Saturday, May 16, 2009

Untuk Semua Sahabat yang Menghidupkanku

Untuk semua sahabat, teman, sepupu, dan guruku yang terkasih, semoga Tuhan selalu melimpahkan segala kebaikan yang Dia miliki kepada kalian sehingga hidup kalian akan selalu berada dalam berkatNya.

Aku tahu apa yang kalian alami saat membaca note ku yang sebelumnya. Panik dan bingung; itu pasti. Kebanyakan dari kalian, kalau bukan semua, pasti akan takut bila terjebak dalam situasi saat seseorang yang kalian kenal baik tiba-tiba kehilangan semangat hidup. Benar-benar hancur.

Aku nggak memungkiri semua yang udah aku tulis. Aku benar-benar hancur waktu itu. Kalian tahu? Kemarin malam, sewaktu maghrib, aku gak bisa bergerak sama sekali. Aku benar-benar cuma nggletak di lantai kamarku, sendirian; aku nggak punya emosi. Aku pengin nangis tapi ga bisa; aku pengin bahagia tapi jiwaku udah remuk redam.

Dan jangan pikir aku nggak sadar sewaktu nulis. Aku waras sepenuhnya waktu nulis itu; aku benar-benar berharap aku gila atau mati aja waktu itu. Karena segala kebencian yang ditanamkan seseorang sudah benar-benar menghancurkan hatiku sendiri; aku sudah benar-benar sakit. Kemarin, Akib telah meninggal dunia; jiwanya rusak sama sekali.

Sekali lagi, AKU SADAR SERATUS PERSEN SEWAKTU NULIS SEMUA TULISAN ITU.


***


Tapi sekarang, di sini, di depan monitor komputer, aku nangis.

Aku terkejut mendapati begitu banyak orang yang peduli sama aku--TERLALU peduli. Mereka nggak cuma bilang, "Hah? Akib pengin mati?", tapi mereka--atau sejujurnya, KALIAN--benar-benar peduli. Peduli setengah mati. Kalian ikut panik sewaktu tahu aku kehilangan semangat hidup; kalian ikut ketakutan dan sedih sama aku. Kalian terus ngirim post yang benar-benar menyentuh hatiku sampai ke relung yang paling dalam, karena kalian benar-benar sedih sama aku.

Aku nangis. Aku pengin banget ngomong supaya aku ga perlu ngetik. Sialan, mataku udah buram saking sembapnya; monitor gak kelihatan.

Aku gak bisa menuliskan gimana rasa terharuku, tapi ini: Jika aku bisa pergi ke tempat kalian sekarang juga, detik ini juga, aku pengin lari ke sana dan memeluk kalian semua, nangis di depan kalian dan mengucapkan rasa terima kasih, bener-bener nangis dan berterima kasih bahkan kalau aku kemudian jadi bisu atau kehilangan suara saking geroknya; dan tetap, kata-kata ini tidak bisa mengungkapkan haruku.

Sampai sekarang aku masih tidak tahu apa yang harus aku lakuin. Ya, aku udah cukup normal; tapi aku masih terguncang. Banget. Jiwaku masih syok; aku masih merasa pengin terus nangis. Tapi aku nggak akan nangis. Karena satu hal.

KALIAN.

Aku masih punya kalian. Kalian masih ada. Kalian akan terus nyupport aku; dan kalian sudah melakukannya. Nggak adil bagi kalian bila aku menyerah, bila aku menyerah pada depresiku dan membiarkan diriku gila, meski aku masih depresi dan pengin gila sekarang; dan nggak adil bila aku mati sekarang. Mengapa? Karena aku takut kalian sedih dan kecewa, mengira kata-kata kalian nggak cukup tulus untuk menyelamatkan seorang Akib, yang sama sekali tidak berharga, lebih hina dari seonggok kotoran. Karena itu tidak benar; KALIAN TULUS. KALIAN PEDULI. SEMUA YANG SUDAH KALIAN LAKUKAN BERHARGA.

Tanpa kalian, aku nggak mungkin hidup hari ini. Seandainya kalian tidak peduli, akun ini sudah offline selamanya, dan pagi ini aku akan ditemukan mati atau amnesia atau udah hilang kewarasannya. Tapi kalian membuatku HIDUP. Kalian adalah kurir-kurir Tuhan, perpanjangan tanganNya untuk membantuku pulih, untuk menguatkan langkahku, meluruskan jalanku, menuntunku, menyemangatiku, menemaniku, mengobatiku, dan segala sinonim serta metafora lainnya untuk frasa: BAGAIMANA CARA MENJADI SEORANG SAHABAT.

Sungguh, selain keluarga dan Tuhanku, kalian adalah orang yang bisa MENGHIDUPKAN seorang Akib.

Dan aku berterima kasih untuk itu. Oh, seandainya aku bisa ngasih nyawaku buat kalian sebagai wujud terima kasih, aku rela; aku rela ngasih apapun yang aku punya dengan tulus. Tulus banget. Seandainya aku memiliki semesta, aku sudah memberikannya pada kalian. Benar-benar tulus dari dalam hatiku. Karena BELUM PERNAH AKU MERASA BEGITU DIHARGAI; BELUM PERNAH AKU MERASA BEGITU DISAYANGI OLEH ORANG LAIN; BELUM PERNAH AKU MERASA BEGITU BERHUTANG BUDI; dan belum pernah aku merasa ADA ORANG LAIN YANG PEDULI PADAKU.

Aku sungguh sungguh berterima kasih. Ga ada yang bisa ngukur terima kasihku. Hanya Tuhan yang bisa mengukur dengan metriknya yang begitu akurat, dengan segala kecerdasan dan kebijaksanaanNya, dengan segala kasihNya dan kekuasaanNya. Jujur. Belum pernah aku berkata sebegini tulus, sebegini jujur, dan sebegini niatnya.

Karena begitu banyak yang kalian ajarkan: Bagaimana cara menghargai hidup... Bagaimana cara menangani masalah... Bagaimana cara memaafkan... dan ribuan ilmu lainnya yang tidak dapat diukur dengan kurikulum, namun dapat menyejukkan dan mendidik sebuah jiwa untuk tumbuh dewasa.

Aku bisa bicara ribuan kata, namun sayangnya, aku harus menghadapi sebuah keterbatasan. Dan keterbatasan itu pula yang memaksa aku untuk meminta pertolongan kalian lagi, walaupun aku merasa begitu rikuh: aku tahu akan sulit bagiku untuk sembuh karena luka yang aku alami sudah menikam inti jiwaku. Aku akan selalu membutuhkan kalian untuk menemaniku saat aku sepi; membangkitkanku saat aku jatuh; membesarkanhatiku saat aku putus asa; menemukanku saat aku hilang; memperbaikiku saat aku rusak... segala kata untuk frasa ini lagi: BAGAIMANA CARA MENJADI SEORANG SAHABAT.

Keterbatasan yang memuakkan memaksaku untuk berhenti; meskipun keterbatasan itu belum berhenti memburamkan mataku. (Oh, bisa-bisa aku rabun gara gara nangis). Tapi aku harus memberikan penutup, sebuah kado untuk kalian: TERIMA KASIH ATAS SEGALA-GALANYA, DEMI SEMUA HAL YANG ADA DI SEMESTA TUHAN. Kalian telah menghidupkanku, dan kini aku hidup.

Oh, ya, aku akan hidup.

Dan aku melakukannya semata-mata demi kalian.

Karena kalian yang menghidupkanku.

Lagi.

***



Semuanya bermula dari sebuah kebencian.

Ada dendam yang sudah berbulan-bulan kusimpan, rasa sakit hati yang telah menancapkan akar busuknya dan menghancurkan jiwaku. Seorang teman telah menusukkan kata-kata pedih berkali-kali, dan ia tidak menyadari hal ini. Sama sekali tidak. Dan itu yang membuahkan rasa benci.

Sungguh, belum pernah dalam hidupku aku berkata lebih serius dari ini: AKU BENCI KAMU DENGAN SEGALA DAYA YANG MAMPU AKU BERIKAN UNTUK MEMBENCIMU. Aku benar-benar jijik atas segala sesuatu yang ada hubungannya sama kamu. Aku benci ketidaktahuanmu yang bodoh itu; aku benci ketidakpekaanmu yang dingin itu; aku benci arogansimu yang memalukan itu.

Dan aku benci sikapmu akan sebuah permintaan maaf, seakan-akan pengampunan adalah sebuah receh dalam pundi-pundi kotor yang dapat dibagi-bagikan dengan cuma-cuma. Pengampunan lebih dari itu; pengampunan itu MAHAL. Ada beberapa hal yang harus dikorbankan demi pengampunan. Kamu tidak bisa masuk surga tanpa ampunanNya; narapidana tak dapat bebas tanpa... Read More ampunan hukum; dan karma tak mampu lenyap tanpa ampunan mereka yang tersakiti. Semua pengampunan meminta sebuah bayaran, dari siapapun pengampunan itu kau minta.

Lalu apa yang membuat kamu berani meremehkan PENGAMPUNANKU? Apa aku tidak bisa meminta sebuah bayaran pula? Sungguh kamu harus tahu, jika kamu mengira aku dapat memberikan pengampunan semurah hati itu, maka kamu tidak pernah mengenal seorang Akib sebelumnya. Karena aku lebih daripada orang yang kamu kenal. Aku tidak memaafkan semudah itu; dan yang pasti, AKU TIDAK MELUPAKAN.

Jadi jangan sekali-kali kamu berani meremehkan aku. Dasar CECUNGUK.

Klimaksnya terjadi kemarin malam.

Betapa segala raga telah tercurah demi sebuah kebencian! Satu hari penuh untuk membenci; untuk balas menyakiti dan menghina. Satu hari penuh untuk merasa marah, merasa muak, merasa jijik. Satu hari penuh untuk merasa sakit hati. Satu hari penuh untuk membuka luka lama yang mulai mengering.

Satu hari penuh saya menderita.

Dan tepat selepas maghrib, jiwa saya hancur. Secara harafiah saya tergeletak di lantai kamar, sesunggukan sendirian. Mengapa saya begitu ia benci? Apa salah saya? Saya tidak pernah membencinya. Saya bahkan ingin menjadi temannya, sekalipun kami berbeda. Tapi mengapa ia menyakiti saya sedalam itu? Saya benar-benar merasa kosong. Hanya ada kesedihan di dalam hati. Saya hancur, sehancur-hancurnya saya.

Saya merasa saya lebih baik mati saja. Atau mungkin gila; saya bisa lepas dari segala masalah.

Teman-teman semua,
entah mungkin aku yang lagi depresi atau gimana . Tapi aku bener-bener ngerasa jiwaku kayak hancur gimana. Aku beneran mati rasa sekarang, ga tahu seneng ato marah. Aku nyengir sekarang , tapi jauh di dalam hati aku sedih banget . Sakit .
Jadi ... memang kita tidak tahu apa yang akan terjadi besok . Tapi kalau besok saya tidak masuk sekolah , mungkin saya sudah menjadi gila . Mungkin kalau hingga nanti saya tidak merasa lebih baik , saya lebih baik gila saja . Entah untuk sesaat atau selamanya . Tapi aku cuma ingin lepas dari semua beban ; dan kalau aku sadar , aku ga bisa nglupain hal itu.
Ini sebuah perpisahan , mungkin , saya tidak tahu. Kita tidak tahu masa depan . Tapi saya sudah hancur ; hati saya sudah sangat tersakiti hingga rusak . Ini adalah titik di mana seseorang menjadi bodoh , ya ; dan itu hanya sejengkal mendekati ketidakwarasan .

Pokoknya itu saja . Mungkin saya bakal jadi gila , tidak tahu lah . pokoknya saya sedang hancur sekarang , hancur sehancurhancurnya sesuatu bisa hancur . Terima kasih atas segala hal yang pernah kalian beri , baik itu momen terkecil sekalipun ; dan maafkan bila ada hal yang menyinggung hati kalian . Kalian bisa komen , silakan ... segala bentuk keramahtamahan sekecil apapun akan berarti bagi saya . Bahkan kalau saya akhirnya jadi tidak waras.

Yah , mungkin ini hanya racau orang yang linglung sesaat . Jika kalian tidak rela saya jadi gila , silakan berpikir dan berdoa seperti itu . Tapi bila saya akhirnya MEMANG jadi gila , tolong anggap ini sebagai sebuah salam perpisahan .

Ini semua tulus dari hatiku yang paling dalam , relung jiwaku yang paling jauh , yang kini sudah remuk berkeping keping.

Sekali lagi , terima kasih banyak... sekali , maafkan semua salah saya , dan good bye .



PS: TIDAK ADA UNSUR BERCANDA SEDIKITPUN . Bila tidak percaya, silakan hubungi Ratih Sanjaya atau Nahal Fathir . Dua orang itu yang tahu pokok masalahnya . Orang pertama direkomendasikan . Yang terakhir tidak .

P.P.S: Thanks banget buat Fitri ; Ratih ; Ipeh ; Bari' ; Luthfi ...

P.P.S.S. : My Salatiga Sisters ... I'm so sorry for everything . :)

P.P.P.S.S. : Sori yang belom ke tag . Ga muat . Dan akunya udah capek . Tapi kalian tetep berharga juga kok buat aku . Tenang aja.

Tapi semua sudah berlalu. Dan inilah kisahnya.

***


Wednesday, May 13, 2009

Invidia

Sungguh saya baru saja mengalami guncangan besar.

Baru-baru saja saja saya mengikuti sebuah kuis di situs jejaring sosial Facebook. Judulnya benar-benar mantap: "Which of the Seven Deadly Sins Are You?" yang bila di-Bahasa Indonesia-kan artinya kurang lebih, "Dari Tujuh Dosa Maut, yang Manakah Dirimu?"

Ini memerlukan penjelasan tentu, terutama bagi yang beragama Islam. Seven Deadly Sins atau Tujuh Dosa Maut merupakan rumusan mengenai dosa-dosa paling mematikan bagi manusia, dalam lingkup literatur Kristiani. Konsep mengenai Tujuh Dosa Maut ini pertama kali diungkapkan oleh St. Gregorius I (540-604), seorang paus. Tujuan dari rumusan dosa-dosa ini adalah untuk memberikan pengajaran mengenai sifat-sifat dan tindakan tentang tindakan-tindakan imoral manusia, yang dapat membuat dosa.
Rumusan Paus Gregorius I ini dikenal sebagai Saligia, inisial dari ketujuh dosa tersebut. Ketujuhnya, sesuai urutan, adalah:
  1. Superbia, atau Kesombongan;
  2. Avaritia, atau Ketamakan;
  3. Luxuria, atau Hawa Nafsu;
  4. Invidia, atau Kecemburuan;
  5. Gula, atau Kerakusan;
  6. Ira, atau Amarah; dan
  7. Acedia, atau Kemalasan.
Mengenai acedia, awalnya pada rumusan Paus Gregorius I dosa tersebut tidak ada. Sebagai gantinya, pada rumusan awal yang ada adalah accidie, yang berarti keputusasaan atau kesedihan yang melumpuhkan.

Nah, sudah tahu 'kan betapa kerennya kuis tersebut? Oleh karena itulah saya mengikutinya... dan tidak menyangka bahwa hasil yang saya dapatkan sungguh mencengangkan.

Because the application said that... my deadliest sin is envy.

Segera saya mengecek kamus, mendapati bahwa envy berarti kecemburuan; atau invidia. Saya lalu mengecek dua buku saya lagi. Keduanya adalah Let's Go Into Narnia karya Arie Saptaji dan The Magical Worlds of Narnia karya David Colbert. Ya, keduanya adalah buku yang menelaah mahakarya Clive Staples Lewis, The Chronicles of Narnia.

Pertanyaannya, mengapa saya membuka kedua buku itu? Karena siapapun yang pernah menelaah Narnia pasti menyadari betapa buku tersebut sarat dengan nilai-nilai Kristiani. Memang, buku itu bukankah sebuah alegori; buku itu adalah sebuah novel anak-anak biasa, penuh dengan fantasi jenius sang pengarang sejati Inggris. Namun, mengingat kereligiusan C.S. Lewis, tidak dapat dipungkiri bahwa novel itu juga mengandung beberapa pembelajaran Kristen.

Mungkin Anda jadi bingung mengenai agama saya. Maka, saya tegaskan: saya seorang Muslim. Lalu mungkin Anda bertanya, kok Anda malah membaca novel sarat Kristen, kalau begitu, atau justru menelaah materi-materi Kristiani?
Jadi saya balik bertanya: memang kenapa? Apakah karena saya seorang Muslim, saya tidak boleh membaca Alkitab dan mempelajari nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya? Dan seorang Kristiani tidak boleh membaca Al-Qur'an serta mengadopsi nilai-nilai moral lain yang juga menjadi dasar fundamental kitab suci tersebut?
Karena saya percaya bahwa setiap agama pada dasarnya suci dan mengajarkan kebaikan. Ya, Anda boleh menganggap saya sebagai penganut monisme (kalau tidak salah istilahnya itu), saya tidak peduli. Saya memang bukan seorang konservatif Muslim yang menutup diri dari dunia luar. Bukankah seorang pemuka agama dari Inggris pernah berkata, bahwa seorang penganut agama yang baik adalah mereka yang mampu mengkritisi agamanya dan mendapatkan nilai-nilai moral dari tindakan mereka tersebut.

(Kira-kira begitu cara pandang saya, walaupun sejujurnya hal tersebut tidak menjabarkan secara baik tentang kompleksnya perspektif beragama saya. Mengenai debatnya, saya tangguhkan. Sekarang bukan saatnya.)

***

Yang pasti, saya kemudian membaca bagian mengenai risalah Dr. Don W. King (siapa dia? Saya juga tidak tahu). King berpendapat bahwa sesungguhnya kisah-kisah Narnia merepresentasikan ketujuh Dosa Maut tersebut; maksudnya beberapa tindakan negatif karakternya. Pendapat King seperti ini:
  1. The Lion, the Witch, and the Wardrobe merepresentasikan gula, di mana Edmund Pevensie terjerat kerakusannya atas Turkish Delight.
  2. Magician Nephew merepresentasikan ira, di mana Digory Kirke dan Polly Plummer mengamati efek negatif dari kemurkaan Jadis, sang calon Penyihir Putih.
  3. The Horse and His Boy merepresentasikan superbia. Aravis, Bree, serta Rabadash memperlihatkan bagaimana mereka mengagungkan harga diri masing-masing--dengan kata lain, bertindak sombong.
  4. Prince Caspian merepresentasikan luxuria. Raja Miraz yang lalim menunjukkan "hawa nafsu" akan "kekuasaan, kekayaan, dan posisi".
  5. Voyage of Dawn Treader merepresentasikan avaritia, di mana Eustace Scrubb menjadi serakah saat melihat harta karun dan akibatnya berubah menjadi naga.
  6. The Silver Chair merepresentasikan acedia, di mana Jill Pole karena terbuai oleh kebaikan palsu para Raksasa menjadi lupa pesan Aslan untuk mengingat-ingat perkataannya.
  7. Dan akhirnya, The Last Battle merepresentasikan invidia. Shift, sang kera kafir, dalam kecemburuan berusaha mendongkel posisi Aslan sebagai pujaan Narnia dan bahkan mempersekutukannya bersama Tash.
Di sinilah hal yang membuat saya syok.

Aduh, bagaimana tidak? Tokoh invidia di The Last Battle adalah sang kera Shift, yang menyebarkan kebohongan di Narnia. Dialah yang membuat makhluk Narnia melupakan Aslan, membuat Narnia harus dilanda Akhir. Dr King berpendapat bahwa Shift adalah sosok Antikristus dalam Kristen; dan itu berarti, seorang Dajjal dalam Islam.
Mungkin para pembaca bingung, apa relevansinya?

Dan inilah relevansinya.

Saya sudah terlalu sering merasa cemburu. Saya benci bila saya dipandang beberapa orang lebih rendah daripada orang-orang lain yang saya benci--dan yang membenci saya pula. Karena hal itu membuat saya terlihat lebih bodoh di mata mereka. Saya tahu itu tidak baik; bahwa sepatutnya saya bangga atas diri saya sendiri.
Tapi saya tidak dapat menghilangkan perasaan bahwa mereka memandang saya dengan konotasi negatif. Mengapa? Selama enam tahun di SD, saya sama sekali tenggelam; saya tidak dapat bersinar dan berbicara kepada dunia.

***

SD saya adalah sebuah sekolah dasar yang tidak terkenal. Mungkin pada awalnya ya, tapi akhirnya tidak, tepat pada tahun-tahun terakhir saya di sana. Saya membenci fakta ini karena suatu hal: setiap kali saya atau teman-teman mengikuti suatu lomba antar sekolah, orang-orang akan memandang rendah kami.

"SD Keputran 1?" pandangan mereka selalu berkata. "SD mana itu? Nggak terkenal. Pasti SD melarat, nggak elit. Lihat aja anak-anaknya. Iiih!"

Saya dapat membalas mata-mata seperti itu dengan lidah saya. Sejak saya kecil, lidah adalah senjata saya yang selalu diasah dengan penuh perhatian; itulah pertahanan dan alat serang saya yang paling ampuh. Saya bukan orang yang bisa dengan mudah dijatuhkan; justru, saya gampang sekali menjatuhkan orang.
Tapi teman-teman saya tidak. Dan itu menghancurkan hati saya, melihat betapa mereka dengan mudahnya terpancing oleh pandagan tersebut: menjadi marah, benci... dan terutama minder. Mereka kalah sebelum bertanding! Saya sungguh iba kepada mereka, tapi sebisa apapun saya berusaha membesarkan hati, saya tidak sanggup.

Karena jauh di dalam hati, saya juga terluka.

Terluka sekali. Kami semua mempunyai bakat; kami semua mengagumkan. Kami semua adalah bintang-bintang yang baru terlahir dan hendak menyinarkan cahayanya kepada dunia. Namun orang-orang sinis itu memadamkannya. Menenggelamkan kami dalam keterpurukan... Rasa sakit hati yang muncul begitu menyiksa saya hingga sekarang, tertoreh begitu dalam di ingatan saya.

***

Dan sekarang, saat saya SMP, saya mengubah diri saya.
Saya bertekad untuk bersinar dan tidak terkalahkan. Saya mengakuinya; dan memang, sekarang saya berusaha untuk menekan ambisi saya yang sungguh arogan tersebut. Namun tetap saja, setiap orang yang mengenal saya akan tahu bahwa saya tetap seorang pencemburu. Terutama saat saya dilecehkan seperti itu.

Saya tidak memungkiri satu hal pun.

Dan meski saya sekarang selalu berusaha menahan rasa cemburu yang begitu mematikan tersebut, tidak mudah untuk mencabut kembali taring ular. Sulit bagi saya untuk tidak merasa marah bila saya dianggap lebih rendah dari orang yang bahkan tidak lebih baik dari saya. Memang, ini menyangkut perspektif orang, tapi hal itu kadang-kadang susah saya terima.

Maka dari itu, betapa kuis di Facebook tersebut telah sangat menyadarkan saya.
Saya menyadari dengan betul, akhirnya, betapa kecemburuan telah menjadi diri saya sepenuhnya. Ya, kecemburuan itu memang tidak terlihat; yang terlihat adalah saya sebagai sosok yang berharga diri tinggi, tajam, dan kuat. Sosok yang susah dikalahkan. Tapi ada efek buruk dari itu semua: saya menjadi dingin, terkesan mengintimidasi, dan angkuh.
Akan lebih ringan bila orang lain yang memberi saya tangkapan atas kesan tersebut; tapi bila itu sahabat-sahabat kita sendiri, berbeda halnya. Saya telah banyak menyakiti mereka, dan kehilangan beberapa di antaranya, meskipun kadang-kadang bukan sepenuhnya salah saya dan itu adalah sebuah pilihan yang sangat melegakan. Tapi kadang-kadang saya merasa hancur karenanya; melihat teman-teman saya sendiri bersikap hati-hati di depan saya, sekaligus mempergunjingkan arogansi saya di belakang.
Tidak sepenuhnya saya tidak bahagia karenanya. Saya sungguh menghargai beberapa efeknya, seperti bahwa kadang-kadang mereka lebih menghormati dan memperhatikan perkataan saya. Namun mudharat-nya lebih besar. Saya menjadi sosok yang dihormati sekaligus dibenci.

Paus Gregorius benar; kecemburuan itu mematikan;
Membunuh tepat seperti ular dalam selimut.

***

Ini, barangkali, adalah sebuah penelaahan dari post saya sebelumnya.

Saya menyadari dengan sepenuh hati bahwa saya bersalah lebih besar dalam Insiden Penyiraman Massal tersebut. Dan bahwa ternyata, kesalahan saya itu diakibatkan hal yang lebih kompleks, menyangkut berbagai aspek dalam diri saya. Saya tidak perlu menceritakan lebih lanjut akibat yang diakibatkan oleh sang invidia; sudah tertulis jelas di mana-mana.
Jadi, tolong perhatikan:

Kepada mereka yang telah saya sakiti, saya sungguh meminta maaf sebesar-besarnya. Apa yang sudah tertulis di sini adalah pengakuan saya; saya memohon pengertian Anda. Tidak ada lagi memori dan kata-kata yang bisa saya kuras dari masa lalu dan luka-luka jiwa saya. Tidak ada lagi.
Sungguh, Sahabat-sahabatku, aku menyayangi kalian. Lebih dari apapun; karena kalian bisa memahami seorang aku yang kompleks, rumit, temperamental, moody, arogan, dan hina ini. Tidak ada yang lebih berharga dari pengertian dan kasih sayang kalian yang tumpah ruah bagiku.
Mulai saat ini, aku akan berusaha untuk menjadi lebih baik. Mungkin aku tidak akan selamanya sembuh dari bisa-bisa invidia; aku yakin tidak akan pernah. Namun aku akan mencoba untuk mengobatinya, tetap. Aku akan mencoba untuk menghilangkan racunnya hingga sesedikit mungkin, hingga tidak ada orang lain yang bisa tersakiti olehku.
Aku akan mencoba, aku akan mencoba!
Dan bagi yang lain... pahamilah kisah ini. Betapa Paus Gregorius telah memperingatkan kita dengan panduannya yang bijaksana dan sangat universal ini. Sekecil apapun saligia yang muncul dalam hati kita, itu bisa merusak. Sebagai manusia, kita tidak akan dapat menjauhinya. Tapi kita dapat meminimalisirnya; dan itulah yang harus kita lakukan.

***

Apa yang tertulis dalam post Persahabatan adalah lebih kepada sebuah ungkapan kasih sayang. Itu betul. Juga rasa syukur.

Namun apa yang aku tulis di sini adalah sebuah apologi yang sangat, sangat dalam. Juga sebuah usaha untuk berubah. Dan aku meminta kelapangan hati kalian, O Yang Pernah Tersakiti, serta kedalaman samudera maaf kalian. Aku berjanji aku akan berubah. Aku tidak mau invidia menggigitku lagi dan meracuni hatiku.

Dan akhirnya, tidak ada lagi yang bisa aku katakan. Terima kasih atas perhatian yang kalian berikan, serta maaf yang mungkin-atau-tidak-mungkin kalian hadiahkan. Hanya ada satu penutup yang bisa aku tambahkan, walau ini adalah sebuah penutup yang payah dan tidak bermutu:

Semoga apapun yang terjadi pada kita, kita semua bisa terlindungi dari racun Ketujuh Dosa Maut.

Thursday, May 7, 2009

Persahabatan

Jujur, sebenarnya cerita ini tidak sedalam judulnya. Malah, cerita ini akan konyol sekali. Hal ini terjadi pada hari Selasa, 5 Mei 2009, kemarin. Saya dikerjain oleh dua teman saya yang merupakan spesies manusia paling unik, antik, dan ajaib dalam peradaban manusia--Ratih dan Fitri! Dikerjain habis-habisan. Dikerjain. Habis-habisan. Kalau perlu harus ditebalkan sekalian: Dikerjain. Habis-habisan.
Tapi mari kita mundur dahulu ke hari Jumat tanggal 24 April 2009 untuk memperjelas ceritanya...

***

Hari itu kami sedang girang-girangnya. Mengingat minggu depannya kami semua akan libur panjang. Kakak kelas akan mengikuti Ujian Nasional selama sekitar empat hari; dan hari itu jam pelajaran dikorting sepuluh menit karena akan ada doa bersama para calon peserta Ujian tersebut (kalau tidak salah), sehingga kami pulang sekitar pukul 10.30.
Jam terakhir, Matematika. Pak Raphael tidak masuk kelas pada saat itu. Biasalah, Ki Gendeng Krismanto memang kadang-kadang (atau seringkah?) membolos--kenakalan sekolahnya rupanya tidak sembuh-sembuh dan kumat secara berkala. Dan suatu keberuntungan bagi kami karena lepas dari penjelasan mengenai rumus-rumus matematika (yang sebenarnya brilian, tapi sayangnya tidak masuk ke otak pas-pasan saya ini) dan bau tembakau (sumpah deh, baunya rokok banget. Parfum aja ada citabau tembakaunya. Rasanya kaya berhadapan dengan petani tembakau, atau juragan tembakau, atau justru mesin pengolah tembakaunya).
Dan seperti biasa, kami semua bertingkah gila. Ada yang keluar kelas, ada yang sepakbola di dalam kelas, ada yang ngutak-atik komputer, ada yang ngerumpi... (Jelas, saya masuk yang bagian terakhir itu).
Tapi kemudian saya mendengar ribut-ribut di luar. Penasaran, saya berjalan menghampiri jendela, dan membukanya. Segera seraut tangan muncul dengan Teh Botol Sosro versi kotak yang sudah peyot dan habis tergenggam di tangan. Masih ada isinya sedikit, terbukti dari tehnya yang menetes-netes menjijikkan lewat sedotan.
Tahu apa yang kemudian apa yang kemudian terjadi?
Tangan itu melemparkan kotak minuman itu ke wajahku.

Ke wajahku.
Kotak minumannya.
Dengan sisa teh yang menetes-netes.
Dilempar.
Ke wajahku.
Sampai airnya muncrat ke wajah.
MENETES-NETES.
KE WAJAHKU.
KE WAJAHKU!!!

Orang yang kenal baik dengan saya tentu saja mengerti apa yang akan seorang Muhammad Akib Aryo Utomo lakukan. Dengan wajah syok dan murka serta mulut ternganga, saya ambil kotak minuman itu dan melongok keluar jendela. Seraut wajah hitam yang sudah sangat saya kenal tampak menatap saya dengan sorot mata sama terkejutnya.
Itu wajah Fitri.
Langsung saja saya lari--dan dia juga lari. Bedanya saya lari sambil menjerit marah, Fitri lari sambil menjerit ngeri (atau justru geli? Sialan). Juga saya mengambil botol Aquaria sementara Fitri dengan tangan kosong. Bukan cuma marah; kalau di Bahasa Inggris bukan cuma angry, tapi sudah sampai furious. Dan di lapangan saya menemukan mereka: Fitri, Ratih, dan Merlyn, semuanya ternganga ngeri (atau, sekali lagi, geli?) menghadapi saya yang marah.
Lalu saya berlari sambil mengejar Fitri.
Fitri menjerit-jerit, dan saya terus mengejar. Saya buka botol Aquaria, dan sedetik kemudian melomparlah air dari dalam botol itu dalam koreografi cantik bertaburan sinar matahari, langsung ke arah Fitri. Dalam sekejap ia pun basah--dan dalam kebasahan, berdusta, "Ratih kok yang nyuruh!"
Bukan salah saya kalau kemudian saya balik menyerang Ratih. Tahu apa saya mengenai Konspirasi Menyerang-Akib-dengan-Kotak-Minuman-Bekas-yang-Masih-Basah? Tahu apa saya mengenai siapa dalangnya dan siapa yang menjadi pelaksananya? Saya kan hanya korban? Dan tahu apa saya kalau Ratih ternyata korban lidah-dustanya Fitri?
Maka... yah, saya menyerang Ratih. Sekali lagi air menari di udara dengan cantiknya, kali ini membasuh Ratih dengan kesegarannya. Tapi korban tidak berdosa ini akhirnya menuntut demi atraksi menakjubkan yang saya persembahkan baginya.
"Kok aku yang disiram?" serunya, menjerit-jerit dalam histeria. "Kan Fitri sama Merlyn yang punya ide! Aku 'kan tidak berdosa, sama sekali putih seperti bagian putihnya lincung ayam!"
Merlyn, mendengar hal ini, segera berlari.
Mungkin kalian sudah bosan, tapi ya, air menari kembali ke arah Merlyn. Gadis itu (ya kalau dia ternyata emang cewek) dengan suara a la puteri-puteri Taman Lawang saat dikejar-kejar Satpol PP sewaktu razia. Namun dari belakang seseorang menyiram saya--Fitri.

Menyerang balik sebuah pembalasan berarti satu: PERANG!

Saya siram balik gadis itu dengan air yang tersisa dalam botol Aquaria saya. Tapi ia kemudian balas menyerang, begitupun Merlyn. Terjadilah pergulatan sesaat yang tidak enak dilihat, dan akhirnya sumber air minum berhasil saya raih...
...yang ternyata botol air minum Ratih.
Tapi Fitri terus berusaha merebut. Saya pun segera kabur pergi, dengan tiga orang itu mengejar di belakang saya: Fitri, masih berusaha mengambil botol air minum ratih demi menyiram saya; Ratih, berusaha merebut botol air minumnya, dengan suara menyayat daging ayam potong menjerit, "Minumku..."; dan Merlyn, entah untuk apa, mungkin cuma buat ikut-ikutan doang.
Di depan Ruang Guru saya berhenti. Tepatnya, di depan kolam ikan di depan Ruang Guru. Saya berdiri di sampingnya dengan botol berada tepat di atas permukaan airnya. Saya tinggal melemaskan jari dan... plung, botol minum itu akan mengambang di atasnya, menjadi teman baru bagi ikan-ikan koi dan ikan mas yang ada di dalamnya.

"Kalian mulai lagi," ancamku, "tak lempar ini botol ke kolam."
"Jangan," rengek Ratih. "Jangan lempar botol minumku... Itu satu-satunya temanku, setelah headsetku tercinta raib ditelan bumi..."
"Akib, jij* jangan kayak gitu! Ik--maksud ik, akika--mau jij kembaliin botol minumnya Ratih! Jij mengerti?" perintah Merlyn dengan angkuhnya.
"Aku tak bisa hidup tanpa botol minumku..."
"TERSERAH!" teriakku. "Pokoknya bilang dulu siapa yang mu--"
Slat. Fitri berusaha mengambilnya. Langkah yang salah.
"BERHENTI!" jeritku. "Berhenti! Ratih juga jangan mewek mulu, mukamu yang udah benyek jadi tambah mblenyek tahu! Pokoknya Fitri sama Merlyn minta maaf dulu, baru botol minummu aku kembaliin!"

Tapi Fitri terus berusaha merebut. Tidak ada jalan keluar--salah. Ada jalan keluar.
Jadi saya keluar lewat itu jalan keluar.
Well, Fitri terus berusaha mengejar. Begitu pula Ratih dan Merlyn. Saya berusaha menghindar--tapi Fitri terus bertindak anarkis. Mencakar-cakar dan menjegal, seperti pasien Pakem ikut jadi demonstran menolak-kenaikan-harga-sembako. Seandainya saja saya polisi, lengkap dengan gas air mata, tentu sudah saya semprotkan--tapi itu masalahnya, saya tidak punya gas air mata. Tapi... ah, tak ada rotan, kayu jati pun jadi kursi. Maka saya siramkan air dalam botol air minumnya Ratih.

(Backsound: "TIDAAAK...!!!" jerit Ratih seraya jatuh berlutut.)

Tapi... bubur sudah menjadi nasi (???).
Basah kuyuplah Fitri. Benar-benar basah. Tapi, seperti seorang pejuang, dengan berani Fitri berlari maju. Kali ini Merlyn ikut. Jadi saya siram lagi.

("OH, MINUMKU...!!!")

Habis sudah minumnya, dan basah kuyuplah mereka.
Kami semua berdiri dalam baju yang sangat basah, menatap satu sama lain dengan pandangan yang berbeda. Fitri terperangah, tidak jelas antara geli atau entah-apa; Merlyn tampak marah dengan geje seperti biasanya; Ratih hampir pingsan; saya masih murka, mungkin wajah saya pada saat itu sudah berubah menjadi wajah topeng monyet--maksud saya, topeng leak.
Yang terjadi sesudahnya tidak perlu diceritakan dengan detil. Saya kembalikan botol minum Ratih yang kini kosong sementara dia tersedu-sedan. Fitri dan Merlyn mencak-mencak dan mengomel-omel; saya balas dengan marah-marah dan bentak-bentak. Kami semua muntab pokoknya. Tapi kemudian kami berpisah satu sama lain, karena saya dikejar waktu untuk pertemuan MPK, dan Fitri-Ratih-Melryn untuk entah-apa. Pokoknya kami berpisah.
Saya kira segala masalah akan diselesaikan waktu seperti biasanya.
Tapi kemudian saya sadar bahwa saya salah.

***

Empat hari liburan, ditambah satu hari Minggu, berlalu sudah. Saya dan Merlyn pergi ke Bandung (ceritanya nanti). Hari Jumat, Merlyn sudah masuk--saya tidak. Pencernaan saya tampaknya belum sepenuhnya pulih dari shock teraphy selama di Bandung (sekali lagi, ceritanya nanti). Akibatnya, saya mendapatkan infeksi di pencernaan, entah di organ yang mana. Yang pasti saya kemudian tidak masuk dua hari.
Hari Senin saya kembali.
Tidak banyak yang bisa diceritakan. Teman-teman menagih oleh-oleh dan cerita. Saya hanya bawa cerita karena oleh-olehnya ketinggalan di rumah. Kemudian orangtua saya tiba dan, secara mengejutkan, membawa oleh-oleh yang ketinggalan. Pulang sekolah oleh-oleh langsung ludes. Dan saya pulang.
Tidak ada yang istimewa, jujur. Kecuali bahwa saya merasa hari saya sepi...
...dan bahwa Ratih serta Fitri diam saja, tidak banyak merespon pertanyaan saya. Saya pikir itu hanya karena saya baru pulang liburan... hingga besoknya saya sadar, mereka masih diam. Dan Fitri bertambah temperamental setiap kali ada saya.
Aneh sekali. Dalam hati saya bertanya, apakah obat kedua teman saya habis? Jadi mereka kumat? Perlukah saya memesan obat pada psikiater RSJ Pakem untuk menyembuhkan mereka?
Mereka tetap diam.
Saya sudah tidak tahan. Saya tidak tahu mengapa mereka tahu-tahu diam begitu, dan ini sungguh sangat tidak enak. Jujur, saya kadang-kadang merasa hanya merekalah yang bisa menerima saya apa adanya. Hanya dengan mereka saya bisa nyambung, bisa bertingkah gila...
...hanya dengan mereka saya bisa merasakan sebuah persahabatan.
Maka saya pun bertanya dengan mereka, ada apa?

"Kamu inget hari Jumat dua minggu yang lalu, sebelum kamu pergi ke Bandung?" sembur mereka bersamaan.
Hmm? Emang ada apa?
"Inget-inget lagi dong! Kamu ngapain kita sampai basah kuyup kaya tongkol di laut!" sembur mereka lagi, lebih tidak sabar.
Tongkol? Perasaan di Bandung aku nggak ke pasar ikan...
"PUTAR TUH OTAAAK!!!" jerit mereka frustrasi.
Basah kuyup...
Dan semua ingatan itu kembali: kotak Teh Botol yang masih basah, botol aquaria, tarian air, botol Tupperware-nya Ratih...
Oh.
"Pasti yang waktu kita basah-basahan itu, ya?" jawab saya, setengah bangga dan geli. Kesalahan terbesar saya.
Setelah itu mulailah mereka muntab pada saya, berkeluh kesah betapa kurangajarnya saya karena telah menyiram mereka dengan air. Merlyn tidak ikut-ikut--monyongnya sudah saya gembok di Bandung. Kemudian mereka sibuk mengancam saya dengan berbagai bayangan mengerikan tentang hukuman yang harus saya jalani.
Jujur, lama kelamaan saya sendiri marah. Saya bisa menerima kemarahan besar Ratih karena air minumnya dihabiskan untuk hal-hal yang mubazir. Tapi, Fitri? Bagaimana bisa dia lebih marah daripada Ratih? HALO?! Kalau boleh saya bertanya, SIAPA YANG MELEMPAR SAYA DENGAN KOTAK MINUMAN DULUAN? SIAPA YANG MENYIRAM BALIK SAYA DENGAN AIR MINUM? SIAPA, SIAPA?! Di sinilah saya benar-benar sakit hati sama Fitri. Apa dia tidak tahu, betapa sakit hatinya saya? Bahwa dia bahkan tidak minta maaf? Bahwa saya sudah memaafkan dia karena lemparan kotak minumnya, bahkan melupakannya secara penuh? Tapi bagaimana bisa dia menghakimi saya lebih parah daripada orang yang berhak murka kepada saya?
Tapi saya hanya diam. Saya tidak ingin memperburuk keadaan, bahkan jika batin saya terus meronta meminta secuil pengertian dari Fitri. Untung Ipeh terus memberi guyonan segar untuk saya, sehingga saya bisa merasa lebih baik.
Sisa hari itu dihabiskan dengan saya minta maaf kepada mereka dan mereka diam kepada saya. Saya akhirnya menyerah. Mereka boleh marah kepada saya, saya tidak akan menolak. Jika itu satu-satunya hal yang harus saya lakukan agar pertemanan--atau bagi saya, persahabatan--kami tidak runtuh, saya menerimanya dengan lapang dada.
Kemudian datang SMS dari Ratih. Isinya:

Lari keliling sekolah dua kali waktu pulang sekolah.

Waits.
Aku tahu mereka marah dengan saya, dan mereka berhak menjatuhkan hukuman, tapi LARI KELILING SEKOLAH?! DUA KALI?! DAN WAKTU PULANG SEKOLAH??!! Apakah itu bukan kejam namanya? Di tengah siang bolong yang panas, lari-lari keliling sekolah pakai baju seragam lengkap, dan dilihat orang banyak?
Saya jelas lebih memilih proposal pengampunan yang saya ajukan di mana mereka harus datang ke rumahku dan saya masakkan pancake.
Tapi saya harus menerima hukuman saya.
Dan begitulah. Pukul 12.30, bel pulang sekolah berbunyi. Sementara Ratih dan Fitri serta anak-anak cewek lainnya menonton film Camp Rock, saya menyelesaikan urusan-urusan saya dahulu. Kemudian saya menyentil mereka... dan dengan girangnya mereka mengiringi saya keluar gerbang sekolah. Mereka tertawa-tawa, sementara Fitri melompat-lompat bahagia... dan saya?
Persis seperti narapidana hendak dibawa ke guillotine.
Dan di depan gerbang, PRIIT!!!
Mulailah saya berlari.
Segalanya tepat seperti yang sudah saya tebak. Orang-orang memperhatikan saya saat saya berlari--dan, masya Allah; benar-benar ada banyak orang-orang. Kerumunan di depan gerbang sekolah; kerumunan di shelter bus Transjogja; grup siswa yang berjalan menuju parkir motor mereka di DKT; kerumunan pengendara yang lalu lalang di jalan raya; dan tentu saja, yang paling parah, kerumunan penikmat mie ayam dan soto di belakang sekolah yang bukan saja murid SMP 5, namun juga orang-orang lain yang datang untuk makan!
Pada saat putaran pertama mereka tampaknya biasa-biasa saja. Mungkin mereka mengira saya sedang mengejar seseorang. Kemudian, saat saya kembali ke titik temu dengan Fitri dan Ratih, orang-orang tampaknya mulai bertanya-tanya saat mereka tertawa dan saya mengomel. (Sialan banget nggak sih. Sementara saya merana, Fitri dan Ratih itu justru beli es camcau yang manis dan segar itu sambil duduk-duduk! Murka saya jadinya!)
Tapi sewaktu putaran kedua... Sungguh, orang-orang mulai memperhatikan saya. Pandangan mata mereka seakan berkata, "Ini anak ngapain sih, lari-lari dua kali siang bolong begini? Saraph apa ya?" atau "Ih, kurang kerjaan banget! Lari kok siang-siang," atau justru "Ada pasien RSJ kabur nih."
Hampir-hampir saya tewas dua kali: tewas kecapekan dan tewas karena malu.
Tapi akhirnya putaran kedua mencapai akhir... Dan saya segera berlari sekuat tenaga ke arah Fitri dan Ratih yang duduk bersila di tempat tongkrongan anak kelas Bhe, di telepon umum. Mereka tertawa-tawa bahagia, lepas sekali, sementara es cam cau di tangan mereka berguncang-guncang. Sementara saya, ngos-ngosan habis, lapar luar biasa dan haus tak terkira. Dan mereka hanya tertawa. Tertawa.
Kami kembali ke kelas. Saya masih kehabisan napas. Sementara teman-teman saling pandang bingung, saya masuk dan mengambil tas. Di luar kelas, Fitri dan Ratih--dengan sangat bangganya--mendeklarasikan kemenangan mereka atas saya kepada teman-teman, yang segera saja bergabung dengan mereka dalam koor tawa serta godaan. Mereka menyoraki saya, menertawakan saya; sementara saya hanya bisa terkulai lemas di lantai. Pokoknya lemas. Sampai nyaris tidak bisa jalan.
Dan terutama...
MALU ABISS!!!

***

Begitulah kisah saya saat saya dikerjain kedua teman saya habis-habisan. Wah, pokoknya tidak terbayang deh, rasanya campur-campur jadi satu. Antara marah, geli, malu... Pokoknya benar-benar seperti gado-gado. Atau justru salad. Yang pasti segalanya bercampur jadi satu.


Tapi, Fitri, Ratih, aku sama sekali nggak marah sama kalian. Nggak sama sekali. Semua ini aku lakuin karena aku sayaaang banget sama kalian: Fitri, Ratih, Ipeh, bahkan Merlyn juga. Aku tahu kadang-kadang ada perbedaan di antara kita, tapi kalian semua harus mengerti bahwa seharusnya kita bisa menerima perbedaan satu sama lain. Aku juga tahu ada beberapa di antara kalian yang tidak bisa menerima satu sama lain sebagai sahabat; tapi kalian perlu tahu, bahwa aku sayaang sama kalian semua. Aku nggak bisa pilih kasih sama kalian.
Aku tahu bagi kalian, aku mungkin bukanlah seorang sahabat. Aku memiliki banyak kekurangan. Aku kadang-kadang lebay banget dan lidahku terlalu tajam; tapi kalian perlu tahu, aku nggak pernah ingin menyakiti kalian. Aku minta maaf bila aku pernah punya salah. Ini benar-benar tulus dari hatiku yang paling dalam, walau klise banget, memang. Oh, demi Allah, aku benar-benar sayaaaaaaaaaang sama kalian. Kalian bisa menerima aku apa adanya, memberi aku support, dan tempat aku bisa gila-gilaan bareng. (Oke. Mungkin aku doang yang gila menurut kalian. Whatever.)
Dan, kalian perlu tahu, apapun kekurangan kalian aku akan tetap sayang sama kalian. Karena meskipun mungkin kalian tidak pernah menganggapku seorang sahabat, aku akan selalu menganggap kalian sahabatku.
Dan itu cukup bagiku.


Dan itu adalah alasan mengapa post ini diberi judul 'Persahabatan': karena bagiku, post ini adalah sebuah memento atas persahabatan kita.





____________________________________________________________________
*Bahasa Belanda. Ik (dibaca 'eik') berarti 'saya'. Jij (dibaca 'yey') berarti 'kamu'. Biasa dipakai Merlyn dan pengikutnya di Taman Lawang. Kadang-kadang Ik dibaca Eke, kadang-kadang justru diplesetin jadi Akika.