar Anda dipanggil seperti itu. Bahkan meskipun saya berusaha tidak peduli. Sungguh pedih, mendengar Anda digunjingkan ataupun disebut seperti itu; terutama, lebih karena Anda bukan seperti itu dan tidak mau menjadi seperti itu. Tetapi, orang-orang tidak pernah berhenti.

Saya tidak tahu, harus saya sebut apakah post ini. Apakah ratapan? Keluhan? Pengharapan? Permohonan? Saya tidak tahu. Karena apabila saya mengeluh, tidak ada gunanya. Bahkan teman-teman saya menggunakan sebutan itu untuk candaan! Bahkan, meskipun diam-diam, saya terluka dalam karena candaan itu.

Yang saya tahu, ini hanyalah sebuah ekspresi kesedihan saya. Hati saya luka. Dan mungkin akan terus terluka.

Dan, jujur: saya ingin Anda tahu bahwa saya terluka. Maka pahamilah luka saya.

Monday, May 10, 2010

Travelling the World: Egypt Session, Gembiraloka

-->
PRE-CAUTION
Penyebutan nama tempat, resto, organisasi, perusahaan, dsb. di sini didasarkan pada alasan kebutuhan akan fakta saja; semua opini dan komentar yang ada di post ini semata-mata ditulis berdasarkan pengamatan kami sendiri, tanpa ada pengaruh dari pihak ketiga; tanpa adanya sponsorship dari nama-nama yang disebut; tanpa tujuan komersial dan persaingan pasar apapun seperti promosi maupun bad-imaging.

Sebelumnya, maafkan saya karena saya terpaksa memotong kisah perjalanan saya dengan Merlynda Ayu Rara Dini dan Ratih Sanjaya Wahyuningrum. Namun, saya sudah melakukan sebuah perjalanan lagi, dan ada banyak hal di sana yang harus saya ceritakan.

Jadi…

Pada tanggal 25 April 2010 kemarin, saya dan teman-teman dari kelas IX B SMP Negeri 5 Yogyakarta mengadakan sesi pemotretan outdoor untuk yearbook kelas kami. Tema yang diambil adalah Travelling; intinya kami berjalan-jalan keliling dunia: ke Jepang, Mesir, Prancis, dan Amerika Serikat. Dua hari sebelumnya kami telah mengambil gambar sesi indoor; hari itu, saatnya kami berkeliling Jogja!

Kami pergi ke lima spot: Kebun Binatang Gembiraloka, Taman Pintar, Dapur Cokelat, Japan College, dan terakhir Mi Ramen Jakal. Untuk sesi Mi Ramen Jakal, mengingat jauhnya lokasi dan keterbatasan transpor serta waktu, akhirnya diganti di Nikkou Ramen di Jalan AM Sangaji. Perjanjian dengan fotografer kami, Mas Handy dan Mas Bayu, sudah dibuat; honor sudah disiapkan (hahaha); jadwal sudah disusun dengan saksama; dan SMS maupun pengumuman sudah disebarkan.

Semua panitia rencananya akan ikut. Panitia yang ikut full seluruh sesi pemotretan hingga sore antara lain saya (karena saya ketiban ubi runtuh menjadi ketua panitia buku tahunan kelas), Ratih, Dhela alias Dhela Saputri, Icha, Inggit, Luky, Okka. Rencananya, pagi itu saya akan dijemput oleh Luky lalu langsung mbablas ke Gembiraloka, dan selama perjalanan itu Luky juga yang memboncengkan saya (karena saya belum memiliki vespa warna putih, dengan bendera Union Jack di bagian belakangnya, dan helm retro warna putih pula).

Tetapi, seharusnya, pagi itu saya sudah mendapatkan pertanda bahwa perjalanan ini akan menjadi perjalanan yang konyol dan amat sangat menyedihkan. Apa pertandanya? Satu hal yang sudah ditulis berkali-kali menjadi sumber malapetaka—setidaknya di blog GudangSaya ini: hujan.

Ya, hujan. Sejak malam Minggu hingga Minggu paginya, hujan turun dalam intensitas yang membuat jantung setiap orang yang pemotretan outdoor jedag-jedug—deras luar biasa, mereda sedikit, turun lagi agak banyak, lalu deras, lalu gerimis, lalu reda, lalu hujan lagi… dan begitu seterusnya, tanpa ada kepastian akan reda. Begitu tidak pastinya hingga akhirnya datanglah sms bertubi-tubi dari panitia pemotretan, dan teman-teman model pemotretan, yang bertanya: “Jadi ga nanti? Hujan nih” “Akib, di rumahku hujan, gimana nanti jadi ga? Masa pemotretan hujan-hujan” “Diundur waktunya piye? Ujan deres di rumahku

Akhirnya, saya—setelah berembug dengan pihak-pihak terakhit—memutuskan untuk membatalkan sesi outdoor di Gembiraloka mengingat sesi itu yang nantinya benar-benar ada di luar ruangan, dan kemungkinan terpapar hujannya besar. Akhirnya, saya menelepon teman saya, Satrio (karena Mas Handy, fotografer sesi itu, adalah kakak kandung Satrio), untuk mengundur sesi Gembiraloka ke hari Senin, dan mengirim SMS ke panitia yang lain—dan lima menit kemudian Inggit membalasnya:

INGGIT:
Akib !
Kenapa di Gembiraloka nya dibatalin ? Rumahku kan deket Gembiraloka , jadi aku tau cuacanya . Di sini tuh gak hujan . Jadwalnya kan udah dibuat , ngapain dibatalin ?

AKIB:
Lha tapi aku dah bilang sama mas nya Satrio kalau dibatalin e, lagian mas nya Satrio sendiri yang ngusulin diundur aja kalo hujan.

INGGIT:
Udah , ya bilang aja sama mas nya satrio “Mas,tapi kita kan harus ngikutin jadwal” apa gimana lah. Pokoknya hari ini harus jadi!

Maka, setelah Inggit menginformasikan bahwa di kediamannya tidak hujan—dan itu berarti, menurut Inggit, Gembiraloka tidak hujan (dan membuat saya bertanya-tanya, apakah kediaman Inggit dan Gembiraloka adalah sama); dan setelah berkonsultasi dengan teman-teman panitia yearbook; dan setelah menelepon Satrio; akhirnya sesi Gembiraloka diadakan hari Minggu itu juga, hanya diundur ke jam 08.30 pagi.

Saya dijemput Luky dengan segera dengan motor Tiger (iya bukan sih? Saya bukan penggila otomotif) abu-abu miliknya, dan kami segera berangkat ke Gembiraloka. Kami tiba di Gembiraloka kira-kira jam 8.40. Inggit serta Ratih sudah tiba sebelumnya, dan tentu saja Satrio serta Mas Handy. Lalu, salah satu model hari itu, sahabat saya, Luthfi Ghivari alias Simbah, Akhirnya, kami memutuskan bahwa kami tidak perlu menunggu panitia yang lain (dengan kata lain Dhela, Icha, serta Okka, karena menurut teman-teman yang lain mereka toh akhirnya juga datang telat), kami masuk dan menemui model pemotretan yang sudah menunggu di dalam.

Model sesi pemotretan berkode MESIR3 itu adalah Luthfi alias Simbah, Haidar alias Prenges, dan Akbar alias Sayatidaktegamengatakannya (mengenai pemberian alter ego tersebut, maafkan saya teman-teman). Pura-puranya, ketiga teman saya tersebut akan memerankan kafilah suku pribumi Sinai, yang sedang mengadakan perjalanan dengan Unta. Oleh karena itu, nanti mereka akan naik unta Gembiraloka dengan gamis dan kafiyeh.

Saya sudah, katakanlah, kurang lebih 6 tahun tidak ke Gembiraloka, dan keadaannya sungguh lebih memprihatinkan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kami kira, dengan harga tiket yang berubah menjadi Rp 12.000,00 (sehingga saya dan teman-teman ribut sebentar sebelum masuk), akan ada perubahan mendasar dari kebun binatang tersebut; namun, tentu saja itu opini yang amat naïf. Pemandangan yang pertama menyambut saya adalah bangunan Rumah Kapal yang remuk redam akibat gempa dan belum diperbaiki; selanjutnya, kandang-kandang hewan yang begitu mengenaskan. Bau kotoran binatang sesekali mengudara cukup lama, air di kolamnya sekeruh kali di kala kemarau, dan kandangnya tampak kotor.

Hewan-hewannya pun tampak merana—dan untuk pertama kalinya, saya menyadari sepenuhnya apa yang dimaksud C.S. Lewis sebagai ‘binatang bodoh’ dalam serial novel Chronicles of Narnia. Sayang sekali, C.S. Lewis tidak menambahkan frasa ‘manusia bodoh’, yaitu manusia-manusia yang begitu bodohnya hingga melempari hewan-hewan (bahkan harimau) dengan kacang, merusak sangkar kakatua jambul kuning, dan mengetuk-etuk kandang iguana. Memang menyakitkannya melihat hewan-hewan tersebut dipenjara dalam kebun binatang yang tampak kumuh tersebut, tetapi lebih menyakitkan lagi melihat manusia—yang secara intelektual lebih cerdas dari mereka yang ada di kandang—melakukan tindakan-tindakan brutal tanpa moral tersebut. Oleh karena itu, saya berpesan kepada pembaca, jika Anda tidak tahu bagaimana memperlakukan binatang dengan baik, jangan pernah pergi ke kebun binatang.

Tetapi, singkat cerita, akhirnya kami tiba di lapngan tempat unta-unta tunggangan berada. Namun, sekali lagi, satu pertanda buruk—loketnya tutup. Tutup. TUTUP. Was was, saya bertanya dengan bapak-bapak pemberi makan unta, kapankah loketnya buka? Bapak itu menjawab dengan begitu acuh, hingga saya curiga Betty si Orangutan mampu mengekspresikannya dengan lebih impresif: “Jam sepuluhan mungkin bukanya.”

Ya Allah ya Rabbi. JAM SEPULUH??? Padahal waktu itu sudah menunjukkan pukul 09.38, mundur satu jam dari waktu seharusnya. Padahal kami ada jadwal pemotretan di Taman Pintar pukul 10.00! Padahal, sahabat saya satu lagi, Bari’ alias Muhammad Farras Bari’zain, sudah menelepon saya bahwa dia sudah berada di Taman Pintar! Dan kami harus menunggu 22 menit lagi? Oh, Gembiraloka, you must be joking. Tetapi, didukung oleh teman-teman saya, dan Dhela, Icha, Okka, serta kemara SLR milik Dhela sebagai mahapenyelamat, saya memutuskan untuk menunggu. Dan menunggu. Hingga jam saya menunjukkan pukul 10.06. Padahal tidak ada tanda-tanda loket akan dibuka.

Maka saya berjalan, bersama Ratih, ke loket suvenir atraksi Menunggang Unta, untuk menanyakan tepatnya waktu pembukaan atraksi. Kami disambut oleh bapak-bapak yang, untungnya, ramah, namun jawaban mereka sungguh menusuk hati kami: “Loketnya buka jam setengah sebelas, dek.”
SETENGAH SEBELAS. THAT’S A PERFECT FORMULA TO RUIN MY WHOLE-DAY SCHEDULE.
Maka kami menanti, dengan teman-teman saya (dengan seenak udel perut mereka) justru foto-foto dengan gembira, sementara saya foto-foto dengan kupu-kupu di dalam perut saya, dan sebelah tangan berusaha menenangkan Nahal serta Bari’ yang sudah menanti di Taman Pintar. Akhirnya, tibalah jam 10.20. Setelah ribut mengenai biaya (karena kami belum mendapat komisi dari kas kelas yang akan dibagikan, dan tidak semua anak membawa uang, kurang ajarnya), dan ribut mengenai pembagian foto (karena Haidar hanya membawa dua gamis untuk tiga anak), maka kami mendandani Haidar dan Akbar duluan di depan lapangan unta. Bukan di kamar mandi; tetapi di depan lapangan unta, dengan semua mata tertuju pada mereka.

Lalu, tibalah saatnya: loket dibuka. It’s showtime!

Dengan tepuk tangan riuh dari panitia, Haidar dan Akbar pun meniti tangga menuju punggung unta. Haidar sempat susah payah naik ke punggung unta—tetapi akhirnya mereka pun naik ke punggung unta. Mas Handy masuk ke dalam arena lapangan unta untuk memotret mereka—tapi, si pawang unta, tidak mendengarkan teriakan mencegah dari kami panitia, justru mengarak Haidar dan Akbar dengan unta berkeliling lapangan.

Kontan kami tertawa terbahak-bahak, terpingkal-pingkal luar biasa—saya sampai keluar airmatanya! Bagaimana tidak? Orang-orang yang lewat segera menoleh ke lapangan unta saat melihat dua remaja berumur lima belas tahun menunggang unta di tengah Kebun Binatang Gembiraloka seperti anak-anak, diarak mengelilingi lapangan unta. Mereka yang semula sudah menyilangkan jari di kepala saat melihat Haidar dan Akbar memakai kafiyeh, segera berhenti dan berjajar di depan lapangan unta demi melihat keduanya beratraksi menjadi Bedouin-wannabe. Sungguh, saya benar-benar tidak dapat membayangkan malunya kedua anak itu, saat mereka menjadi badut mendadak.

Kami tertawa dan menyoraki keduanya dengan “Allahu Akbar!” “Labaikallahumma labaik!” seakan-akan keduanya adalah peserta haji abad ke-XIX—tepat ketika saya menoleh ke kanan dan menelan ludah. Di seberang lapangan unta, menatap Haidar dan Akbar dengan tertegun, adalah pasangan suami-istri Islam syi’ah—si suami memakai baju gamis dan si istri mengenakan baju bercadarnya. Oh God. Salah seorang dari kami melihat keduanya, berbisik, “Eh, yang asli datang!” dan seketika semua panitia menoleh.

Ya ampun, betapa malunya kami! Saya membayangkan pasutri dan putera mereka tersebut pasti luar biasa takjub melihat Haidar dan Akbar, seakan-akan penampilan mereka sedang diolok-olok di tengah Gembiraloka; dan betapa mereka amat murka. Salah seorang dari panitia justru nyeletuk, “Waduh! Kalo mereka marah terus ngebom Gembiraloka piye coba?” Kami buru-buru gaduh, menutup muka dan menyembunyikan diri dari pandangan, menyingkir dari lapangan unta, berpura-pura tidak kenal Haidar.

Namun pada saat itu untanya justru berhenti (sialnya) di dekat kami, dan kami terpaksa menyambut Haidar dengan muka merah padam. Tidak terbayangkan betapa malunya kami. Mas Handy segera mengambil kamera, memotret Haidar dan Akbar, dan inilah salah satu hasil jepretan Mas Handy:
Dan kemudian, tibalah giliran primadona kami—Simbah alias Luthfi!

Kami segera riuh, dan buru-buru memakaikan baju gamis dan kafiyeh milik Haidar ke Luthfi. Tapi Luthfi anak yang amat sangat jaim dan galak dan bawel, dan dia sudah mulai panik dan berusaha mengulur waktu.

LUTHFI : “Ini aku ganti baju sekarang apa nanti?”
SAYA : “Udah sekarang aja, cepetan to! Kasian yang udah nunggu di Taman Pintar!”
LUTHFI : (Menunjuk kafiyeh) “Ha tapi ini pake kafiyeh nya gimana?”
SAYA : “Kayak Haidar aja ya, gini aja yang simpel, gausah rewel deh, kelamaan!”
LUTHFI : (Kelabakan ngubet-ubet kafiyeh) “Lha tapi ini copot-copot e, Kib! Nah, ini malah berkibar-kibar gimana…”
SAYA : “RIBUT AMAT SIH MBAH??? Udah sana naik, entar keburu direbut orang giliranmu!”
LUTHFI : “Tapi aku entar diputer-puterin enggak? Mbok enggak usah aja ya?”
SAYA : “Haidar sama Akbar aja berani, lagian man eman, ini sekali naik sepuluh ribu masa mau diem?? Udah naik aja!”
LUTHFI : (Bolak-balik nggak jelas) “Aduh, itu dah ada yang di atas—nah, ini dateng satu lagi, terus gimana?”
SAYA : “YA ALLAH YA RABBI, MAKANYA KAMU LANGSUNG SANA NAIK UNTANYA HABIS INI!!!”

Jadi, Luthfi yang serba kikuk dan menahan malu itu pun naik tangga ke punggung unta. Tapi, kami segera panik saat Luthfi justru nyungsep di celah antara tangga dan unta, terjepit di tengah-tengahnya, tidak bisa naik ke punggung unta maupun kembali ke tangga. Kebingungan dan panik, Luthfi mondar-mandir di celah itu, kehabisan akal—hingga akhirnya pawang untanya menolong Luthfi naik unta. Pada saat itulah kafiyeh Luthfi jatuh—dan unta mulai berjalan. Kami sudah panik—pawangnya dengan terburu-buru mengembalikan kafiyeh, dan seraya menunggang unta, Luthfi membetulkan kafiyehnya.

Kami segera bersorak! Sungguh, saya tertawa-tawa melihat Luthfi di atas unta. Benar-benar persis seorang kakek 60 tahun menunggang unta, menyusuri Saudi Arabia untuk melaksanakan ibadah haji pada tahun 1800-an! Makin banyak pengunjung berkerumun untuk menyaksikan Luthfi. Beberapa di antara mereka tersenyum-senyum. Sementara Luthfi? Jangan diributkan, ia sedang menunggang unta dengan muka semerah padam udang rebus.

Tepat pada saat itu, datanglah seromobongan ibu-ibu berkerudung dengan keluarga besar mereka, tampaknya rombongan piknik ibu-ibu pengajian. Mereka menoleh ke arah Luthfi dan tertawa—dan kemudian, mendadak, serentak mereka mengeluarkan kamera digital untuk memotret Luthfi! Astaga! Luthfi dikira atraksi Orang-gila-bergamis-dan-berkafiyeh-naik-unta-purapura-jadi-Arab! Saya tidak bisa lagi menahan tawa saat orang-orang sibuk mengabadikan Luthfi dengan kamera digital dan ponsel. Sungguh, melihat Luthfi yang diam seribu satu kata, tak berkutik, pastilah sahabat saya itu malu luar biasa.

Maka, setelah Mas Handy memotret Luthfi, saat Luthfi turun dari punggung unta dan berjalan ke arah kami, kami segera bertepuk tangan riuh dan bersorak memberi selamat. Saya sungguh salut dengan Luthfi, serta Haidar dan Akbar, melihat sikap tenang mereka menghadapi para pengunjung Gembiraloka lainnya—walaupun itu 80% karena malu bagi Luthfi dan Akbar, serta 80% karena tidak tahu malu bagi Haidar. Kami membantu Luthfi melepaskan baju gamis dan kafiyehnya, dan segera memberi selamat bagi Luthfi, karena, sungguh, fotonya adalah foto terbaik hari itu menurut saya.

Kemudian, bersama-sama kami berjalan menuju lapangan parkir untuk pergi ke Taman Pintar. Sesi USA2 sudah menunggu sejak 1,5 jam yang lalu, dan saya tidak sabar ingin tahu, kejutan seperti apa yang akan kami temui selanjutnya—ataukah kemalangan yang kami temui?