Monday, June 28, 2010

Selibat


Tuhan adalah pelindungku
Saat kejahatan menyerang Ia menebarkan perisaiNya
Saat dilema menghadang Ia menunjukkan jalanNya
Saat rapuh menghantam Ia memberikan kekuatan

Tuhan adalah penghiburku
Dia memberiku penenangan saat aku terpaksa memalingkan muka dari dunia,
saat memalingkan muka dari dambaku sendiri
Dia memberiku kekuatan tatkala aku harus mematahkan hatinya,
tatkala aku harus mematahkan hatiku sendiri

Tuhan adalah sahabatku
Menjadi pegangan ketika aku harus memilih nasibku dan nasibnya
Menjadi teman saat aku terpaksa meninggalkannya di belakang
Menjadi tumpuan ketika tiada manusia menjadi tempatku bersandar
Menjadi bahu tempat terisak tatkala tidak ada yang bisa kulakukan selain menangis



Di depan hanyalah kegelisahan, dengan patah hati di kedua cabangnya
Di depan hanyalah persimpangan, dengan pahit di kedua ujungnya
Menekan batin, menuntut jiwa, menanyakan kesetiaan
"Yang manakah, yang akan kaupilih, Manusia?"

KepadaNya aku terikat, jiwa dan raga
yang kini meretih, menggelepar, mendamba
menangis pilu; meronta marah; meratap pedih
karena ekspetasiNya menentang harapan
perintahNya membelenggu keinginan

Saat perintahNya menyebabkanku remuk dan hancur
Saat laranganNya memaksaku bersimpuh terisak
Saat hukumNya meninggalkanku merana dan sengsara
Aku berlutut dalam siksa yang menyayat tubuh, menyakiti hati

Karena nafsuku menentang moral
Tindakanku menentang nurani
Keinginanku mengingkari komitmen
Hasratku membuahkan pengkhianatan

Kepada siapa aku harus tunduk, kepada apa aku harus patuh?
Saat ketidakadilan dunia akhirnya menyergapku dalam kemarahan
Betapa aku mendamba yang terlarang! Betapa aku menginginkan yang terkutuk!
Bagaimana Dia tega menimpakan ketimpangan ini kepadaku?

Tetapi, yang Dia tanyakan, selalu
"Kepada yang mana, kau akan berserah diri, Manusia?"


Tuhan adalah sukacita
Ia akan menganugerahkan kebahagiaan yang belum mampu kulihat
Ia akan memberikan kedamaian yang belum dapat kurasa
Ia akan menunjukkan berkah yang belum kusadari

Tuhan adalah kedamaian
Jalanku adalah cintaNya; petunjukku adalah kasihNya
Hidupku sepenuhnya pemberianNya; napasku sepenuhnya milikNya

Tuhan adalah kekasih
Hanya kepadaNya hidupku pantas dipersembahkan
Hanya kepadaNya hatiku pantas dipasrahkan
Karena cintaku terlarang, dambaku terkutuk, untuk manusia


Tuhan adalah tempat berpasrah diri
Maka di saat aku berada dalam kesengsaraan ini,
aku melakukan satu-satunya yang bisa kulakukan:
Aku menyerahkan hidupku kepadaNya.


Maka dari itu, aku selibat.

Wednesday, June 16, 2010

Soliloquy of Solitude


from Oxford Advanced Learner's Dictionary:

Soliloquy—a speech in a play in a which a character, who is alone on the stage, speaks his or her thoughts aloud; the act of speaking thoughts aloud in this way

Solitude—the state of being alone, especially when you find this pleasant


Kupikir aku jatuh cinta

Tetapi dengan siapa? Aku tak tahu
Mereka semua seperti bayang-bayang; tak tersentuh,
tetapi kudamba
Namun mengapa tak ada yang benar kucinta?

Ada harapan
Aku bisa saja mencintainya
Namun aku tidak bisa; semuanya hanya terlalu konyol rasanya
Kau tahu, aku tidak hanya memliki harapan, namun juga mengharapkan
dan kulihat tak ada yang bakal menyanggupinya

Ataukah mereka akan?

Aku terlalu ragu untuk percaya dan terlalu takut untuk mencoba
Aku pernah patah hati; aku tidak ingin akan patah hati lagi
Letih rasanya, menguras tenaga untuk sebuah dusta
Kebohongan
Bayang-bayang

Dan jiwaku terbagi dua

Di satu sisi aku mencintai kesendirianku dan kebebasan mutlak di dalamnya
Aku bisa memilih langkahku sendiri tanpa perlu mempertimbangkan konsekuensinya
Aku tidak perlu terikat oleh belenggu dan rantai kisah-kasih menggelikan itu
Rasanya seakan merengkuh dunia; terbebas dari penjaraku
Seringan bulu dan semerdeka merpati

Di sisi lain… Well, ada kekosongan hampa di sini
Relung yang tiada terisi; ceruk yang terbuka lebar
Sepi yang dingin dan mengilukan hati, menumpulkan indra
Kerinduan absurd untuk terobsesi kepada sesuatu
Keinginan untuk memiliki sesuatu untuk dikasihi, diberi perhatian
dan untuk dimiliki sesuatu untuk dikasihi, diberi perhatian

Namun, sekali lagi, aku tak tahu ke mana langkahku
Seakan ada cahaya di depan—namun untuk melaluinya terbentang jurang
Jembatan yang remuk redam; ketakutan untuk melangkah
takut patah takut rapuh; takut jatuh
Takut bahwa selama ini harapanku, cahayaku,
hanya akan padam saat akhirnya teraih

Takut. Takut. Dan takut.
Dan aku tidak percaya kepada siapapun

Di sini aku meretih, sedih marah benci jadi satu
Sedih atas rasa kehilangan itu; marah karena menjadi begitu lemah
Benci atas segala kecengengan dan adiksi akut ini
Aku benci menjadi rapuh. Aku benci jatuh cinta
Aku tidak ingin jatuh cinta—kepada manusia,
apalagi kepada bayang-bayang
ataukah itu bayang-bayang? Aku tak tahu apa
karena entah kepada apa aku cinta?

Atau apakah aku jatuh cinta?

Apakah ini hanya ennui?
Kurasa ini hanya ennui, namun aku tidak yakin
Yang pasti itu mencekikku: melemahkan raga, melumpuhkan syaraf, membunuh imajinasi
Penenang sempurna bagi semangat untuk hidup dan beraksi
Kebosananan yang timbul karena kehampaan dan kesunyian
Ketiadaan tawa—ketiadaan canda—bahkan ketiadaan duka
Tanpa hitam tanpa putih; tanpa warna
Netral. Transparan. Kosong. Polos.

SEPERTI HILANG KEWARASAN! Aaargh, hidup yang tidak hidup dan tanpa kehidupan

Rasa itu bercampur aduk—sepi, kosong, bosan
Solituditas yang bisa saja menyenangkan, kesunyian yang bisa saja membebaskan
Merelaksasi diri dari hiruk pikuk dunia untuk sesaat—melegakan
Namun, bagaimanapun, sepi; karena itulah esensinya

Ajari aku untuk membebaskan diri dari belenggu ini—rantai ketidakberdayaan
Bagaimanapun caranya—entah dengan mencintai, melupakan, melepaskan, bekerja

Karena aku terkungkung sunyi,
solituditas ini.

June 13th, 2010

Wednesday, June 2, 2010

Nabi Tidak Menghakimi Fashionista

Anda mungkin tidak percaya bahwa judul di atas itu nyata—namun, kira-kira, begitulah adanya.
Rasulullah SAW, nabi besar penganut agama Islam, salah satu agama besar di dunia, memang tidak secara eksplisit mengatakan hal tersebut. Namun, secara implisit Rasulullah memberikan hadis yang, sekurang-kurangnya menurut pengertian saya, membela hak-hak fashionista seluruh dunia untuk mencintai merek-merek ternama seperti Dior dan Zara.
Kisahnya dimulai sewaktu saya mengikuti ibadah shalat Jumat di masjid Al Ahdhor, masjid perumahan saya, pada tanggal 29 Mei 2010. Khatib—pengkhotbah—nya adalah seorang sepuh di perumahan saya tersebut yang saya kenal sebagai Bpk. Sunyoto. Beliau adalah seorang Muslim yang taat dan memiliki pemilihan irama yang sangat unik saat shalat—agak lucu, namun uniknya menyenangkan.
Seperti biasa, khotbah beliau agak membosankan menurut standar saya; namun, saya masih berusaha mendengarkan, diselingi lamunan-lamunan dan imajinasi eksentrik saya. Khotbahnya bertutur mengenai takabur dan kesombongan. Secara garis besar adalah apa definisi sombong itu dan bagaimana cara menjauhi kesombongan.
Nah, sewaktu Bpk. Nyoto menjelaskan definisi inilah telinga saya—yang kebetulan agak memiliki kebiasaan menangkap hal-hal ‘antik’—mendengar sebuah periwayatan akan hadis yang agak aneh. Saya sudah lupa, bagiamana tepatnya bunyi hadis tersebut. Namun, ada beberapa baris kalimat yang sangat menggelitik. Bunyinya kira-kira seperti ini: “Kesombongan tidak ditentukan oleh kecintaan akan baju-baju yang bagus dan indah, karena Allah menyukai keindahan. Kesombongan adalah sikap menolak kebenaran dan merendahkan manusia.”
Saya amat terkesiap mendengar kalimat pertama hadis tersebut, karena hal tersebut berarti, adalah bukan suatu dosa untuk menyukai baju-baju rancangan Vivienne Westwood atau bahkan memborong tas-tas Louis Vuitton seharga Rp 10 juta. Dan, bagi saya, ini adalah suatu hal yang sangat kontradiktif dengan paradigma masyarakat.
Selama ini, saya melihat masyarakat terpaku kepada stereotip, terlepas dari ketidaksukaan saya terhadap stereotip tersebut, bahwa hanya orang-orang angkuh dan kurang kerjaan saja yang membeli baju-baju luar biasa tersebut. Muslimin yang baik seharusnya menyisihkan uangnya untuk hal-hal yang lebih berguna dan membatasi pakaian mereka. Bukan berarti Muslimin harus mengenakan pakaian bekas yang sudah lusuh dan tidak layak pakai, tidak. Namun, saya mengira bahwa maksudnya, belilah baju-baju yang bagus, namun standar dan sederhana—dan berarti, memborong Gucci serta Blahnik kurang diutamakan, bahkan agak dipandang negatif.
Seperti yang sudah saya sebutkan, saya tidak menyukainya. Terlepas seperti dari seperti apa kondisi dan penampilan saya sekarang, I love fashion and nice clothes, how expensive that is. So, to know that religious people will staring at me with those evil eyes if I’m wearing Armani or Galliano from head to toe isn’t cool at all; because for me, being stylish isn’t a sin. Memang, adalah sebuah hal yang bagus apabila kita menyedekahkan uang kita untuk kaum papa. But why can’t we have a bit of fun by swimming in the sea of branded clothes?
Maka, mengetahui bahwa Nabi Muhammad SAW meriwayatkan hadis yang mendukung prinsip saya—being stylish isn’t a sin—adalah sebuah fakta mengejutkan. Rasulullah sendiri meriwayatkan hadis bahwa menyukai baju-baju yang bagus diperbolehkan dan bukan sesuatu yang berdosa! Secara tidak langsung, dalam sebuah skala yang kecil (walau bagi saya besar), sebuah dukungan terhadap kaum fashionista di seluruh dunia, yang selama ini—mau tidak mau harus diakui—agak dipandang negatif karena kecintaan mereka terhadap baju.
Dalam ketakjuban saya tersebut, Bpk. Nyoto melanjutkan khotbah beliau, kira-kira seperti ini: “Hal ini dikarenakan kesombongan manusia bukan diukur dari pakaian yang mereka kenakan, melainkan sikap mereka. Orang sombong adalah mereka yang ‘menolak kebenaran dan merendahkan orang lain’. Maksudnya adalah tidak mau mendengarkan kritik dan menganggap remeh orang lain. Ini berarti, bahkan orang yang berpakaian jelek dan miskin pun juga bisa dianggap sombong—sedangkan belum tentu orang yang berpakaian bagus itu sombong.”
Saya terpaku mendengarkan penjelasan beliau, karena hal tersebut memang benar. Apakah adil apabila seorang filantrofi dipandang ‘sombong’ hanya karena ia berbelanja di Harrods atau Fifth Avenue? Hanya karena ia membeli lingerie di Victoria’s Secret dan sepatunya dibuat oleh Jimmy Choo? Hanya karena lemarinya terisi penuh dengan Burberry, DKNY, Issey Miyake, Mango, Dolce & Gabbana, Marc Jacobs, atay Longchamps? Pakaian bukanlah tolok ukur kepribadian seseorang.
Justru, kita seharusnya mengoreksi diri kita sendiri. Apakah kita justru termasuk orang sombong, ‘yang menolak kebenaran dan merendahkan orang lain’, bahkan meskipun pakaian kita hanya dibeli di Matahari Department Store dalam obral, seharga Rp 9.000,00? Apakah kita tidak pernah mau mendengarkan kritik dan memandang hina orang lain—gampangnya, para fashionista tersebut?
Apabila iya, maka bagi kita yang termasuk orang-orang ‘sombong’ tersebut, alangkah baiknya apabila kita berinstrospeksi. Belum tentu, sikap yang kita ambil ternyata adalah benar dan disukai oleh Tuhan—terlepas anggapan kita bahwa kita melakukannya didasari ketaatan terhadap Tuhan. Tidak; Tuhan mencintai perdamaian dan toleransi. Coba, bukankah banyak ayat dalam Al-Quran yang lebih mengutamakan perdamaian dan kesatuan dibandingkan seruan untuk berperang—yang bahkan tidak bisa dilakukan kecuali untuk alasan defensif?
Sedangkan pandangan negatif terhadap orang lain, serta tindakan diskriminatif yang mengikutinya, dalam bentuk sekecil apapun adalah sebuah pengingkaran terhadap toleransi. Sebagai Muslimin, jika Rasulullah saja memberikan izin kaumNya untuk menyukai pakaian bagus—sedang tindakan-tindakan Rasulullah berasal dari Tuhan Yang Maha Esa—maka adalah sebuah kesalahan bagi kita untuk memandang negatif kecintaan para fashionista. Karena dengan begitu, kita bukan hanya menciptakan kebencian dan perpecahan, sekaligus menjadi orang yang sombong. Padahal, Tuhan sama sekali tidak menyukai kesombongan dalam bentuk sekecil apapun. Sungguh percuma bukan, apabila hal yang kita kira baik, justru akan menjerumuskan diri kita ke neraka?
Bagi fashionista sendiri, kita juga harus sadar diri. Bpk. Sunyoto juga menambahkan, “Asalkan pakaian mereka belum melewati batas kewajaran, maka diperbolehkan mengenakan baju-baju yang indah.” Ini berarti, kecuali apabila Anda adalah seorang Lady Gaga, adalah tidak wajar dan dilarang untuk berkeliaran di jalanan Indonesia hanya dengan pakaian Bath Haus yang transparan, dengan bagian dada disilang dengan selotip putih. Namun, ingat: ini juga berarti, diperbolehkan untuk berkeliaran di jalanan dengan topi-berbentuk-telepon-biru ciptaan SOMEBODY dan heels berinci-inci Alexander McQueen—tanpa berhak diberi cap sombong.
Saya bukanlah seorang ahli agama, saya mengakui hal itu; oleh sebab itu, post ini terbuka untuk didebat. Saya belum hapal semua hadis Nabi, atau bahkan semua surah Makkiyah. Namun, saya hanya ingin menyampaikan sebuah pesan utama yang saya harap sudah Anda tangkap, dengan tujuan membuka wawasan kita semua dari perspektif berbeda: Jangan menghakimi seseorang ‘sombong’ berdasarkan pakaian yang mereka kenakan.
Boleh-boleh saja seorang nerd mendadak mengenakan baju-baju terbaru dari desainer terkenal; itu adalah sebuah perubahan positif yang seharusnya kita hargai. Kita justru dilarang mencap nerd tersebut sombong hanya karena mendadak ia mengenakan baju buatan Ashley Isham; juga kepada fashionista-fashionista lainnya. Hanya karena mereka berpakaian bagus, bukan berarti mereka memang babon-babon sombong layak-tampar. Ingat, Yves Saint Laurent berkata bahwa, “We must never confuse elegance with snobberyKita tidak boleh mencampur keeleganan dengan kesombongan.”
Satu quotation yang dibenarkan oleh Nabi Muhammad SAW.
Bagi fashionista sendiri, cobalah melihat dari sudut pandang orang-orang non-fashionista dan anti-fashionista. Hanya karena kita menyukai barang-barang bagus, bukan berarti kita harus memalingkan muka dari kemalangan-kemalangan dunia. Kita tidak bisa memungkiri bahwa memang kita tidak akan membawa tas Chanel ke akhirat; oleh karena itu, tidak ada salahnya untuk menyedekahkan sekian persen tabungan sale kita. Toh, ada cukup banyak supermodel dan desainer ternama yang juga mendedikasikan diri sebagai seorang filantrofi.
Intinya, mari kita seimbangkan perspektif masing-masing. Sudah ada terlalu banyak pertikaian di dunia untuk ditambah rivalitas antara fashionista dan anti-fashionista. Manusia adalah makhluk yang kompleks. Kita semua terlalu rumit, terpecah, dan beberbeda-beda untu mampu dikotak-kotakkan dalam ‘apa yang baik dan yang buruk’. Kita juga tidak bisa membuat orang lain sama seperti kita. Jadi, hargailah perbedaan tersebut. Apabila Anda tidak menyukai orang-orang berpakaian wow, jangan hakimi orang tersebut—mereka mempunyai hak untuk berpakaian wow. Dan apabila Anda tidak menyukai orang-orang berpakaian cliché, jangan hakimi juga—mereka mempunyai hak untuk berpakaian cliché.
Ini hanyalah sebuah wacana, bukan pedoman paksa. Maka, keputusannya ada di tangan Anda—akankah Anda memilih untuk berpihak kepada perdamaian, atau kukuh terhadap prinsip kaku Anda sendiri. Namun, saya harap, apabila Anda masih belum menangkap makna post ini, resapilah quotation megangumkan lainnya dari Yves Saint Laurent: “Over the years, I have learned that what is important in a dress is the woman (people) who wearing it.
Yang penting itu kepribadian orangnya; bukan bentuk, merek, dan harga baju yang ia kenakan.