Wednesday, May 13, 2009

Invidia

Sungguh saya baru saja mengalami guncangan besar.

Baru-baru saja saja saya mengikuti sebuah kuis di situs jejaring sosial Facebook. Judulnya benar-benar mantap: "Which of the Seven Deadly Sins Are You?" yang bila di-Bahasa Indonesia-kan artinya kurang lebih, "Dari Tujuh Dosa Maut, yang Manakah Dirimu?"

Ini memerlukan penjelasan tentu, terutama bagi yang beragama Islam. Seven Deadly Sins atau Tujuh Dosa Maut merupakan rumusan mengenai dosa-dosa paling mematikan bagi manusia, dalam lingkup literatur Kristiani. Konsep mengenai Tujuh Dosa Maut ini pertama kali diungkapkan oleh St. Gregorius I (540-604), seorang paus. Tujuan dari rumusan dosa-dosa ini adalah untuk memberikan pengajaran mengenai sifat-sifat dan tindakan tentang tindakan-tindakan imoral manusia, yang dapat membuat dosa.
Rumusan Paus Gregorius I ini dikenal sebagai Saligia, inisial dari ketujuh dosa tersebut. Ketujuhnya, sesuai urutan, adalah:
  1. Superbia, atau Kesombongan;
  2. Avaritia, atau Ketamakan;
  3. Luxuria, atau Hawa Nafsu;
  4. Invidia, atau Kecemburuan;
  5. Gula, atau Kerakusan;
  6. Ira, atau Amarah; dan
  7. Acedia, atau Kemalasan.
Mengenai acedia, awalnya pada rumusan Paus Gregorius I dosa tersebut tidak ada. Sebagai gantinya, pada rumusan awal yang ada adalah accidie, yang berarti keputusasaan atau kesedihan yang melumpuhkan.

Nah, sudah tahu 'kan betapa kerennya kuis tersebut? Oleh karena itulah saya mengikutinya... dan tidak menyangka bahwa hasil yang saya dapatkan sungguh mencengangkan.

Because the application said that... my deadliest sin is envy.

Segera saya mengecek kamus, mendapati bahwa envy berarti kecemburuan; atau invidia. Saya lalu mengecek dua buku saya lagi. Keduanya adalah Let's Go Into Narnia karya Arie Saptaji dan The Magical Worlds of Narnia karya David Colbert. Ya, keduanya adalah buku yang menelaah mahakarya Clive Staples Lewis, The Chronicles of Narnia.

Pertanyaannya, mengapa saya membuka kedua buku itu? Karena siapapun yang pernah menelaah Narnia pasti menyadari betapa buku tersebut sarat dengan nilai-nilai Kristiani. Memang, buku itu bukankah sebuah alegori; buku itu adalah sebuah novel anak-anak biasa, penuh dengan fantasi jenius sang pengarang sejati Inggris. Namun, mengingat kereligiusan C.S. Lewis, tidak dapat dipungkiri bahwa novel itu juga mengandung beberapa pembelajaran Kristen.

Mungkin Anda jadi bingung mengenai agama saya. Maka, saya tegaskan: saya seorang Muslim. Lalu mungkin Anda bertanya, kok Anda malah membaca novel sarat Kristen, kalau begitu, atau justru menelaah materi-materi Kristiani?
Jadi saya balik bertanya: memang kenapa? Apakah karena saya seorang Muslim, saya tidak boleh membaca Alkitab dan mempelajari nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya? Dan seorang Kristiani tidak boleh membaca Al-Qur'an serta mengadopsi nilai-nilai moral lain yang juga menjadi dasar fundamental kitab suci tersebut?
Karena saya percaya bahwa setiap agama pada dasarnya suci dan mengajarkan kebaikan. Ya, Anda boleh menganggap saya sebagai penganut monisme (kalau tidak salah istilahnya itu), saya tidak peduli. Saya memang bukan seorang konservatif Muslim yang menutup diri dari dunia luar. Bukankah seorang pemuka agama dari Inggris pernah berkata, bahwa seorang penganut agama yang baik adalah mereka yang mampu mengkritisi agamanya dan mendapatkan nilai-nilai moral dari tindakan mereka tersebut.

(Kira-kira begitu cara pandang saya, walaupun sejujurnya hal tersebut tidak menjabarkan secara baik tentang kompleksnya perspektif beragama saya. Mengenai debatnya, saya tangguhkan. Sekarang bukan saatnya.)

***

Yang pasti, saya kemudian membaca bagian mengenai risalah Dr. Don W. King (siapa dia? Saya juga tidak tahu). King berpendapat bahwa sesungguhnya kisah-kisah Narnia merepresentasikan ketujuh Dosa Maut tersebut; maksudnya beberapa tindakan negatif karakternya. Pendapat King seperti ini:
  1. The Lion, the Witch, and the Wardrobe merepresentasikan gula, di mana Edmund Pevensie terjerat kerakusannya atas Turkish Delight.
  2. Magician Nephew merepresentasikan ira, di mana Digory Kirke dan Polly Plummer mengamati efek negatif dari kemurkaan Jadis, sang calon Penyihir Putih.
  3. The Horse and His Boy merepresentasikan superbia. Aravis, Bree, serta Rabadash memperlihatkan bagaimana mereka mengagungkan harga diri masing-masing--dengan kata lain, bertindak sombong.
  4. Prince Caspian merepresentasikan luxuria. Raja Miraz yang lalim menunjukkan "hawa nafsu" akan "kekuasaan, kekayaan, dan posisi".
  5. Voyage of Dawn Treader merepresentasikan avaritia, di mana Eustace Scrubb menjadi serakah saat melihat harta karun dan akibatnya berubah menjadi naga.
  6. The Silver Chair merepresentasikan acedia, di mana Jill Pole karena terbuai oleh kebaikan palsu para Raksasa menjadi lupa pesan Aslan untuk mengingat-ingat perkataannya.
  7. Dan akhirnya, The Last Battle merepresentasikan invidia. Shift, sang kera kafir, dalam kecemburuan berusaha mendongkel posisi Aslan sebagai pujaan Narnia dan bahkan mempersekutukannya bersama Tash.
Di sinilah hal yang membuat saya syok.

Aduh, bagaimana tidak? Tokoh invidia di The Last Battle adalah sang kera Shift, yang menyebarkan kebohongan di Narnia. Dialah yang membuat makhluk Narnia melupakan Aslan, membuat Narnia harus dilanda Akhir. Dr King berpendapat bahwa Shift adalah sosok Antikristus dalam Kristen; dan itu berarti, seorang Dajjal dalam Islam.
Mungkin para pembaca bingung, apa relevansinya?

Dan inilah relevansinya.

Saya sudah terlalu sering merasa cemburu. Saya benci bila saya dipandang beberapa orang lebih rendah daripada orang-orang lain yang saya benci--dan yang membenci saya pula. Karena hal itu membuat saya terlihat lebih bodoh di mata mereka. Saya tahu itu tidak baik; bahwa sepatutnya saya bangga atas diri saya sendiri.
Tapi saya tidak dapat menghilangkan perasaan bahwa mereka memandang saya dengan konotasi negatif. Mengapa? Selama enam tahun di SD, saya sama sekali tenggelam; saya tidak dapat bersinar dan berbicara kepada dunia.

***

SD saya adalah sebuah sekolah dasar yang tidak terkenal. Mungkin pada awalnya ya, tapi akhirnya tidak, tepat pada tahun-tahun terakhir saya di sana. Saya membenci fakta ini karena suatu hal: setiap kali saya atau teman-teman mengikuti suatu lomba antar sekolah, orang-orang akan memandang rendah kami.

"SD Keputran 1?" pandangan mereka selalu berkata. "SD mana itu? Nggak terkenal. Pasti SD melarat, nggak elit. Lihat aja anak-anaknya. Iiih!"

Saya dapat membalas mata-mata seperti itu dengan lidah saya. Sejak saya kecil, lidah adalah senjata saya yang selalu diasah dengan penuh perhatian; itulah pertahanan dan alat serang saya yang paling ampuh. Saya bukan orang yang bisa dengan mudah dijatuhkan; justru, saya gampang sekali menjatuhkan orang.
Tapi teman-teman saya tidak. Dan itu menghancurkan hati saya, melihat betapa mereka dengan mudahnya terpancing oleh pandagan tersebut: menjadi marah, benci... dan terutama minder. Mereka kalah sebelum bertanding! Saya sungguh iba kepada mereka, tapi sebisa apapun saya berusaha membesarkan hati, saya tidak sanggup.

Karena jauh di dalam hati, saya juga terluka.

Terluka sekali. Kami semua mempunyai bakat; kami semua mengagumkan. Kami semua adalah bintang-bintang yang baru terlahir dan hendak menyinarkan cahayanya kepada dunia. Namun orang-orang sinis itu memadamkannya. Menenggelamkan kami dalam keterpurukan... Rasa sakit hati yang muncul begitu menyiksa saya hingga sekarang, tertoreh begitu dalam di ingatan saya.

***

Dan sekarang, saat saya SMP, saya mengubah diri saya.
Saya bertekad untuk bersinar dan tidak terkalahkan. Saya mengakuinya; dan memang, sekarang saya berusaha untuk menekan ambisi saya yang sungguh arogan tersebut. Namun tetap saja, setiap orang yang mengenal saya akan tahu bahwa saya tetap seorang pencemburu. Terutama saat saya dilecehkan seperti itu.

Saya tidak memungkiri satu hal pun.

Dan meski saya sekarang selalu berusaha menahan rasa cemburu yang begitu mematikan tersebut, tidak mudah untuk mencabut kembali taring ular. Sulit bagi saya untuk tidak merasa marah bila saya dianggap lebih rendah dari orang yang bahkan tidak lebih baik dari saya. Memang, ini menyangkut perspektif orang, tapi hal itu kadang-kadang susah saya terima.

Maka dari itu, betapa kuis di Facebook tersebut telah sangat menyadarkan saya.
Saya menyadari dengan betul, akhirnya, betapa kecemburuan telah menjadi diri saya sepenuhnya. Ya, kecemburuan itu memang tidak terlihat; yang terlihat adalah saya sebagai sosok yang berharga diri tinggi, tajam, dan kuat. Sosok yang susah dikalahkan. Tapi ada efek buruk dari itu semua: saya menjadi dingin, terkesan mengintimidasi, dan angkuh.
Akan lebih ringan bila orang lain yang memberi saya tangkapan atas kesan tersebut; tapi bila itu sahabat-sahabat kita sendiri, berbeda halnya. Saya telah banyak menyakiti mereka, dan kehilangan beberapa di antaranya, meskipun kadang-kadang bukan sepenuhnya salah saya dan itu adalah sebuah pilihan yang sangat melegakan. Tapi kadang-kadang saya merasa hancur karenanya; melihat teman-teman saya sendiri bersikap hati-hati di depan saya, sekaligus mempergunjingkan arogansi saya di belakang.
Tidak sepenuhnya saya tidak bahagia karenanya. Saya sungguh menghargai beberapa efeknya, seperti bahwa kadang-kadang mereka lebih menghormati dan memperhatikan perkataan saya. Namun mudharat-nya lebih besar. Saya menjadi sosok yang dihormati sekaligus dibenci.

Paus Gregorius benar; kecemburuan itu mematikan;
Membunuh tepat seperti ular dalam selimut.

***

Ini, barangkali, adalah sebuah penelaahan dari post saya sebelumnya.

Saya menyadari dengan sepenuh hati bahwa saya bersalah lebih besar dalam Insiden Penyiraman Massal tersebut. Dan bahwa ternyata, kesalahan saya itu diakibatkan hal yang lebih kompleks, menyangkut berbagai aspek dalam diri saya. Saya tidak perlu menceritakan lebih lanjut akibat yang diakibatkan oleh sang invidia; sudah tertulis jelas di mana-mana.
Jadi, tolong perhatikan:

Kepada mereka yang telah saya sakiti, saya sungguh meminta maaf sebesar-besarnya. Apa yang sudah tertulis di sini adalah pengakuan saya; saya memohon pengertian Anda. Tidak ada lagi memori dan kata-kata yang bisa saya kuras dari masa lalu dan luka-luka jiwa saya. Tidak ada lagi.
Sungguh, Sahabat-sahabatku, aku menyayangi kalian. Lebih dari apapun; karena kalian bisa memahami seorang aku yang kompleks, rumit, temperamental, moody, arogan, dan hina ini. Tidak ada yang lebih berharga dari pengertian dan kasih sayang kalian yang tumpah ruah bagiku.
Mulai saat ini, aku akan berusaha untuk menjadi lebih baik. Mungkin aku tidak akan selamanya sembuh dari bisa-bisa invidia; aku yakin tidak akan pernah. Namun aku akan mencoba untuk mengobatinya, tetap. Aku akan mencoba untuk menghilangkan racunnya hingga sesedikit mungkin, hingga tidak ada orang lain yang bisa tersakiti olehku.
Aku akan mencoba, aku akan mencoba!
Dan bagi yang lain... pahamilah kisah ini. Betapa Paus Gregorius telah memperingatkan kita dengan panduannya yang bijaksana dan sangat universal ini. Sekecil apapun saligia yang muncul dalam hati kita, itu bisa merusak. Sebagai manusia, kita tidak akan dapat menjauhinya. Tapi kita dapat meminimalisirnya; dan itulah yang harus kita lakukan.

***

Apa yang tertulis dalam post Persahabatan adalah lebih kepada sebuah ungkapan kasih sayang. Itu betul. Juga rasa syukur.

Namun apa yang aku tulis di sini adalah sebuah apologi yang sangat, sangat dalam. Juga sebuah usaha untuk berubah. Dan aku meminta kelapangan hati kalian, O Yang Pernah Tersakiti, serta kedalaman samudera maaf kalian. Aku berjanji aku akan berubah. Aku tidak mau invidia menggigitku lagi dan meracuni hatiku.

Dan akhirnya, tidak ada lagi yang bisa aku katakan. Terima kasih atas perhatian yang kalian berikan, serta maaf yang mungkin-atau-tidak-mungkin kalian hadiahkan. Hanya ada satu penutup yang bisa aku tambahkan, walau ini adalah sebuah penutup yang payah dan tidak bermutu:

Semoga apapun yang terjadi pada kita, kita semua bisa terlindungi dari racun Ketujuh Dosa Maut.