Wednesday, February 29, 2012

La Dolce Far Niente


Saya ingin berbagi cerita.

Everybody knows how I love cafes so damn much. Entah mengapa, saya jauh lebih menyukai nongkrong di cafe ketimbang hangout di mall. Hiruk-pikuk pusat perbelanjaan, dengan etalase yang memicu konsumerisme, entah mengapa membuat saya agak segan, rikuh. Untuk berbelanja, saya selalu lebih menyukai tempat yang lebih kecil, lebih privat dan intim: butik, factory outlet, atau distro, di mana say
a selalu merasa lebih nyaman, homey.

Mungkin, karena itu pula, saya menjadi penggila cafe. Kegemaran ini terutama ditularkan kakak saya, yang kini di bangku kuliah amat sering nongkrong bersama teman-temannya. Saya, tidak lepas, terciprat kegemaran ini, sering diajak ikut bergabung mencoba cafe baru, mencicipi menu anyar.

Bukan hanya masalah rasa. Memang, saya tipe orang yang lebih senang memanjakan lidah ketimbang perut; mencari yang lezat, bukan yang kenyang. Namun, terutama suasananya. Ada aura kenyamanan, ketenangan, yang selalu saya idamkan di cafe. Hal tersebut memang merupakan komoditas mereka dan saya akui, saya konsumtif terhadap produk mereka tersebut.

Ambience, feeling. Rasanya, saya bisa menghabiskan berjam-jam kehidupan saya di cafe. Berikan saya laptop, sambungan internet, dan meskipun hanya ditemani secangkir kopi serta sepiring snack ringan, akan saya lahap bermenit-menit waktu tanpa batas. Belum lagi kalau ditambah teman mengobrol, wah, seisi cafe pasti akan penuh kikik dan gosip kami.

Maka, begitulah. Tiap kali saya penat, merasa butuh penyegaran, saya pasti akan segera berdandan sebaik mungkin sebelum menghubungi teman-teman terbaik saya; dan jangan cari kami di mall. Kami sedang ngafe.

Sebegitu teradiksinya saya hingga rasanya tidak komplit jika dalam seminggu saya tidak ke cafeminimal sekali. Agak parah, memang; dan berabe akibatnya mengingat saya masih duduk di bangku SMA. Rentetan efek negatif muncul, mulai dari menipisnya uang saku hingga omelan orangtua yang g

emas anaknya tidak pernah di rumah.

Namun, sudah susah bagi saya, tampaknya, untuk lepas dari cafe.


***


Nah, cerita yang ingin saya bagikan adalah kejadian malam ini, di penghujung Februari 2012.

Alkisah saya sedang penat atas sebuah kesibukan (yang menyita perhatian saya bertahun ini sehingga jauh dari blog. Tunggu post saya selanjutnya). Tentu saja, sasaran saya adalah cafe. Mumpung besoknya libur, begitu pikir saya.

Malang, saya pulang terlambat. Baru sampai rumah ketika azan Maghrib sedang berkumandang. Kakak perempuan saya pun sedang pergi; sementara orangtua sedang di rumah. Tentu saja, tidak enak rasanya jika saya memutuskan tetap pergi.

Saya jadi tambah galau. Sudah dari awal pusing, penat, kini pupus sudah harapan refreshing. Saya putar otak; bagaimana saya mendapatkan me-time saya?

Ketemulah sebuah solusi: jika saya tidak bisa pergi ke cafe, maka cafe akan hadir untuk saya.

***

Saya segera sulap kamar tidur saya, memasang jarik-jarik warisan almarhumah eyang putri saya di langit-langit, membiarkannya menjuntai dan jatuh di tempat tidur dengan artistik. Saya juga tata kain-kain pashmina ibu saya, yang bernuansa Arab, di tempat tidur dan meja belajar.


Kemudian, di lantai, saya gelar lampit kesukaan saya yang terbuat dari rotan. Lampit ini begitu etnik, terkesan eksotik; akan saya bawa jika saya tinggal di London kelak. Kebetulan, saya memiliki semacam boneka lucu, seperti kulit harimau yang biasa dipajang dengan kepalanya, namun boneka; saya atur buku saya dan boneka-boneka harimau saya yang lain di atasnya.

Saya hamparkan selimut dan bantal hias. Di satu sudut, saya tambahkan kursi duduk mungil, kemudian keranjang anyaman bambu; dan di meja belajar, saya pasang jam belajar dan rangkain bunga artifisial. Saya tebarkan lilin, saya nyalakan lampu hippie saya, kado dari sahabat SMP tercinta. Disentuh sebuah kipas hias Jepang, suasanan Oriental nya begitu terasa.


Maka, selesailah menyulap kamar saya menjadi cafe.

***

Selanjutnya, saya pergi ke supermarket terdekat dan pulang membawa segepok bahan makanan, siap memasak.

Main course, spaghetti bolognese. Sekotak spaghetti siap saji saya masak ulang sausnya, ditambahi sejumput oregano dan bumbu asli Italia yang dibawa oleh budhe saya dulu. Saya menyulap dapur menjadi sepenggal kecil Le Cordon Blue Paris: satu kompor untuk merebus pasta, satu kompor untuk menjerang air, satu kompor untuk memasak saus. Yumm.

Kemudian, saya seduh kopi instan, ditambah berpuluh sendok susu (I love creamy things so much). Mengingat masih ada buah di kulkas, saya ambil sepenggal ranting anggur, tiga buah stroberi, yang ditambahkan sebotol kecil yoghurt dan dua buah pia sebagai dessert.

Selama satu jam setelahnya saya sibuk memasak ibarat chef profesional. Ibu, yang sudah tertidur sejenak, terbangun dan dengan asyik mengamati saya memasak. Saya hanya tersenyum, dengan sabar meneruskan profesi dadakan saya sebagai koki amatir.

Akhirnya, voila, Mediterranian cuisine a la Chef Akib.

***

Saya tata semuanya di kamar atas. Dengan laptop yang tersambung dengan koneksi internet, jadilah sudah cafe amatiran saya. Di sinilah saya duduk sekarang, di antara kain, bantal, dan lilin, menulis post ini.

Adalah suatu pemahaman unik yang timbul kemudian: bahwa mencari kebahagiaan itu tidak sulit. Yang sulit adalah membangkitkan semangat untuk mencari kebahagiaan tersebut. Di awal, saya hampir saja menyerah kepada kemalasan untuk memasak dan mendekor, berniat mencari instan dengan langsung pergi ke cafe.

Namun, saya kini mempelajari, bahwa lebih menyenangkan mengolah kreativitas dan menantang diri untuk berusaha. Lagipula, bukankah yang sejati tidak didapat dengan instan? Para profesional dan pria-wanita legendaris, dari politikus hingga ilmuwan bahkan seniman, yang paling terkenal hanyalah mereka yang menempa diri bertahun-tahun hingga akhirnya bersinar hingga membekas.

Dan mendekor kamar hanyalah separtikel debu dibandingkan kerja keras mereka. Maka, saya pun berpikir, mengapa lemah? Mengapa kalah kepada malas? Jadi, saya berusaha dan di sinilah saya, menikmati hasil kerja saya dengan rasa puas yang murni. Puas, bukan hanya karena makan enak dan leyeh-leyeh, namun karena saya murni mengusahakannya sendiri.

Itulah yang saya pelajari malam ini: kerja keras.

Kemudian saya tersenyum geli ketika memahami tangan Tuhan, pastinya, berada di balik semua ini, untuk membimbing saya supaya belajar bekerja keras, tepat ketika saya mengusahakan la dolce far niente, the sweetness of doing nothing...