Sunday, April 4, 2010

Rehat

Rehat. Itu satu hal yang sangat, sangat saya butuhkan sekarang. Tetapi, sayangnya, tidak bisa saya dapatkan.

Sumpah, pembaca, saya capai sekali mengikuti 4 hari Ujian Nasional tersebut. Rasanya seluruh tenaga saya terforsir untuk mengikuti UN. Ingin sekali saya rehat setidaknya tiga hari untuk memulihkan tenaga. Satu hari untuk memuaskan ledakan hasrat-ingin-
ngompi saya, satu hari untuk merelaksasi tubuh, satu hari untuk mempersiapkan diri demi persiapan Ujian Sekolah.

Tetapi,
oh, damn. Ada satu pihak yang tidak mengizinkan saya dan secara umum kami, para siswa, untuk relaksasi. Secara mengejutkan pihak itu adalah sekolah saya sendiri.

Hari Sabtu kami langsung diperintahkan untuk masuk sekolah. Bukan itu saja--kami diberi
empat belas paket soal latihan Ujian Sekolah dengan tujuh pelajaran yang berbeda. Masing-masing paket ada yang berisi lima puluh soal pilihan ganda, atau dua puluh lima soal pilihan ganda dengan sekian uraian.
Oh, God. Yang menakjubkan, kami hanya diberi waktu tiga hari tiga malam untuk mengerjakan soal tersebut. Itu pun termasuk pada hari Minggu ini, dan Jumat Agung kemarin, dua hari libur yang seharusnya digunakan untuk istirahat, bukannya mengerjakan soal! Dan hasilnya dikumpulkan besok Senin. BESOK SENIN!!! Ya, Tuhan...

Saya sungguh bingung dengan sekolah. Saya tahu bahwa Ujian Sekolah dilaksanakan kira-kira dua minggu lagi, tepatnya sekitar tanggal 12 April, dan bahwa kami hanya mempunyai waktu satu minggu untuk mempelajari materinya. Tetapi, tidakkah mereka juga mengerti, bahwa kami para murid juga membutuhkan waktu beristirahat?

Kami menyadari semua tanggung jawab kami, jujur, Bapak dan Ibu Guru. Namun, sungguh, kami butuh
rehat. Satu hari mungkin bisa saja cukup; namun, satu hari libur dengan beban 14 paket soal? Itu sama sekali bukan istirahat, mengingat satu paket paling cepat membutuhkan waktu setengah jam.

Itu sama saja tidak memberi kami waktu istirahat. Hasilnya, pembaca, saya dan teman-teman saya sama sekali
b tidak serius saat mengerjakan latihan tersebut. Saya survey, ternyata teman-teman saya nyaris sabodo dengan hasilnya. Kebanyakan nilainya tujuh, enam--sejauh ini saya paling bagus delapan. Eight, for God's sake! Belum lagi, soal Bahasa Jawa kuncinya jelas-jelas error. Ya Allah ya rabbi.

Saya menulis ini saat tengah depresi mengerjakan soal-soal tersebut, jadi jelas bahwa
post kali ini cacat di sana-sini. Post ini sebenarnya hanya chit-chat saya saja. Saya sebenarnya ingin mengkritik metode pembelajaran sekolah yang sangat memberatkan ini. Saya benar-benar kesal dengan metode pembelajaran yang berat sebelah, yang seperti dikatakan kakak saya, "Sangat mengejar nilai akademis tapi payah," dan hasilnya justru amat memberatkan murid. Sangat memberatkan.

Saya capek lahir batin. Jujur, saya ingin muntab, mencak-mencak di
post ini. Tetapi, mengingat ada kemungkinan sekolah saya terserang sindrom power-crazy seperti sekolah-sekolah lain, saya memutuskan untuk tidak misuh-misuh di post ini, mengingat sindrom tersebut dapat mengakibatkan dikeluarkannya saya dari sekolah.

Jadi, saya pikir sampai di sini dulu, lah,
post saya. Ini hanya sekadar curhat dari stres saya. Mungkin akan ada post sekuelnya, namun, entahlah. Saya sekarang harus kembali mengerjakan soalnya--saya hanya memiliki enam belas jam untuk menyelesaikan tugas tersebut tanpa tidur!

Semoga sekolah membaca, dan memahami bahwa mereka telah membuat keputusan yang salah, yang memberatkan murid dan tidak memberikan hasil optimal.

Thursday, April 1, 2010

Final Exam Aftermath

And now, at last, I can shout out loud, AT LAST!”

Akhirnya, setelah berbulan-bulan tidak memainkan satu pun game; setelah satu bulan penuh tidak berhubungan dengan internet, baik melalui handphone maupun komputer; setelah kira-kira dua minggu berturut-turut tidak menyentuh komputer; dan terutama, setelah menghabiskan empat hari penuh konsentrasi, tekanan, dan kecemasan, saya berhasil menempuh Ujian Nasional tingkat SMP, insya Allah, dengan baik.

Ujian Nasional tingkat SMP dilaksanakan mulai dari tanggal 29 Maret – 1 April 2010. Empat hari, yang bukan hanya empat hari, karena 1095 hari pembelajaran saya di SMP diakumulasi dalam empat hari tersebut. Di empat hari tersebut saya akan menentukan nilai saya, untuk dijadikan acuan dalam masuk ke SMA mana nantinya—dan dengan begitu, menjadi acuan masa depan saya, karena SMA merupakan titik awal mulainya karir dan kehidupan dewasa sesorang—di SMA-lah, ditentukan, akankah saya sukses di masa depan. Oleh karena itu, tuntutan untuk menjalani empat hari ini dengan sempurna amat besar. Sungguh, empat hari yang meskipun hanya 96 jam saja, namun begitu melelahkan; emapt hari yang benar-benar menuntut perubahan mendasar dalam hidup saya. Perubahan dalam aspek paling fundamental, yang begitu berat hingga saya amat tertekan karenanya.

Saya harus belajar setiap saat: menelaah tiap catatan, mempelajari tiap buku, mengerjakan tiap soal, mengulang tiap pelajaran—suatu hal yang belum pernah saya lakukan sebelumnya. Bagi pembaca, mungkin hal ini terdengar lebay—namun, sungguh, hal itu berat. Tiap ada waktu, saya dituntut untuk memanfaatkannya demi dua hal—belajar atau istirahat. Tidak ada pilihan lain. Tidak ada waktu untuk bermain, untuk dibuang percuma. Tiap hari Minggu saya mengikuti tryout bila ada; tiap sepulang sekolah saya lebih baik tidur daripada membuang energi untuk hal lainnya.

Ini berarti, saya juga tidak bisa menggunakan komputer dalam bentuk apapun. Padahal, betapa besarnya godaan untuk main komputer tersebut! Godaan ini adalah salah satu hal yang amat menekan saya. Saya, bisa dibilang, telah teradiksi komputer—sebelum satu bulan ini saya benar-benar tidak bisa lepas dari komputer, minimal tiga hari sekali saya harus menggunakan komputer, entah untuk hal apapun. Masalahnya, saya orangnya sangat rapuh—sekali saya main komputer, selanjutnya saya akan berkeinginan untuk menggunakannya lagi, lagi, dan lagi.

Hal itu dalam menjadi ganjalan bagi saya untuk belajar—oleh karena itu, tidak ada cara lain, saya harus melepaskan komputer, setidaknya satu bulan, dalam kehidupan saya. Dan itu sungguh, sungguh berat. Anda tidak bisa membayangkan betapa gatalnya jari saya untuk memainkan keyboard dan mouse; gatalnya pantat saya untuk duduk berjam-jam di depan komputer; gatalnya mata saya untuk menelan apapun yang ada di monitor. Otak saya pun juga gatal, begitu ingin menumpahkan tetek-bengek imajinasi saya yang sudah menggunung—mungkin itu sebabnya post ini tampaknya agak kacau-balau. Sungguh, pembaca, saya ingin meraung-raung akibat tekanan godaan ini: godaan untuk mengetik cerita, mengedit foto, membuat desain, bermain game, sekadar mendengarkan lagu, dan terutama browsing internet.

Saking gatalnya, saya nyaris bersumpah bahwa tepat setelah hari terakhir UN, hal pertama yang saya lakukan adalah pergi ke warnet dan melakukan hal-hal ini: update status Facebook; membuka video Lady Gaga dan Alicia Keys, minimal, di YouTube; posting di Blogspot; membuat minimal tiga desain baru di Looklet; melihat berita baru di Wikipedia; dan seabreg kegiatan lainnya.

***

Tetapi, pada hari post ini ditulis, tanggal 1 April 2010, saya nyatanya tidak browsing di internet. Pertanyaannya, mengapa? Saya tidak menemukan jawaban lain kecuali satu hal: saya sudah berubah. Sejujurnya, begitu besar perubahan saya dalam satu bulan ini.

Dalam satu bulan, saya dan sahabat saya memulai sebuah pertengkaran dengan seorang lagi sahabat saya yang berakhir fatal hingga sekarang. Saya, kadang-kadang, agak menyesali hal ini—namun, secara keseluruhan, saya tidak merasa bersalah. Apa yang kami lakukan demi kebaikan sahabat kami tersebut, jadi sungguh, saya sama sekali tidak keberatan kalau dia justru pergi meninggalkan kami, toh nyatanya hingga sekarang dia tidak mempertahankan persahabatan kami. Sebenarnya, saya justru terkejut mendapati diri saya kini terasa begitu bebas, tanpa ikatan—saya benar-benar sesuatu yang amat berbeda. Saya adalah Muhammad Akib Aryo Utomo yang berbeda, dengan solituditas dan kebebasan penuh, siap untuk mengambil langkah-langkah baru.

Saya menjadi lebih berpikiran terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan yang berbeda, dan terutama, patuh pada kehendak saya sendiri. Ini merupakan perubahan mendasar yang terjadi dalam satu bulan ini. Patuh pada kehendak berbeda dengan patuh dengan hasrat. Dalam konteks saya, patuh pada hasrat berarti main komputer sepuasnya. Sedangkan patuh pada kehendak justru kebalikannya. Kehendak saya adalah saya ingin diterima bersekolah di SMA Negeri 3 Padmanaba Yogyakarta—maka saya harus membuat suatu komitmen.

Saya menempatkan kehendak saya tersebut menjadi prioritas yang harus diperhatikan dalam tiap tindakan saya. Ini berarti, tiap hal yang berdampak positif terhadap terwujudnya keinginan saya—tidak peduli bagaimanapun melelahkan, tidak menyenangkan, dan membosankan—harus saya lakukan. Maka, saya menuntut diri saya sendiri untuk belajar lebih keras. Ini juga berarti, tiap hal yang berdampak negatif terhadap kehendak saya—tidak peduli bagaimanapun saya menginginkannya—harus ditangguhkan. Salah satunya, menahan diri dari main komputer, membeli CD The Fame Monster, dan menonton Alice in Wonderland.

Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, hal tersebut berat. Namun, seperti yang juga sudah saya katakan sebelumnya, rutinitas menjadi murid-sempurna-yang-rajin-giat-dan-tekun ini membawa perubahan besar dalam diri saya. Secara mengejutkan, saya sendiri justru tidak keberatan.

Efeknya ternyata begitu positif. Ada kedamaian tersendiri yang saya temukan dari menghabiskan malam-malam saya dengan belajar, dan memenuhi hari-hari saya dengan beribadah. Sebelum satu bulan ini, saya nyaris tidak pernah shalat tahajjud, jarang shalat dhuha, dan hanya kadang-kadang membaca Al-Quran. Semuanya berubah menjadi kebalikannya—dan saya justru menyukai rutinitas ini.

Pertanyaannya, sekali lagi, mengapa? Karena saya menemukan semua ketenangan diri dari rutinitas saya tersebut. Terutama karena saya berhasil mengendalikan hasrat saya. Saya kini benar-benar mampu menentukan suatu skala prioritas dan bertindak sesuai skala tersebut. Hasilnya, saya merasa hidup saya tertata rapi. Saya tahu saya harus melakukan apa setelah ini, mementingkan pekerjaan yang mana, menangguhkan tindakan apa. Rutinitas ini, nyatanya, memberikan efek ketenangan yang tidak saya temukan sebelum satu bulan ini. Sebelumnya saya kerap kemrungsung melakukan sesuatu, kadang-kadang bingung di tengah perencanaan saya sendiri. Saya merasa dituntut melakukan ribuan hal—beberapa di antaranya nyatanya tidak berguna—hanya karena saya tidak bisa menentukan penting-tidaknya hal tersebut. Oleh karena itu, saya gampang kelelahan dan depresi.

Sekarang, saya merasa begitu tenang, bebas, damai, dan bersih. Tenang, karena saya tahu tindakan apa yang harus dilakukan setelah ini dan itu—bebas, karena saya kini mengetahui bahwa betapa saya sebenarnya memiliki amat banyak waktu luang! Sedangkan damai saya dapatkan karena saya mempunyai waktu lebih banyak untuk berdoa.

Selama ini, jujur, kadang-kadang saya terbebani dengan tuntutan untuk beribadah. Namun, dalam satu bulan ini, saya menyadari bahwa saya sangat perlu beribadah. Bagi saya, beribadah itu seperti meditasi: sepuluh menit untuk menarik diri dari hiruk-pikuk dunia dan terjun ke alam abstrak yang lebih tenang dan hening. Saya menemukan kedamaian dalam konsentrasi saya saat berbincang-bincang dengan Yang Mahakuasa. Shalat, bagi saya, adalah suatu metode yoga. Saya bisa melepaskan semua depresi dengan sepuas hati kepada Yang Mahakuasa, tanpa merasa dibebani seperti apabila saya berkeluh-kesah dengan sesama manusia. Dengan begitu, saya merasa lebih bersih. Bersih dari pikiran-pikiran kotor; bersih dari kecemasan-kecemasan depresif; bersih dari tekanan-tekanan duniawi; bersih dari ketidakteraturan.

***

Saya berubah bahkan dalam aspek paling fundamental saya. Saya tidak lagi merasa tertekan, terburu-buru, dan cemas, serba penuh ambisi akan kesempurnaan yang begitu menuntut. Kini saya merasa lebih tenang, entah bagaimana cenderung apatis dalam bentuk kepasrahan terhadap apapun yang mungkin terjadi di masa depan. Saya masih mempunyai ambisi, tentu—saya masih berkeinginan mengirim The Tale of Bo ke penerbit dan membuat desain tee’s distro baru—namun, saya lebih tenang dalam mengejar ambisi saya. Saya merasa berprinsip seperti lagu Jordin Sparks: took one step at a time—there’s no need to rush.Betapa satu bulan yang mengejutkan. Satu bulan penuh tekanan dan kecemasan—satu bulan penuh ketenangan dan kedamaian. Ada banyak hal lain yang terjadi dalam satu bulan ini—keretakan persahabatan saya, yang sudah disebut tadi; seabreg perubahan lainnya. Namun, sejujurnya, saya tidak terlalu memikirkan hal-hal tersebut, karena saya merasa bahwa apa yang saya lakukan sudah benar. Bahkan menyangkut sahabat-saya-yang-saya-tinggalkan tersebut—karena saya merasa, dia harus disadarkan; dunia kecilnya yang sempurna itu harus diguncangkan agar dia bisa menghargai orang lain; agar dia belajar untuk memosisikan diri dengan berbeda di depan orang yang berbeda pula.

Saya adalah Muhammad Akib Aryo Utomo yang baru, yang berjalan dengan ringan, santai, namun pasti. Muhammad Akib Aryo Utomo yang tahu pasti cara menjalani hidupnya; yang tahu pasti tindakan apa yang harus dilakukan; dan yang yakin dengan keputusannya sendiri. Oleh karena itu, saya tidak menyesali tindakan-tindakan yang saya lakukan bulan ini, karena saya tahu, semua itu murni adalah kehendak saya sendiri. Sebelumnya, selalu ada infiltrasi dari pihak sana-sini dari keputusan saya; namun, satu bulan ini, saya benar-benar menjadi sosok yang independen.

Dengan cara yang aneh saya merindukan UN: merindukan rutinitas ekstra-belajar dan ekstra-ibadahnya yang melelahkan, namun membawa ketenangan tersendiri. Namun, saya tidak mau mengulang UN! Saya sudah puas dengan apa yang telah saya lakukan. Saya merindukan UN terutama mengingat jasanya dalam mengubah saya menjadi sosok yang lebih memuaskan. Sulit melupakan sesuatu yang berefek begitu besar dalam hidupmu; namun, UN sudah berlalu. Kini saya tinggal membuat ambisi baru lagi dan memasrahkan semua hasilnya kepada Yang Mahakuasa.

Maka dari itu, saya juga meminta doa dari pembaca sekalian, dari segala jenjang umur—doakan saya, Muhammad Akib Aryo Utomo, agar saya berhasil mendapatkan nilai sempurna dalam UN, dengan total NEM 40; sehingga saya, Muhammad Akib Aryo Utomo, berhasil diterima bersekolah di SMA Negeri 3 Padmanaba Yogyakarta! Amin, amin ya rabbal alamin. (Maaf, saya promosi doa di sini.)

Inilah rangkuman saya mengenai bulan-bulan isolasi saya dari komputer dan internet. Saya masih mencintai dua hal itu, tentu—namun saya tidak lagi teradiksi olehnya. Saya sudah bisa menakar porsi yang tepat dalam menggunakan waktu saya untuk keduanya. Tapi… Well, bagaimanapun, UN sudah selesai! Kini saya memiliki waktu untuk memuaskan hasrat saya tersebut!

Jadi, inilah post pertama saya bagi bulan baru ini—sekaligus post pertama saya bagi sebuah awal yang baru.

01 April 2010