Tuesday, June 23, 2009

Untuk Dia, yang Merasa Dilupakan

Kawan,

Kau pernah bertanya mengapa aku tidak pernah menulismu di sini
Aku menyadari rasa sakitmu, mengira aku tidak menghargaimu
Mengira betapa dirimu telah terlupakan,
Dihinakan pula, mungkin
Seperti yang kerap dilakukan orang lain

Sayangku, itu tidak benar
Sampai kapanpun aku tidak pernah meremehkanmu
Jujur, kawan, kau adalah salah satu sahabat terbaikku
Bahkan sekarang setelah kita tak lagi bersama-sama,
aku selalu menganggapmu salah satu teman terdekatku

Kawanku,
Kau mungkin pernah bertanya mengapa kita berpisah jalan
Dulu kita berdua dan yang lain pernah berjalan bersama
Aku ingat itu, sayangku; ingat masa-masa itu
Saat kita selalu pergi ke mana-mana bersama
Saat kita selalu mengerjakan apapun bersama pula
Saat kita nyaris tak terpisahkan

Saat kita bisa mendeklarasikan diri sebagai sahabat

Lalu, mendadak, aku meninggalkan kalian
Pertanyaan besar mungkin menyergapmu, mengapa?

Kawan,
Jika kau pernah berpikir ini gara-gara dirimu, jangan
Sama sekali bukan karenamu, sayang
Justru, alasan kepergianku karena mereka

Aku tahu kau mungkin kecewa, marah pula, entahlah
Siapapun akan murka saat 'sahabat' mereka dicela, aku tahu itu
Aku merasakannya pula saat mereka menghakimimu, dan aku harus menjadi perisai
Tetapi, tolong, Kawan; dengarkan,
Ini satu-satunya jalan bagiku untuk bercerita padamu
Dan menorehkan namamu di situs ini

Kuceritakan semuanya, Sayang
Satu hal yang membuatku berpaling

Saat itu kau tak ada di sana. Hanya aku dan mereka
Kau baru saya pergi, Kawan; ada suatu urusan, aku telah lupa apa itu
Aku sendirian. Sekali lagi, hanya aku dan mereka
Kemudian mereka pergi. Mereka yang kau sebut sahabat, dan yang dulu aku sebut sahabat

Mereka hanya ingin jajan atau mendapat udara segar, sebenarnya

Dan aku hanya ingin mengikuti mereka. Aku sendirian, ingat?
Lagipula aku memanggil mereka 'sahabat'; wajar bila aku mengikuti mereka
Tetapi mereka menolakku

Sahabatku.
Menolakku
.

Aku kecewa, Kawan
Sakit hati yang tertoreh begitu dalam di sini, di dalam nurani
Tak pernah aku lupa pandangan sinis mereka; penolakan dalam kilat mata mereka
Betapa kata-kata yang mereka katakan mengusirku dengan jelas
Lalu mereka pergi. Meninggalkan aku yang hanya bisa terpaku

Kau tahu rasanya sakit hati, bukan?
Kau yang paling ahli dengan perasaan tersebut

Dan sakit hati di sini begitu dalam; aku yakin kau mengerti
Mereka bukan hanya menolakku untuk sesaat;
Mereka tidak mengutarakannya dengan lembut pula
Dengan sangat kasar dan jelas mereka menolakku

Kau tahu artinya, Kawan?

Aku hanya menjadi sahabat mereka bila ada kamu
Aku
menjadi sahabat mereka karena kamu
Tanpamu aku bukan sahabat mereka

Aku kecewa. Sangat, sangat kecewa

Kau tahu rasanya di sini, di hati, bukan, Kawan?

Aku mencoba bertahan. Jujur, aku mencoba bertahan
Aku mencoba berpegangan padamu
Tidak ingatkah dirimu saat aku bercerita padamu mengenai hal ini?
Aku bilang, "Kawan, sepertinya mereka... menolakku. Mereka hanya menganggapku sebagai alat."
Kau berkata, "Sabarlah. Mereka memang seperti itu. Cobalah menerima saja."

Aku mencoba, Kawan, sungguh!

Tapi bahkan pilar terkuat pun akan rubuh juga
Dan mereka tidak berubah. Justru, rasa sakit yang dihunjamkan makin berlebih
Semakin lama aku makin sadar, apakah aku ini di mata mereka

Aku hanyalah peliharaan mereka yang bisa dibawa ke manapun
Aku hanyalah robot pembantu pekerjaan
Aku hanyalah pajangan manis penghias grup kalian
Aku bukanlah apa-apa di mata mereka

Kau juga mengenal batas kesabaran lebih daripada aku
Aku yakin kau mengerti hal ini

Aku manusia; aku bisa merasa tidak sabar
Setiap hal mempunyai klimaks, bahkan dunia
Ingat, dunia mempunyai kiamat, klimaks dari parade kehidupannya
Dan aku mempunyai klimaks dari semua perlakuan tidak adil mereka

Itulah sebabnya kita berpisah jalan

Jangan salahkan diriku,
Jangan salahkan dirimu
Apapun yang orang-orang bilang tentang dirimu tidaklah sama dengan yang ada di mataku
Kau mungkin mendengar mereka berkata, "Akib menusukmu dari belakang, Sayang"
Tetapi itu tidak menunjukkan perspektifku tentangmu

Maafkan aku, tetapi aku tidak menulisnya di sini
Hal tersebut terlalu personal; namun aku akan gembira bila engkau menanyakannya padaku

Dan itulah sebabnya aku meninggalkanmu, Kawan
Bahkan jikalau pun kau bersikap baik terhadapku, mereka tidak
Aku tidak dihargai di mata mereka; dan aku tidak mau mereka anggap parasit
Kau tahu bisa macam apa yang bisa mereka semburkan
Bahkan sejujurnya menurutku kau sudah terperangkap, seperti aku dulu terjebak

Aku tidak bisa menahannya lagi
Maka aku harus pergi

Ya, aku pergi; mengapa? Karena seperti yang sudah kukatakan padamu, aku ingin melihat dunia
Aku ingin tahu bagaimana persahabatan orang lain
Sehingga apakah hubungan kita bisa disebut sahabat
Dan apakah hubungan yang lebih tepat disebut status ini bisa dipertahankan

Sayangku, aku tidak ingin mengecewakanmu
Tetapi kini aku sudah berada di tempat aku seharusnya berada
Aku bahagia sekarang; aku menemukan sahabat yang lebih layak disebut sahabat
Aku tahu kau tidak berbahagia atas hal ini; dan itu juga yang membuatku kecewa
Mungkin itu pula yang membuat kita berpisah jalan, karena kau sendiri tidak menyukai jalanku

Ya, aku sadar aku bisa dipersalahkan
Mungkin hal itu karena engkau kecewa karena aku meninggalkanmu
Tetapi cobalah untuk berbahagia atas kebahagiaanku sekarang
Hanya itu yang aku inginkan darimu sekarang

Berbahagialah untukku
Aku ada di jalanku sekarang
Dan kau ada di jalanmu

Aku tidak menghakimimu karena itu bukan suatu kesalahan
Maka jangan hakimi aku karena itu bukan salahku


***


Aku bisa bercerita lebih banyak, tetapi waktu mencegahku melakukannya
Sudah malam di sini, Sayang. Sudah malam; tubuhku menolak melanjutkan
Tanyakanlah padaku suatu hari nanti, dan akan kujawab semuanya
Tetapi kumohon tanyakan sendiri; jangan ajak mereka

Tetapi ingatlah, satu hal, Kawan
Bahkan meskipun kini kita sudah berpisah jalan,
Bahkan meskipun kita tak lagi memanggil yang lain sahabat,
Aku tetap menganggapmu sebagai sahabatku,
sampai kapanpun

Di sini, di dalam hatiku, kau masih sahabatku;
Teman dekat, yang dengan sedih, tak bisa kuraih


Ditulis, dengan rasa kantuk luar biasa,
serta kesedihan yang berkecamuk dalam hati,
oleh Muhammad Akib Aryo Utomo
23 Juni 2009, selesai pukul 22.34

Teruntuk sahabat baikku; sungguh aku sangat bersedih kita harus berpisah,
namun setiap orang harus menemukan jalannya sendiri. Aku yakin kau akan.
Ingat; Kau di dalam ingatanku, berbeda dengan kau di mata yang lain.
Karena kau unik. Begitupun aku.

Sunday, June 7, 2009

Tampilan Baru, Tampilan Lama; Bagus yang Mana?

Bienvenue.

Bagi para pembaca yang sudah pernah mengunjungi blog saya sebelumnya, mungkin sedikit terkejut dengan perubahan layout. Ya, saya sudah mengganti layout lama saya. Mengapa? Alasannya sederhana saja: saya ingin mencoba sesuatu yang baru. Bukan berarti saya sudah bosan dengan layout yang lama. Saya hanya ingin bereksperimen.

Pada awalnya saya mencari-cari template yang bagus dari sebuah situs template bernama BlogSkins. Ada beberapa template yang saya akui unik dan menarik. Namun, meskipun dari segi artistik memang indah, templates tersebut tidak memenuhi kriteria template blog yang saya butuhkan.

Mengapa? Hanya ada dua alasan. Pertama, dari segi lebar wadah tulisan. Bagi saya blog adalah tempat untuk menuangkan imajinasi; dan saya setuju sepenuhnya dengan apa yang dikatakan Ms Dewi Lestari dalam tulisan terbarunya, Nge-blog: Perjalanan Panjang Dengan Hati: Bahwa yang paling penting dari blog adalah isinya. Bukan tampilannya, yang sebenarnya hanyalah aksesori.
Oleh karena itu saya kecewa saat mendapati bahwa templates tersebut memberi ruang yang sangat kecil bagi tulisan. Mereka justru menonjolkan hiasan-hiasan yang remeh temeh daripada tulisan! Betapa kecewanya saya. Maka, karena saya tidak ingin mengedepankan tampilan unik dan antik, namun mengorbankan kenyamanan dalam membaca tulisan, saya pun batal menggunakan templates tersebut.

Alasan kedua, dari segi kepraktisan. Seperti yang sudah saya sebut kebanyakan tersebut menonjolkan keindahan--serta, sejujurnya, keramaian. Betapa banyak fitur-fitur dan aksesori unik dalam templates yang saya temui. Misalnya, profile harus dibuka dengan menyibak kumpulan kancing warna-warni; bahkan ada yang blognya justru disembunyikan. Apa gunanya membuat blog bila tidak untuk dibaca, coba?

Oleh karena dua alasan utama tersebut, serta mungkin beberapa alasan sampingan yang saya sendiri tidak menyadarinya, saya memilih menggunakan template resmi Blogger untuk diaplikasikan dalam blog saya. Karena seperti yang seharusnya sudah saya sadar, Blogger sangat menyadari apa guna blog; dan oleh karena itu, templates mereka lebih memperhatikan kenyamanan membaca daripada pamer aksesori.

Saya, tentu saja, tidak tahu apakah layout saya lebih bagus daripada yang lama. Oleh karena itu, pembaca lah yang seharusnya menentukan. Vote Polling saya di sebelah kanan blog untuk evaluasi saya. Saya akan sangat berterimakasih atas pendapat yang pembaca berikan. Bukankah ini semua juga demi kenyamanan Anda membaca?

PS:
Minggu depan, akan diadakan ulangan umum kenaikan kelas di sekolah saya. Oleh karena itu, dengan tulus, saya meminta doa dari pembaca, agar saya bisa mendapatkan nilai yang memuaskan, naik ke kelas 9, serta memperoleh peringkat tinggi pula di kelas dan sekolah (AMIN!).


Terima kasih atas perhatiannya, saudara dan saudari Pembaca.


-akib-

Friday, June 5, 2009

Saya Pun Membalas Dendam Lagi

Maaf karena saya memanfaatkan Blogger seperti Twitter pada saat ini, namun saya butuh cerita. Nanti akan saya kembangkan ceritanya, tetapi saya harus cerita dahulu.
Saya mohon maaf kepada kaum homoseksual yang mungkin membaca blog ini; tidak ada maksud ofensif apapun dalam tulisan ini. Saya hanya ingin menceritakan hal yang baru saja terjadi; jadi bila ada hal yang menyinggung perasaan, saya minta maaf sebesar-besarnya. Saya bukan rasis dan pribadi diskriminatif; saya menghormati hak asasi setiap manusia, baik yang heteroseksual maupun homoseksual. Jadi, sekali lagi saya minta maaf.
Well. Awalnya saya sedang login di situs jejaring sosial Facebook. Kemudian tiba-tiba sahabat saya dengan nama samaran Rafflesia, mengajak saya chat menggunakan akun kakaknya. Saya sih oke-oke saja. Seperti biasa, rumpian kami pun melantur...
Dan tiba-tiba saja dia memacokkan saya dengan seorang teman laki-laki saya alias menuduh saya hombreng. Gay.
Naudzubillahiminzalik.
Saya benar-benar marah. Sumpah, murka luar biasa. Namun saya tetap berusaha tenang, dan mengirim balasan; balik menuduh dialah yang dike atau lesbian. Kami beradu ketik seru sekali di chatbox Facebook; benar-benar seru, saling menuduh dan menghina, tanpa henti dan tanpa memperhatikan etika, dengan girangnya menyakiti yang lain.
Mendadak Rafflesia memutuskan hubungan (maksudnya offline).
Tetapi saya sudah bertekad tidak akan berhenti mengejar. Maka saya kirim sms kepada Rafflesia; dan gadis itu pun terpancing. Ia mengirim balasan lagi, cukup sadis, namun saya hanya tertawa. Karena otak saya sedang meramu rencana jahat dan saya akui, keji.
Saya katakan kepada Rafflesia, bahwa teman-teman sekelas sebetulnya sudah mengkhawatirkan dirinya sejak lama. (Pura-puranya) Kami curiga dia, Rafflesia, memang seorang lesbian, dike. Mengapa? Karena Rafflesia dan seorang sahabat saya juga, yang sama-sama aneh, Mendoan (nama samaran lagi), kerap sekali berpura-pura menjadi pasangan lesbian sehingga kami curiga bahwa Rafflesia sejujurnya memang seorang lesbian (Tentu saja ini bohong 100%. Rafflesia 100% cewek normal kok.)

Dan... gotcha. Si Rafflesia terpancing.

Ia benar-benar percaya pada tipuan saya, bahwa kami, teman-teman sekelas, benar-benar mengira dia seorang dike. Dia mengirim sms yang isinya bersumpah bahwa dia adalah gadis normal, bukan dike sama sekali. Saya terus tertawa--dan berakting.
Saya katakan kepadanya bahwa tidak perlu menutupi hal apapun. Saya sahabatnya dan akan terus begitu, apapun yang terjadi (Bahkan jika Rafflesia memang dike, saya akan tetap menjadi sahabatnya, itu benar).
Rafflesia terus terpancing. Dia mengirim satu sms lagi, berusaha meyakinkan saya bahwa itu semua dusta, bahwa dia gadis normal...

This is it.

Sudah jelas Rafflesia termakan tipuan saya, maka saya putuskan untuk menyudahi sesi malam ini. Saya kirimkan sms balasan kepadanya:
Itu semua ga serius.
Apa balasan dari Rafflesia?
S I A L A N

Di sekolah tak bacok kamu
Sungguh, malam ini, pukul 21.38, saya sedang tertawa sepuasnya, membayangkan seberapa panik Rafflesia sebelumnya. Oh, betapa saya tidak sabar menanti hari esok! Kita lihat bagaimana reaksi Rafflesia di sekolah. Tunggu kelanjutannya besok...