Wednesday, April 22, 2009

What You've Done for the Earth?

Setiap Hari Ibu kita memberi kado pada mereka yang kita sebut ibu

Setiap Hari Peringatan Kemerdekaan kita memperingatinya semeriah mungkin, dengan berbagai lomba dan perayaan

Setiap Hari Kartini kita berdandan seindah mungkin, mengingat perjuangannya memerdekakan wanita

Tetapi mengapa Hari Bumi terlupakan?

Bukankah Bumi yang memberi kita kehidupan?
Di manakah kita akan hidup setelah Adam dan Hawa diusir dari Firdaus, bila bukan di Bumi?
Bagaimana mungkin semua ibu lahir dan hidup, bila Bumi tiada?
Bagaimana mungkin Kartini muncul, memperjuangkan ideologinya dan membangkitkan wanitanya yang lain, bila Bumi mati?
Bagaimana mungkin Indonesia merdeka, bila tanah Nusantara ini mati seperti juga buminya?

Ayolah.
Kita selalu memperingati berbagai perayaan dengan meriah
Mengapa kita tidak memperingati Hari Bumi?
Berbuatlah satu hal saja yang berguna bagi bumi
Tunjukkan bahwa kalian menyayangi Bumi ini,
yang telah menghidupi ibu kalian
yang telah menghidupi para Kartini
yang telah menjadi tulang punggung Nusantara
yang telah menghidupi para pejuang kemerdekaan
yang telah menghidupi semua makhluk hidup
yang telah menghidupi manusia
yang telah menghidupi KALIAN



Jadi apa yang telah kalian lakukan bagi bumi?



Coretan yang tidak bermutu ini dipersembahkan oleh M. Akib

Saturday, April 18, 2009

Racau dan Rajuk

Di manakah kutemukan cahaya?

Apa yang kulihat hanya kegelapan sepekat tinta
yang bahkan menelan malam dalam tegukan
mematikan
Apa yang kulihat kemunafikan mengerikan,
racun dari semua racun dan cadar semua cadar,
penyembunyi inti dunia yang mulai pudar
dan tenggelam
Semuanya kesedihan dan kepedihan
Kekosongan, kehampaan
Tidak lebih dan tidak kurang

Aku tahu aku menjijikkan
dengan segala keluh kesah ini
membuatku menjadi seorang
perajuk, tanpa rasa terima kasih sedikitpun
Selalu melihat yang gagal dan mengingatnya
tapi buta dan terbiasa melupakan yang indah

Yang menguatkan
Yang membuat hidup
Yang membuat abadi

Aku marah pada diriku dengan segala
kemurkaan yang mungkin ditanggung
Aku marah pada dunia dan semua orang
yang bisa aku sembur dengan api berbisa,
bahkan sekalipun ia sama tidak ternodanya
dengan dandelion di minggu pertama musim semi

Mengapa aku menjadi seperti ini?
Menjadi seorang peracau hina dina,
membicarakan hal-hal yang nista dan tidak berguna,
tidak bermanfaat dan remeh,
sampah-sampah paling tidak penting di dunia

Kosong. Selalu kosong. Itu saja yang kubicarakan.
Apakah aku memang suatu kekosongan, bualan kentut terbesar di dunia?
Apakah seluruh dunia juga bualan kentut?
Apakah aku memang tidak bisa menemukan suatu emosipun, motivasi pembangkit jiwa?
Terdengar bijak, tapi jangan dengarkan ular; mereka menipu Adam-Hawa
Dan meski terdengar kuat, sesungguhnya serapuh ranting-ranting musim gugur

Aku tidak butuh kata-kata menggurui, seakan-akan yang bicara
adalah figur paling hebat, yang mendikte perintah pada dunia
seakan-akan ia adalah Buddha
seakan-akan ia adalah Muhammad
seakan-akan ia adalah Almasih
seakan-akan ia adalah para pemilik pengetahuan besar dengan ideologi brilian
Aku sudah mempunyai kakak yang selalu menyedakku dengan bualan "bijak"nya
Aku tidak butuh figur kakak seperti itu lagi

Aku tidak butuh figur guru
Terlalu banyak guru yang mencekokiku dengan
saran-saran dan beragam ideologi
namun tiada satu pun yang bisa menolong



Puisiku ini memang kosong, tidak bermakna
hanya berisi kemarahan, kehinaan, dan kekacauan
yang meletup-letup seperti sup kodok dalam kuali
Sekali lagi, sampah, dimuntahkan dari mulut dengan begitu menjijikkan
Kumpulan kata-kata hina, bait-bait kotor, kalimat nista

Semuanya hanya luapan bodoh tanpa estetika

Jadi pergi sajalah jika kau mau mengkritik, daripada kau dianggap bodoh
Karena mau membaca racauan si gelandangan malam

Saat Esensi Kemanusiaan Hilang

Benarkah manusia itu binatang?

Secara biologis dan fisik, ya. Manusia dikategorikan sebagai mamalia, binatang menyusui dan melahirkan, karena memang itulah yang kita lakukan. Kita mempunyai berbagai bagian tubuh yang mirip dengan beberapa hewan--atau justru mereka yang meniru, entahlah. Kita makan sumber makanan yang juga lazim dikonsumsi mamalia lainnya. Dan, ya, kita berkembang-biak kurang lebih dengan metode yang sama dengan mamalia lainnya; itu adalah salah satu titik paling dekat dengan kebinatangan seorang manusia, selain naluri-naluri hewani lainnya.
Mungkin ada beberapa orang yang membaca bagian terakhir tadi, dan terasa janggal membacanya. Tapi apapun Anda--seorang ateis, seorang pemikir logis, konservatif agama, hippie--tolong camkan: saya bukan seorang pendeta Katolik Roma pada Abad Pertengahan, pada masa sekitar Perang Salib, yang memandang seks sebagai sebuah kebiadaban binatang yang nista. Dan saya juga bukan seorang hedonis pula, yang memandang seks sebagai klimaks tertinggi sebuah hubungan intim antara dua atau kadang lebih manusia, yang juga berarti merupakan pencapaian terbesar dalam sebuah kebahagiaan hubungan.
Saya menganggap seks biasa-biasa saja, tapi memang tidak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut merupakan salah satu dari hal-hal yang sangat kebinatangan dari manusia; semua makhluk hidup melakukannya, dan itulah hal yang paling menyamakan kita dengan serigala, ular, maupun kera.
Tapi kita sudah melantur terlalu jauh. Mari kembali ke topik semula.
Jadi... benarkah manusia itu binatang secara psikis? Satu jawaban pasti, tidak. Karena manusia tidak bisa disebut binatang justru karena memiliki apa yang disebut jiwa. Banyak cara untuk menyebut jiwa karena bagi setiap orang, jiwa itu berbeda. Seorang filsuf akan menyebut jiwa sebagai kesadaran, suatu materi abstraktif yang menjadi sebab manusia bisa berpikir; seorang religius akan berkata jiwa adalah salah satu dari tiga dasar fundamental manusia, yang menjadi titik sentral dirinya, di mana lewat jiwalah manusia berkomunikasi dengan Tuhan; dan seseorang yang sederhana namun bijak akan berkata bahwa jiwa itu hati.

Jiwa itu cinta.
Jiwa itu emosi.


Dan dengan begitu, seperti yang pernah diungkapkan oleh St. Augustine, hal ini mengungkapkan satu hal: emosi adalah esensi dasar kemanusiaan. Kita bukan binatang karena kita bisa memiliki emosi. Tapi emosi yang murni, emosi yang didasarkan oleh hati, jiwa, cinta, dan setitik kesadaran kita. Emosi yang bukan karena hormon, di mana hanya gara-gara sebuah reaksi masa bodoh maka ketakutan akan muncul, nafsu akan muncul, kebahagiaan akan muncul...
Bukan. Kita mendapat emosi dari dorongan-dorongan yang jauh lebih suci. Jika dipikir secara logis, kita mendapatkan emosi karena kita belajar untuk memahaminya. Dari kecil otak kita menangkap dan mempelajari pengalaman masa lalu, lalu meramunya sehingga kita mendapatkan emosi. Itu bila secara logis. Namun emosi jauh lebih kompleks dari itu semua. Kita mempunyai emosi... karena dari kecil kita memilikinya. Bukan karena belajar.
Bila karena belajar, seharusnya robot dan setiap benda dengan kecerdasan artifisial (atau artificial intelligence, maksudnya) akan dapat mempunyai emosi pula. Tapi ada sesuatu yang sangat kuat, kekuatan psikis yang maha, rasa kemanusiaan yang begitu besar dan indah yang mendorong kita marah, sedih, atau bahagia. Beberapa menyebutnya cinta; tapi saya percaya ini lebih besar dari itu.
Kekuatan ini adalah kekuatan rohaniah yang begitu besar dan tidak dapat dijelaskan secara logis. Oleh karena itu, mungkin ada benarnya juga ungkapan, "Tuhan ada di mana-mana; bahkan di dalam jiwa."

***

Tapi bila kita kehilangan esensinya... apakah kita akan berubah menjadi bukan manusia lagi?

Pembaca mungkin pernah mendapati saya menulis suatu puisi di blog ini, yang isinya merupakan suatu kekosongan emosi. Jujur, saat menulis puisi itu, saya benar-benar galau, sedih, frustrasi. Kenapa? Alasannya justru kebalikannya: karena saya sedang kosong.

Saya tidak merasakan apapun.
Saya tidak bahagia, tidak sedih, tidak marah, tidak takut, tidak rindu.
Saya tidak mendapati suatu emosipun.
Saya kehilangan esensi fundamental saya.

Saya hanya merasa muak dengan diri saya sendiri dan dunia. Saya merasa segalanya hanya dusta, kemunafikan. Tidak ada yang tulus dalam kehidupan ini, dalam dunia orang dewasa. Setiap orang tidak berani bicara apa yang benar-benar ada dalam perasaannya. Kebebasan hati untuk bicara, bukan hanya kebebasan bicara, tidak diakui; justru diikat oleh nilai-nilai formalitas. Hubungan menjadi kaku, tidak ada yang benar-benar intim.
Racun yang sungguh menyesakkan jiwa dan meracuni setiap manusia. Bahkan kanak-kanak pun dipaksa tunduk.
Jadi, pertanyaannya, apakah ini berarti saya kehilangan esensi saya sebagai manusia?


*to be updated later ; 180409*

Tuesday, April 14, 2009

Curhatdanapologi

Jadi, pembaca, begini ceritanya.

Saya sejujurnya ingin mengirimkan sebuah post yang sudah matang, tapi, sial. Ada error HTML entah apa di dalamnya, dan saya tidak bisa mengetahui errornya apa, tapi dasar internet dan program di dalamnya terlalu cerdas sehingga mengetahuinya, jadinya justru saya tidak bisa mengepost draf matang tersebut.

(AAAAARGH!!! MENYEBALKAN!!!)

Jadi intinya saya sedang mutung. Benar-benar mutung!!! Tahu tidak pembaca, komputer saya rusak!!! (Nah, mungkin pembaca bertanya, jadi kenapa saya bisa mengirim apologi ini? Jawabannya, karena kompii saya ada dua. Yang satu, kepunyaan saya dan mbak saya yang lehong itu, sudah diinstall berbagai fitur penunjang internet yang menarik. Namun, sayangnya, internet saya justru mau konek di tempat bapak saya ini. Jadinya kalau ngenet harus di tempat bapak; dan kalau nge-game di kompii saya sendiri.)

Nah, si kompii game itu rusak!!! Windows-nya pula. Jadi satu-satunya jalan untuk menyelamatkan nyawanya adalah dengan di-format ulang!!! Saya tidak takut file-file saya hilang, karena semuanya sudah terselamatkan di bagian D, bukan di C. Jadinya kalau diformat tidak hilang. Masalahnya, itu berarti The Sims 2 saya hilang beserta setiap anak-anak virtual saya tercinta, begitu pula Age of Empires III saya; padahal Perancis saya baru sampai level 30, itupun dengan mengorbankan darah dan curahan air mata!!!!

(Aduh lebay. Tapi saya mendukung, karena memang kompii sialan itu rusak pada saat yang tidak tepat.)

Mutung, mutung, mutung.

Satu lagi deh. Labelnya aja curhat. Jadi, kemarin Sabtu waktu menunggu dijemput orangtua, saya menanti di sebuah kursi di depan pos satpam. Mendadak, datanglah sosok mengerikan di atas motor gedhenya!!! Seorang bapak-bapak, tinggi dan kekar, kulitnya coklat terbakar matahari. Rambutnya setengkuk panjangnya dan ada cambang-cambang halus di wajahnya. Waduh, persis banget preman deh! Ngerinya tak terkira. Belum lagi rahangnya keras.

Sempat terpikir, jangan-jangan ini memang preman kampung nyasar ke SMP N 5.

Bapak itu duduk di sebelah saya, dan saya pun gemetar ketakutan. Dia mengeluarkan HPnya yang entah merk apa, dan mulai menyetel lagu...

...dangdut.

Seandainya saja saya tidak ngeri dengan penampilan bapaknya, jelas sekali saya tertawa ngakak. NGAKAK. Terpingkal-pingkal. Guling-guling kaya landak sampai diklakson mobil yang mau nabrak. Tapi saya hanya diam seperti patung, takut kalau tahu-tahu bapaknya itu--yang asyik menikmati dangdut kesayangannya dengan penuh penghayatan--mengeluarkan jurus premannya dan menghajar saya.




Yah, sekiranya hanya begitu saja dulu. Pokoknya, maaf banget, saya malah mengepost draf gejebo seperti ini. C U.


-akib-