Tuesday, December 29, 2009

Tersesat Itu Menyenangkan: Part One

Pertama-tama, sekali lagi, saya minta maaf karena sudah lama tidak nge-blog. Pertama-tama, sekali lagi, saya minta maaf karena sudah lama tidak nge-blog. Tetapi saya mempunyai alasan. Pertama, internet rumah saya telah menjadi error sekali. Puncaknya, selama berminggu-minggu bahkan tidak ada koneksi sama sekali! Jujur, saya ingin sekali muntab pada si empunya BTS, tapi apa daya, saya merasa itu tidak adil, mengingat atas jerih payah beliaulah saya bisa nge-net gratis selama beberapa bulan pertama. Yang kedua, saya sudah kelas IX, yang itu berarti saya tidak bisa seenaknya melenggang ke warnet sembarangan. Mengingat nilai saya sering turun dengan mudahnya, penjagaan orangtua saya diperketat—ekstra diperketat. Yang ketiga, masih susah bagi saya untuk menulis, terutama setelah meninggalnya nenek saya tercinta. Tapi itu cerita lain, tidak untuk ditorehkan hari ini. Biarlah post ini menjadi terapi saya untuk sembuh.

Saya mengikuti sebuah ‘program pendampingan’, walaupun itu istilah sangat-halusnya. Istilah sedangnya, ‘terapi’, dan istilah sangat kasarnya ‘diobati sakit jiwanya’. Tapi saya yakin, empunya pendamping pasti tidak setuju. Nah, program ini diprakarsai oleh Fakultas Psikologi UGM, di mana calon-calon psikolognya harus latihan praktek dahulu sebelum benar-benar terjun ke lapangan. Dan inilah saya, sang ‘korban’ eksperimen Mbak Renny, sang ‘pendamping’—atau, istilah kasarnya, setidaknya, ‘calon dokter jiwa’. (Maafkan saya ya Mbak, it’s just a joke.)

Saya ingat, saat itu saya pergi ke gedung Fakultas Psikologi UGM (tempat saya akan bersekolah nantinya, AMIN AMIN AMIN). Saya belum pernah pergi ke sana sendiri, terutama karena di sana bukan tempat anak SMP biasa hangout. Jadi saya sedikit ngeri, apalagi saya harus pulang sendiri nantinya, dan nyaris tidak tahu jalur bus untuk pulang. Pada saat itulah, sebelum saya pulang, Mbak Renny memberikan nasihat bijaknya yang kesekian kali. Saya sudah lupa kalimat persisnya, tapi inilah inti yang saya tangkap.

Katanya, “Tersesat itu menyenangkan, karena dengan begitu kita bisa mengeksplorasi wilayah-wilayah yang belum pernah kita kenal; dan siapa yang tahu kejutan apa yang kita dapatkan di sana? Justru, jika kita terpaku pada zona aman kita, kita tidak akan pernah mendapatkan hal-hal terbaik dalam hidup. Karena hidup itu labirin petualangan yang penuh kejutan.”

Pada waktu itu, saya menelannya bulat-bulat terutama karena saya masih takut naik jalur bus yang belum pernah saya lalui. Saya akui kata Mbak Renny benar. Sungguh menyenangkan perjalanan bus itu, terlebih karena saya melewati jalan yang tidak biasa saya lewati sebelumnya. Namun tetap, saya belum menghayati betul nasihat itu. Saya baru benar-benar menasihatinya beberapa bulan kemudian ketika saya kembali ke Kompleks UGM, kali ini bersama dua sahabat saya, Merlynda Ayu Rara Dini dan Ratih Sanjaya Wahyuningrum.

Kini, mari kita mulai perjalanan saya untuk menghayati keindahan tersesat.

PART ONE: BILA DARI AWAL SAJA SUDAH SENGSARA


Waktu itu sekolah sedang libur. Rencananya, kami pergi ke Fakultas Ilmu Budaya untuk mengunjungi Festival Makanan Eropa yang waktu itu diadakan di sana. Rencananya, kami berangkat ke sana pukul sepuluh dari sekolah. Rencananya. Sayangnya, rencananya tidak berjalan.

Saya berangkat dari rumah pukul 09.30 WIB, setelah orangtua saya berangkat ke kantor. Saya berencana naik bus jalur dua karena harganya murah, dekat, dan cepat. Berjalanlah saya ke Jalan Sisingamangaraja, dan di sana, saya menanti.

Lima belas menit lewat. Bus jalur dua belum juga muncul. Saya mulai jengah, mengingat pagi itu matahari sangat terik. Eh, yang tidak dinyana, seorang tukang becak justru mangkal di dekat saya dengan enaknya. “Mbecak, mas,” katanya menawarkan. Saya tidak acuh. Saya sih mau-mau saja mbecak hingga sekolah, tapi, please, gila aja, mbayarnya berapa?! Budget di dompet pun kecil. Memang, ada Rp 200.000,00 di kantong, tapi target saya hanya habis Rp 50.000,00—maksimal sekali Rp 100.000,00.

Tambah dua puluh menit lewat. Saya sudah mulai muntab. Saya sampai nge-SMS Ratih dan Merlyn, mengecek apakah mereka sudah tiba. Merlyn sudah berangkat, Ratih belum; bahkan dia sangsi akan ikut karena tidak ada pengantar. Pak Becaknya masih mangkal, berkali-kali menawarkan pada saya. Saya sebal luar biasa. Saya sampai meng-update status Facebook karena sebal. Yang parah, berkali-kali jalur 15 lewat. Saya tergoda untuk naik. Namun saat saya berkonsultasi pada bapak saya, kata beliau, “Jangan.”

Tambah sepuluh menit lewat. Saya benar-benar marah sekarang. Tak dinyana, Pak Becak tersebut justru berkata, “Ampun nengga ting mriki, Mas. Nengga nipun ting pertelon mrika, bus ipun lewat mrika—Jangan menunggu di sini, Mas. Nunggunya di pertigaan sana, di sana bus jalur 2 lewat.” Saya malu sekali; saya sudah menjelek-jelekkan bapak tersebut di Facebook, tapi dia justru menolong saya. Saya berterima kasih, dan buru-buru mengupdate status Facebook.

Saya menunggu di pertigaan Pasar Telo. Dan… sekali lagi; mungkin sekitar dua puluh menit lewat. Bus jalur dua bukannya tidak lewat; mereka lewat, bus jalur dua berwarna oranye, dengan kondisi yang masih prima dan bersih. Dua buah malah. Dan keduanya bahkan tidak berhenti saat saya memberi tanda. Mereka hanya ngeloyor begitu saja. Yang satu malah menggelengkan kepala dan langsung cabut! Sungguh, saya muntab. Malu luar biasa saya, hampir satu jam lamanya menunggu bus, tapi ditolak mentah-mentah! Udara panas pula!

Saya ambil keputusan drastis: saya naik bus TransJogja.

Untuk menuju shelter, saya butuh lima belas menit melalui trotoar yang tidak teduh dan jarang dilewati orang, saat matahari bersinar sangat terik, saat hari sudah masuk ke wilayah siang dan bukan lagi pagi; dalam kondisi marah dan capek, kurang konsentrasi hingga tersandung-sandung kepayahan; mengenakan kostum yang salah di wilayah yang salah pula; hanya ditemani handphone Nokia kuno tanpa kamera, dengan koneksi internet pas-pasan, tanpa fitur penunjang seperti MP3, dan parahnya, tidak bisa bergetar apalagi bersuara.

Sungguh, saya sungguh merana.

Dan ditambah sepuluh menit lagi menanti di shelter TransJogja. Saya sudah berkeringat kepayahan, saya sendiri rada jengah dengan kondisi saya. Saya tidak berani bercermin, pasti saya mual melihat saya sendiri. Mungkin orang lain akan bersikap biasa-biasa saja, tapi jujur, saya tidak bisa tidak jengah bila saya pergi hangout dalam kondisi berkeringat, kusam karena polusi jalanan. Mana saya tidak bawa sabun cuci muka dan handbody. Anda boleh berkata saja feminin, atau metroseksual, tapi itu jujur dari sugesti saya sendiri. Saya tidak bisa hangout dalam kondisi kumal.

Akhirnya bus TransJogja tiba, dan sayapun naik. Perjalanan menuju shelter berikutnya di Dinas Kehutanan dimulai. Saya duduk, bersyukur luar biasa karena AC segar yang mendinginkan tubuh saya. Menyenangkan sekali! Ada dua foreigner di sana; ada sedikit rasa ingin ngobrol, mungkin karena euphoria dini saya, tapi saya memutuskan berkutat dengan Facebook saya. Tapi di perjalanan saya ini tidak ada keberuntungan bagi saya.

Bus TransJogja tersebut transit di Terminal Giwangan lamaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa sekali. Saya sudah tidak mau menghitung waktu lagi, bahkan meski saya menyanyikan lagi Menghitung Hari penuh kemarahan di dalam bus. Lamaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa sekali. Saat saya sudah tidak tahan, bus itu akhirnya berjalan. Tapi waktu sudah menunjukkan pukul sebelas lebih, dan Merlyn yang sudah menanti lama, juga mulai tidak sabar. Saya pun menjadi lebih tidak sabar lagi saat diberondong SMS Merlyn yang isinya membuat jengah: “Udah mpe mana?” “Aku dah mpe sekolah daritadi.” “Masih berapa lama?” dsb dsb dsb.

Saya akhirnya sampai di shelter Dinas Kehutanan hanya untuk mendapati saya dipaksa menanti lebih lama dalam kondisi yang lebih buruk. Seorang ibu-ibu turun bersama saya, dan sebuah keluarga tiba di shelter. Dan keluarga itu, Masya Allah, sangat mengenaskan.

Sebelumnya tolong perhatikan: saya tahu apa yang akan saya tulis ini tidak adil, namun mengingat kondisi saya yang ingin sekali meledakkan seisi Jogja, atau setidaknya seluruh bus jalur dua warna oranye di Jogja, saya tidak mampu menahan diri untuk tidak berpikir seperti apa yang akan saya tulis di bawah. Jadi, silakan lewati atau sekalian saja tutup situs ini jika memang tidak mau membacanya.


Keluarga itu terdiri atas seorang ayah, ibu, seorang remaja tanggung laki-laki seperti saya, seorang anak laki-laki kecil, dan anak perempuan yang lebih kecil Entah keluarga itu dari mana. Tapi, sungguh, keluarga itu seperti keluarga gelandangan pinggir jalan. Kedua anaknya tampak tidak terawat, ibunya pun acuh sekali. Dan baunya… dibandingkan bau keringat murni mereka, baunya Okka saja harum semerbak, penuh ‘sensasi’ warna-warni di sini. Keluarga itu seperti sudah sebulan tidak mandi. Mau tidak mau saya berpikir, buat apa keluarga kumuh seperti ini naik TransJogja?

Dan dalam perkembangannya, keluarga itu jauh lebih mengerikan daripada yang saya kira. Ibunya benar-benar tidak acuh, berbicara hanya dalam bentakan keras saat anaknya berbuat salah. Ayahnya memang penyayang, sangat perhatian kepada anak-anaknya, namun cara bermainnya mengerikan—sangat khas orang tidak berpendidikan. Ia memangku puteranya dan mengentak-entakkan kepala bocah itu dengan momentum kuat. Sungguh saya mencemaskan si bocah. Binar matanya saja sudah tidak cerdas, dan apa inteligensinya tidak tambah melorot gara-gara entakan ayahnya yang bodoh itu? Sementara si remaja tanggung dengan asyiknya menonton acara TV hura-hura yang tidak mendidik, itupun wajahnya sudah segembira anak-anak kecil yang melihat Petualangan Sherina di bioskop dulu.

Lalu si bocah dan si anak perempuan bertengkar, entah karena apa. Ibunya melerai keras. Ibu yang turun bersama saya tampak iba; ia berbaik hati memberikan permen kepada si bocah dan si anak perempuan, masing-masing dua buah Collins kacang. Tetapi yang dilakukan si anak perempuan sungguh tidak dinyana. Dengan keegoisan dan kekasaran brutal ia merebut kedua Collins abangnya, membentak keras, meninggalnya si bocah tampak sangat kehilangan. Bila saya menjadi sang ibu, sudah saya jewer anak saya tersebut. Bagaimana tidak? Permen tampaknya adalah sebuah berkah yang amat sangat bagi keduanya, namun mengapa si adik tidak mau berbagi berkah tersebut? Alih-alih, ibunya mendiamkan kedua anaknya—sehingga terpaksa sang ibu-pemberi-permen memberikan lagi permennya kepada sang bocah. Baru saat itu wajah sang ibu tampak cerah, sehingga saya curiga ia memang mengharapkan anaknya diberi permen lebih.

Saya begitu muak kepada keluarga itu, mau tidak mau, bukan karena bau mereka, namun lebih karena budaya keluarga mereka yang begitu minim pendidikan moral dan etika. Bila seperti itu caranya, bagaimana mungkin ketiga anaknya dapat tumbuh dalam hidup yang normal dan berkecukupan seperti anak lainnya? Bagaimana mungkin ketiga anaknya mencapai cita-cita, atau bahkan mempunyai cita-cita? Budaya keluarga tersebut adalah antitesis dari budaya yang kondusif bagi perkembangan anak. Saya menyadari, dengan sedikit sesal, bahwa ada kemungkinan anak-anak tersebut akan tumbuh menjadi kedua orangtuanya, manusia yang terjebak dalam keterpurukan namun tidak mau bangkit. Memang, mereka tidak bisa disalahkan, karena siapa tahu budaya seperti apa yang menumbuhkan dua orangtua mengerikan seperti itu? Namun saya tetap tidak bisa mencegah hati saya menceloskan teriakan putus asa, khawatir, dan marah: ini salah. Budaya mereka salah.

TransJogja lainnya datang dan kami semua—ibu pemberi permen dan keluarga berantakan itu—masuk. Saya, lagi-lagi, terperangkap di antara mereka. Saya terpaksa duduk di tengah-tengah mereka. Ada satu kejadian lagi yang mengenyakkan saya: si anak perempuan berlari memilih tempat terbaik di dalam bus, namun kedua orangtuanya menolak mengikuti anaknya tersebut. Mending kalau mereka kemudian memanggil anak mereka bergabung dengan mereka; mereka hanya diam dan acuh, seakan masa bodoh saja terhadap anak perempuan mereka, bahkan bila ia diculik orang atau dilempar keluar bus. Sungguh mencengangkan.

Bus berjalan menuju shelter SMP Negeri 5 Yogyakarta. Sepanjang perjalanan, sang ibu tidur pulas. Anaknya yang kecil-kecil bermain sendiri, melompat ke sana-kemari tanpa penjagaan; sementara remaja tanggung itu duduk menerawang, seakan salah tingkah, atau mungkin iri terhadap orang-orang di dalam TransJogja yang tampak lebih kaya daripada dirinya. Sebuah sikap yang tidak bisa disalahkan; inilah akibat dari kesenjangan sosial-ekonomi di Indonesia. Dan oleh karena itu, saya memilih untuk diam saja sepanjang perjalanan, berkutat pada SMS dan Facebook. (Terutama karena Merlyn tidak henti-hentinya mengirim sms.)

Keluarga itu kemudian turun, saya lupa di shelter mana. Saya sungguh iba pada keluarga kurang pendidikan itu. Namun, apa yang bisa saya lakukan? Saya hanya pelajar. Orang bisa berkata, “Kamu bisa membantu mereka dengan belajar dan menjadi orang baik-baik,” tapi toh itu bukan hal yang konkrit. Tapi keluarga itu tetap pergi, maka pergilah mereka.

Lalu kami mengitari Kridosono, dan di depan, sekolah saya, Pawitikra tercinta. Saya bersiap-siap turun dan meninggalkan perjalanan ajaib itu. Sungguh, perjalanan terlama saya untuk menempuh 5 kilometer yang sudah sering saya lakukan. Secara menakjubkan saya butuh waktu dua jam untuk mencapai SMP Negeri 5 Yogyakarta. Wow! Sungguh perubahan menakjubkan, mengingat saya biasa menembuh 20 menit saja untuk tiba ke sana.

Tapi toh, dua jam sudah berlalu. Saya harus turun dari perjalanan memuakkan tersebut. Maka, seraya mengirimkan sms terakhir ke Merlyn dan Ratih yang sudah menanti, saya turun dari shelter TransJogja. Nasihat Mbak Renny menggema di kepala saya, namun hanya 10% terserap di otak; karena pikiran saya terus mendengungkan pertanyaan, “Bila dari awal saja sudah sengsara, bagaimana bagian tengahnya nanti?”

Sunday, September 6, 2009

Response #1

A response for this blogpage.


Aku minta maaf.

Aku tidak tahu apakah itu untukku aku, tapi aku minta maaf.

Aku merasa itu kamu tujukan untukku.

Kamu sering menunjukkan sikap bahwa aku mengecewakanmu.

Aku menyakitimu.

Aku melupakanmu.

Dan segala hal jahat lainnya,

yang setelah aku renungi, ternyata memang menyakitimu.

Dan pantas membuatmu marah.

(Marah dalam artian fundamental marah tersebut, bukan dalam pengertian sentimentalnya)

Tapi sungguh, aku berkata dari dalam hatiku,

aku tidak pernah bisa marah karenamu.

Kamu pukul aku sampai sakit, aku nggak akan marah.

Jujur.

Aku terlalu sayang sama kamu untuk kamu sakiti secara fisik.

Tapi justru sewaktu kamu ngacangin aku kemarin, aku benar-benar sakit hati.

Sakit hati yang hanya bisa diakibatkan oleh seseorang yang sangat aku sayang.

Karena kamu marah sama aku. Dan itu berarti aku sudah mengecewakanmu.

Aku sakit karena aku kecewa sama diriku, karena sudah mengecewakan orang yang aku sayang.

(Tenanglah, aku sudah memaafkanmu. Katakan aku pede, tapi aku terlalu percaya kamu tidak bisa menyakitiku. Aku tahu kamu sayang aku.)

Tapi aku ingin kamu tahu, bahwa aku sayang banget sama kamu.

Kamu salah satu dari segelintir orang yang sangat aku hargai.

Karena itu aku bisa percaya kamu tidak akan menyakitiku,

itu yang disebut optimisme orang yang menyayangi seseorang.

Mereka selalu melihat yang terbaik dari seseorang.

Itulah sebabnya aku benar-benar nggak akan ngecewain kamu.

Kamu sudah seperti saudara aku sendiri.

Kamu seperti keluarga aku, seakan ibumu adalah adik ibuku.

(Dan jujur, kami sudah menganggapmu sebagai keluarga. Seakan ibumu memang adik ibuku.)

Jadi aku minta maaf, minta maaf ribuan kali jika aku mengecewakanmu.

Aku nggak akan mengecewakanmu lagi.

Karena kamu sahabat sejatiku.

Karena kamu seperti saudara bagiku.

Dan saudara tidak sepantasnya membenci satu sama lain, ingat?

Jadi apapun yang akan terjadi, aku tidak akan pernah memusuhimu.

Aku akan selalu berada di sampingmu, menemani langkahmu, menyokongmu, memandumu.

Apapun yang kamu pilih dalam hidup ini, aku akan selalu di sana.

Oke?

Karena aku sayang sama kamu, sahabat-saudaraku...

Janji ya kita nggak akan pernah marahan beneran, apalagi sampai jadi musuh?

Karena aku nggak akan bisa mengecewakanmu.

Aku terlalu sayang kamu untuk itu.




untuknya,
makhluk eksentrik, revolusioner, dan pemberani;
aku janji ini bukan puisi munafik
karena aku
nggak bisa berdusta kalau sama kamu
(dalam artian, berdusta yang dusta, bukan berdusta bercanda)
maaf untuk segala kesalahanku, saudara saya tersayang...

Sunday, August 9, 2009

In Memoriam

In the memory of my beloved, my lovely,
Yanguti
Sartinah Yudhoprawiro
Grandmere
who finished her long life journey at
Sunday, August 09, 2009
in the sound of Adzan dzuhur
May God give her His best place

***

Ikhlas itu sulit.

Kita bisa saja merelakan sebuah barang begitu saja. Namun ikhlas dengan murni itu sulit. Ikhlas berarti kita harus merelakannya, melepaskannya; tidak sedikitpun mengungkit-ungkit pelepasan itu sebagai beban dan tuntutan, melainkan keputusan tulus dari hati, yang samasekali tidak boleh disesali.

Ikhlas dengan murni bukan berarti menyerah. Seperti yang dikatakan teman-temanku, ikhlas bukan berarti melepaskan. Ikhlas bukan berarti pasrah. Itu namanya menyerah, berpangku tangan; melepaskan sesuatu tanpa pengorbanan sedikitpun.

Tidak. Seseorang dikatakan ikhlas apabila ia berpasrah diri kepada yang Maha Tinggi atas segala usaha yang telah ia upayakan. Ia tetap berusaha; namun ia menyiapkan diri atas apapun hasil yang ia terima.

Dan itu sulit. Sulit.

Apalagi jika hal yang harus kalian ikhlaskan adalah hal yang begitu kalian cintai; yang sudah 17 tahun hidup bersama kalian, mengasuh kalian sejak lahir, dan telah menjadi bagian dari diri kalian yang utuh; sebuah legenda yang membuat kalian bernapas, menegakkan pondasi rumah, membangun keluarga kalian.

Oleh sebab itu, sulit bagiku untuk mengikhlaskan Yanguti.

Karena selendang itu terlalu ketat ikatannya. Selendang, yang telah mengikat kami semua, baik keluargaku yang paling dekat hingga yang paling jauh, dalam sebuah ikatan batin yang kuat. Tidak ada yang mengenal keluargaku tanpa mengenal Yanguti; dan bahkan dalam pertemuan pertama sekalipun benang ikatan sudah terjalin.

Yanguti adalah legenda keluarga kami. Bersama beliau kami hidup, tumbuh, bernapas, dan berkembang. Bersama beliau kami bergembira, bersama beliau kami menghadapi masalah.

Yanguti yang menumbuhkan semua tanaman di rumahku. Ia adalah sang dewi pohon mangga kebanggan keluargaku. Beliau membenihkan setitik jiwanya ke tiap-tiap tanaman di rumahku.

Yanguti yang menghidupkan rumahku. Tidak ada sepotong pun bagian di rumahku tanpa sentuhannya, tanpa kenangannya. Betapa aku ingat sofa itu, teras itu, bantal itu; yang tidak bisa dilepaskan dari Yanguti.

Yanguti yang membimbing kami. Bahkan tanpa perlu bicara, tanpa perlu metode konvensional, beliau mendidik kami untuk menjadi kuat. Kisah hidupnya adalah perjuangan menjadi kuat. Kami tidak boleh lemah, kami harus kuat. Itu satu pelajaran berharga dalam hidup.

Dan Yanguti mengajari hal terpenting dalam hidup: cinta.

Yanguti tidak sempurna. Kesenjangan usia yang besar menciptakan ketidakpahaman antara kami semua. Tetapi bahkan meskipun ada banyak cekcok, perselisihan, dan mungkin sakit hati, kami tetap menyayanginya. Apapun yang kami katakan, apapun yang kami lakukan, kepadanya, tidak menunjukkan betapa besar kami mencintainya. Dan apapun yang Yanguti katakan, apapun yang Yanguti lakukan, aku yakin, tidak menunjukkan betapa besar beliau mencintai kami.

Beliau memang mendidik dengan keras. Namun itu semua karena beliau cinta. Beliau mungkin cerewet, suka menasihati, ya. Namun itu semua karena beliau cinta.

Yanguti cinta kami.

Yanguti hanya ingin yang terbaik bagi kami.

Dan aku ingin beliau tahu, bahkan meskipun seandainya tidak ada jaringan internet di tempat beliau berada sekarang, dan bahkan meskipun seandainya ada beliau tidak tahu alamat blog ku; bahwa beliau berhasil.

Beliau berhasil mengajari kami untuk menjadi kuat.

Beliau berhasil mendidik kami untuk menjadi yang terbaik.

Beliau berhasil membimbing kami untuk sukses.

Beliau berhasil menjadi seorang ibu, orangtua, nenek, budhe, dan semua gelar lain.

Karena tidak ada satupun anggota keluarga kami, baik yang paling dekat hingga yang paling jauh, yang tidak mencintai beliau. Tidak ada yang tidak mencintai; tidak ada yang tidak menghormati; tidak ada yang tidak mengingat.

Karena Yanguti adalah legenda. Dan legenda tidak pernah mati. Legenda selalu diingat.

Dalam hati, dalam jiwa, dalam pikiran; bahkan hingga maut akan menyatukan kami semua.

Mengapa? Karena cinta. Legenda selalu dicintai. Dan cinta tidak pernah mati.

Dan kami tidak akan pernah berhenti mencintai beliau.


Semoga Allah SWT memberikan tempat yang terbaik bagimu, Yanguti
karena kami di sini melakukannya.
Kau akan selalu ada di hati, di jiwa, di memori,
hingga maut menyatukan kita
Terima kasih atas segala jerih payah yang engkau berikan,
tiap tetes peluh, tiap nasihat, tiap keprihatinan, tiap semangat,
tiap sapaan, tiap belaian, tiap tembang, tiap dongeng,
dan tiap hal yang telah engkau berikan kepada kami
dan tiap cinta
yang mendasari tiap-tiap hal tersebut



Selalu di hati, Yanguti.

Tuesday, July 28, 2009

Untuk Yanguti

Selama saya hidup, saya selalu dikelilingi wanita-wanita mengagumkan.
Seluruh wanita dari garis matrilineal saya; mereka semua kuat. Mereka adalah wanita baja. Mereka sekokoh pilar dunia. Mereka tidak tergoyahkan.

Tapi kini, salah satu dari mereka jatuh.

Saya tidak bisa menolong. Saya hanya bisa berdoa; dan saya merasa doa pun tidak cukup. Saya butuh mukjizat. Saya butuh keajaiban.
Bisakah kau memberikannya padaku, Allah?
Aku memohon kepadamu; berikanlah kekuatanmu, bangunkanlah kembali, ia.

Yanguti ku.

Tuesday, June 23, 2009

Untuk Dia, yang Merasa Dilupakan

Kawan,

Kau pernah bertanya mengapa aku tidak pernah menulismu di sini
Aku menyadari rasa sakitmu, mengira aku tidak menghargaimu
Mengira betapa dirimu telah terlupakan,
Dihinakan pula, mungkin
Seperti yang kerap dilakukan orang lain

Sayangku, itu tidak benar
Sampai kapanpun aku tidak pernah meremehkanmu
Jujur, kawan, kau adalah salah satu sahabat terbaikku
Bahkan sekarang setelah kita tak lagi bersama-sama,
aku selalu menganggapmu salah satu teman terdekatku

Kawanku,
Kau mungkin pernah bertanya mengapa kita berpisah jalan
Dulu kita berdua dan yang lain pernah berjalan bersama
Aku ingat itu, sayangku; ingat masa-masa itu
Saat kita selalu pergi ke mana-mana bersama
Saat kita selalu mengerjakan apapun bersama pula
Saat kita nyaris tak terpisahkan

Saat kita bisa mendeklarasikan diri sebagai sahabat

Lalu, mendadak, aku meninggalkan kalian
Pertanyaan besar mungkin menyergapmu, mengapa?

Kawan,
Jika kau pernah berpikir ini gara-gara dirimu, jangan
Sama sekali bukan karenamu, sayang
Justru, alasan kepergianku karena mereka

Aku tahu kau mungkin kecewa, marah pula, entahlah
Siapapun akan murka saat 'sahabat' mereka dicela, aku tahu itu
Aku merasakannya pula saat mereka menghakimimu, dan aku harus menjadi perisai
Tetapi, tolong, Kawan; dengarkan,
Ini satu-satunya jalan bagiku untuk bercerita padamu
Dan menorehkan namamu di situs ini

Kuceritakan semuanya, Sayang
Satu hal yang membuatku berpaling

Saat itu kau tak ada di sana. Hanya aku dan mereka
Kau baru saya pergi, Kawan; ada suatu urusan, aku telah lupa apa itu
Aku sendirian. Sekali lagi, hanya aku dan mereka
Kemudian mereka pergi. Mereka yang kau sebut sahabat, dan yang dulu aku sebut sahabat

Mereka hanya ingin jajan atau mendapat udara segar, sebenarnya

Dan aku hanya ingin mengikuti mereka. Aku sendirian, ingat?
Lagipula aku memanggil mereka 'sahabat'; wajar bila aku mengikuti mereka
Tetapi mereka menolakku

Sahabatku.
Menolakku
.

Aku kecewa, Kawan
Sakit hati yang tertoreh begitu dalam di sini, di dalam nurani
Tak pernah aku lupa pandangan sinis mereka; penolakan dalam kilat mata mereka
Betapa kata-kata yang mereka katakan mengusirku dengan jelas
Lalu mereka pergi. Meninggalkan aku yang hanya bisa terpaku

Kau tahu rasanya sakit hati, bukan?
Kau yang paling ahli dengan perasaan tersebut

Dan sakit hati di sini begitu dalam; aku yakin kau mengerti
Mereka bukan hanya menolakku untuk sesaat;
Mereka tidak mengutarakannya dengan lembut pula
Dengan sangat kasar dan jelas mereka menolakku

Kau tahu artinya, Kawan?

Aku hanya menjadi sahabat mereka bila ada kamu
Aku
menjadi sahabat mereka karena kamu
Tanpamu aku bukan sahabat mereka

Aku kecewa. Sangat, sangat kecewa

Kau tahu rasanya di sini, di hati, bukan, Kawan?

Aku mencoba bertahan. Jujur, aku mencoba bertahan
Aku mencoba berpegangan padamu
Tidak ingatkah dirimu saat aku bercerita padamu mengenai hal ini?
Aku bilang, "Kawan, sepertinya mereka... menolakku. Mereka hanya menganggapku sebagai alat."
Kau berkata, "Sabarlah. Mereka memang seperti itu. Cobalah menerima saja."

Aku mencoba, Kawan, sungguh!

Tapi bahkan pilar terkuat pun akan rubuh juga
Dan mereka tidak berubah. Justru, rasa sakit yang dihunjamkan makin berlebih
Semakin lama aku makin sadar, apakah aku ini di mata mereka

Aku hanyalah peliharaan mereka yang bisa dibawa ke manapun
Aku hanyalah robot pembantu pekerjaan
Aku hanyalah pajangan manis penghias grup kalian
Aku bukanlah apa-apa di mata mereka

Kau juga mengenal batas kesabaran lebih daripada aku
Aku yakin kau mengerti hal ini

Aku manusia; aku bisa merasa tidak sabar
Setiap hal mempunyai klimaks, bahkan dunia
Ingat, dunia mempunyai kiamat, klimaks dari parade kehidupannya
Dan aku mempunyai klimaks dari semua perlakuan tidak adil mereka

Itulah sebabnya kita berpisah jalan

Jangan salahkan diriku,
Jangan salahkan dirimu
Apapun yang orang-orang bilang tentang dirimu tidaklah sama dengan yang ada di mataku
Kau mungkin mendengar mereka berkata, "Akib menusukmu dari belakang, Sayang"
Tetapi itu tidak menunjukkan perspektifku tentangmu

Maafkan aku, tetapi aku tidak menulisnya di sini
Hal tersebut terlalu personal; namun aku akan gembira bila engkau menanyakannya padaku

Dan itulah sebabnya aku meninggalkanmu, Kawan
Bahkan jikalau pun kau bersikap baik terhadapku, mereka tidak
Aku tidak dihargai di mata mereka; dan aku tidak mau mereka anggap parasit
Kau tahu bisa macam apa yang bisa mereka semburkan
Bahkan sejujurnya menurutku kau sudah terperangkap, seperti aku dulu terjebak

Aku tidak bisa menahannya lagi
Maka aku harus pergi

Ya, aku pergi; mengapa? Karena seperti yang sudah kukatakan padamu, aku ingin melihat dunia
Aku ingin tahu bagaimana persahabatan orang lain
Sehingga apakah hubungan kita bisa disebut sahabat
Dan apakah hubungan yang lebih tepat disebut status ini bisa dipertahankan

Sayangku, aku tidak ingin mengecewakanmu
Tetapi kini aku sudah berada di tempat aku seharusnya berada
Aku bahagia sekarang; aku menemukan sahabat yang lebih layak disebut sahabat
Aku tahu kau tidak berbahagia atas hal ini; dan itu juga yang membuatku kecewa
Mungkin itu pula yang membuat kita berpisah jalan, karena kau sendiri tidak menyukai jalanku

Ya, aku sadar aku bisa dipersalahkan
Mungkin hal itu karena engkau kecewa karena aku meninggalkanmu
Tetapi cobalah untuk berbahagia atas kebahagiaanku sekarang
Hanya itu yang aku inginkan darimu sekarang

Berbahagialah untukku
Aku ada di jalanku sekarang
Dan kau ada di jalanmu

Aku tidak menghakimimu karena itu bukan suatu kesalahan
Maka jangan hakimi aku karena itu bukan salahku


***


Aku bisa bercerita lebih banyak, tetapi waktu mencegahku melakukannya
Sudah malam di sini, Sayang. Sudah malam; tubuhku menolak melanjutkan
Tanyakanlah padaku suatu hari nanti, dan akan kujawab semuanya
Tetapi kumohon tanyakan sendiri; jangan ajak mereka

Tetapi ingatlah, satu hal, Kawan
Bahkan meskipun kini kita sudah berpisah jalan,
Bahkan meskipun kita tak lagi memanggil yang lain sahabat,
Aku tetap menganggapmu sebagai sahabatku,
sampai kapanpun

Di sini, di dalam hatiku, kau masih sahabatku;
Teman dekat, yang dengan sedih, tak bisa kuraih


Ditulis, dengan rasa kantuk luar biasa,
serta kesedihan yang berkecamuk dalam hati,
oleh Muhammad Akib Aryo Utomo
23 Juni 2009, selesai pukul 22.34

Teruntuk sahabat baikku; sungguh aku sangat bersedih kita harus berpisah,
namun setiap orang harus menemukan jalannya sendiri. Aku yakin kau akan.
Ingat; Kau di dalam ingatanku, berbeda dengan kau di mata yang lain.
Karena kau unik. Begitupun aku.

Sunday, June 7, 2009

Tampilan Baru, Tampilan Lama; Bagus yang Mana?

Bienvenue.

Bagi para pembaca yang sudah pernah mengunjungi blog saya sebelumnya, mungkin sedikit terkejut dengan perubahan layout. Ya, saya sudah mengganti layout lama saya. Mengapa? Alasannya sederhana saja: saya ingin mencoba sesuatu yang baru. Bukan berarti saya sudah bosan dengan layout yang lama. Saya hanya ingin bereksperimen.

Pada awalnya saya mencari-cari template yang bagus dari sebuah situs template bernama BlogSkins. Ada beberapa template yang saya akui unik dan menarik. Namun, meskipun dari segi artistik memang indah, templates tersebut tidak memenuhi kriteria template blog yang saya butuhkan.

Mengapa? Hanya ada dua alasan. Pertama, dari segi lebar wadah tulisan. Bagi saya blog adalah tempat untuk menuangkan imajinasi; dan saya setuju sepenuhnya dengan apa yang dikatakan Ms Dewi Lestari dalam tulisan terbarunya, Nge-blog: Perjalanan Panjang Dengan Hati: Bahwa yang paling penting dari blog adalah isinya. Bukan tampilannya, yang sebenarnya hanyalah aksesori.
Oleh karena itu saya kecewa saat mendapati bahwa templates tersebut memberi ruang yang sangat kecil bagi tulisan. Mereka justru menonjolkan hiasan-hiasan yang remeh temeh daripada tulisan! Betapa kecewanya saya. Maka, karena saya tidak ingin mengedepankan tampilan unik dan antik, namun mengorbankan kenyamanan dalam membaca tulisan, saya pun batal menggunakan templates tersebut.

Alasan kedua, dari segi kepraktisan. Seperti yang sudah saya sebut kebanyakan tersebut menonjolkan keindahan--serta, sejujurnya, keramaian. Betapa banyak fitur-fitur dan aksesori unik dalam templates yang saya temui. Misalnya, profile harus dibuka dengan menyibak kumpulan kancing warna-warni; bahkan ada yang blognya justru disembunyikan. Apa gunanya membuat blog bila tidak untuk dibaca, coba?

Oleh karena dua alasan utama tersebut, serta mungkin beberapa alasan sampingan yang saya sendiri tidak menyadarinya, saya memilih menggunakan template resmi Blogger untuk diaplikasikan dalam blog saya. Karena seperti yang seharusnya sudah saya sadar, Blogger sangat menyadari apa guna blog; dan oleh karena itu, templates mereka lebih memperhatikan kenyamanan membaca daripada pamer aksesori.

Saya, tentu saja, tidak tahu apakah layout saya lebih bagus daripada yang lama. Oleh karena itu, pembaca lah yang seharusnya menentukan. Vote Polling saya di sebelah kanan blog untuk evaluasi saya. Saya akan sangat berterimakasih atas pendapat yang pembaca berikan. Bukankah ini semua juga demi kenyamanan Anda membaca?

PS:
Minggu depan, akan diadakan ulangan umum kenaikan kelas di sekolah saya. Oleh karena itu, dengan tulus, saya meminta doa dari pembaca, agar saya bisa mendapatkan nilai yang memuaskan, naik ke kelas 9, serta memperoleh peringkat tinggi pula di kelas dan sekolah (AMIN!).


Terima kasih atas perhatiannya, saudara dan saudari Pembaca.


-akib-

Friday, June 5, 2009

Saya Pun Membalas Dendam Lagi

Maaf karena saya memanfaatkan Blogger seperti Twitter pada saat ini, namun saya butuh cerita. Nanti akan saya kembangkan ceritanya, tetapi saya harus cerita dahulu.
Saya mohon maaf kepada kaum homoseksual yang mungkin membaca blog ini; tidak ada maksud ofensif apapun dalam tulisan ini. Saya hanya ingin menceritakan hal yang baru saja terjadi; jadi bila ada hal yang menyinggung perasaan, saya minta maaf sebesar-besarnya. Saya bukan rasis dan pribadi diskriminatif; saya menghormati hak asasi setiap manusia, baik yang heteroseksual maupun homoseksual. Jadi, sekali lagi saya minta maaf.
Well. Awalnya saya sedang login di situs jejaring sosial Facebook. Kemudian tiba-tiba sahabat saya dengan nama samaran Rafflesia, mengajak saya chat menggunakan akun kakaknya. Saya sih oke-oke saja. Seperti biasa, rumpian kami pun melantur...
Dan tiba-tiba saja dia memacokkan saya dengan seorang teman laki-laki saya alias menuduh saya hombreng. Gay.
Naudzubillahiminzalik.
Saya benar-benar marah. Sumpah, murka luar biasa. Namun saya tetap berusaha tenang, dan mengirim balasan; balik menuduh dialah yang dike atau lesbian. Kami beradu ketik seru sekali di chatbox Facebook; benar-benar seru, saling menuduh dan menghina, tanpa henti dan tanpa memperhatikan etika, dengan girangnya menyakiti yang lain.
Mendadak Rafflesia memutuskan hubungan (maksudnya offline).
Tetapi saya sudah bertekad tidak akan berhenti mengejar. Maka saya kirim sms kepada Rafflesia; dan gadis itu pun terpancing. Ia mengirim balasan lagi, cukup sadis, namun saya hanya tertawa. Karena otak saya sedang meramu rencana jahat dan saya akui, keji.
Saya katakan kepada Rafflesia, bahwa teman-teman sekelas sebetulnya sudah mengkhawatirkan dirinya sejak lama. (Pura-puranya) Kami curiga dia, Rafflesia, memang seorang lesbian, dike. Mengapa? Karena Rafflesia dan seorang sahabat saya juga, yang sama-sama aneh, Mendoan (nama samaran lagi), kerap sekali berpura-pura menjadi pasangan lesbian sehingga kami curiga bahwa Rafflesia sejujurnya memang seorang lesbian (Tentu saja ini bohong 100%. Rafflesia 100% cewek normal kok.)

Dan... gotcha. Si Rafflesia terpancing.

Ia benar-benar percaya pada tipuan saya, bahwa kami, teman-teman sekelas, benar-benar mengira dia seorang dike. Dia mengirim sms yang isinya bersumpah bahwa dia adalah gadis normal, bukan dike sama sekali. Saya terus tertawa--dan berakting.
Saya katakan kepadanya bahwa tidak perlu menutupi hal apapun. Saya sahabatnya dan akan terus begitu, apapun yang terjadi (Bahkan jika Rafflesia memang dike, saya akan tetap menjadi sahabatnya, itu benar).
Rafflesia terus terpancing. Dia mengirim satu sms lagi, berusaha meyakinkan saya bahwa itu semua dusta, bahwa dia gadis normal...

This is it.

Sudah jelas Rafflesia termakan tipuan saya, maka saya putuskan untuk menyudahi sesi malam ini. Saya kirimkan sms balasan kepadanya:
Itu semua ga serius.
Apa balasan dari Rafflesia?
S I A L A N

Di sekolah tak bacok kamu
Sungguh, malam ini, pukul 21.38, saya sedang tertawa sepuasnya, membayangkan seberapa panik Rafflesia sebelumnya. Oh, betapa saya tidak sabar menanti hari esok! Kita lihat bagaimana reaksi Rafflesia di sekolah. Tunggu kelanjutannya besok...

Saturday, May 16, 2009

Untuk Semua Sahabat yang Menghidupkanku

Untuk semua sahabat, teman, sepupu, dan guruku yang terkasih, semoga Tuhan selalu melimpahkan segala kebaikan yang Dia miliki kepada kalian sehingga hidup kalian akan selalu berada dalam berkatNya.

Aku tahu apa yang kalian alami saat membaca note ku yang sebelumnya. Panik dan bingung; itu pasti. Kebanyakan dari kalian, kalau bukan semua, pasti akan takut bila terjebak dalam situasi saat seseorang yang kalian kenal baik tiba-tiba kehilangan semangat hidup. Benar-benar hancur.

Aku nggak memungkiri semua yang udah aku tulis. Aku benar-benar hancur waktu itu. Kalian tahu? Kemarin malam, sewaktu maghrib, aku gak bisa bergerak sama sekali. Aku benar-benar cuma nggletak di lantai kamarku, sendirian; aku nggak punya emosi. Aku pengin nangis tapi ga bisa; aku pengin bahagia tapi jiwaku udah remuk redam.

Dan jangan pikir aku nggak sadar sewaktu nulis. Aku waras sepenuhnya waktu nulis itu; aku benar-benar berharap aku gila atau mati aja waktu itu. Karena segala kebencian yang ditanamkan seseorang sudah benar-benar menghancurkan hatiku sendiri; aku sudah benar-benar sakit. Kemarin, Akib telah meninggal dunia; jiwanya rusak sama sekali.

Sekali lagi, AKU SADAR SERATUS PERSEN SEWAKTU NULIS SEMUA TULISAN ITU.


***


Tapi sekarang, di sini, di depan monitor komputer, aku nangis.

Aku terkejut mendapati begitu banyak orang yang peduli sama aku--TERLALU peduli. Mereka nggak cuma bilang, "Hah? Akib pengin mati?", tapi mereka--atau sejujurnya, KALIAN--benar-benar peduli. Peduli setengah mati. Kalian ikut panik sewaktu tahu aku kehilangan semangat hidup; kalian ikut ketakutan dan sedih sama aku. Kalian terus ngirim post yang benar-benar menyentuh hatiku sampai ke relung yang paling dalam, karena kalian benar-benar sedih sama aku.

Aku nangis. Aku pengin banget ngomong supaya aku ga perlu ngetik. Sialan, mataku udah buram saking sembapnya; monitor gak kelihatan.

Aku gak bisa menuliskan gimana rasa terharuku, tapi ini: Jika aku bisa pergi ke tempat kalian sekarang juga, detik ini juga, aku pengin lari ke sana dan memeluk kalian semua, nangis di depan kalian dan mengucapkan rasa terima kasih, bener-bener nangis dan berterima kasih bahkan kalau aku kemudian jadi bisu atau kehilangan suara saking geroknya; dan tetap, kata-kata ini tidak bisa mengungkapkan haruku.

Sampai sekarang aku masih tidak tahu apa yang harus aku lakuin. Ya, aku udah cukup normal; tapi aku masih terguncang. Banget. Jiwaku masih syok; aku masih merasa pengin terus nangis. Tapi aku nggak akan nangis. Karena satu hal.

KALIAN.

Aku masih punya kalian. Kalian masih ada. Kalian akan terus nyupport aku; dan kalian sudah melakukannya. Nggak adil bagi kalian bila aku menyerah, bila aku menyerah pada depresiku dan membiarkan diriku gila, meski aku masih depresi dan pengin gila sekarang; dan nggak adil bila aku mati sekarang. Mengapa? Karena aku takut kalian sedih dan kecewa, mengira kata-kata kalian nggak cukup tulus untuk menyelamatkan seorang Akib, yang sama sekali tidak berharga, lebih hina dari seonggok kotoran. Karena itu tidak benar; KALIAN TULUS. KALIAN PEDULI. SEMUA YANG SUDAH KALIAN LAKUKAN BERHARGA.

Tanpa kalian, aku nggak mungkin hidup hari ini. Seandainya kalian tidak peduli, akun ini sudah offline selamanya, dan pagi ini aku akan ditemukan mati atau amnesia atau udah hilang kewarasannya. Tapi kalian membuatku HIDUP. Kalian adalah kurir-kurir Tuhan, perpanjangan tanganNya untuk membantuku pulih, untuk menguatkan langkahku, meluruskan jalanku, menuntunku, menyemangatiku, menemaniku, mengobatiku, dan segala sinonim serta metafora lainnya untuk frasa: BAGAIMANA CARA MENJADI SEORANG SAHABAT.

Sungguh, selain keluarga dan Tuhanku, kalian adalah orang yang bisa MENGHIDUPKAN seorang Akib.

Dan aku berterima kasih untuk itu. Oh, seandainya aku bisa ngasih nyawaku buat kalian sebagai wujud terima kasih, aku rela; aku rela ngasih apapun yang aku punya dengan tulus. Tulus banget. Seandainya aku memiliki semesta, aku sudah memberikannya pada kalian. Benar-benar tulus dari dalam hatiku. Karena BELUM PERNAH AKU MERASA BEGITU DIHARGAI; BELUM PERNAH AKU MERASA BEGITU DISAYANGI OLEH ORANG LAIN; BELUM PERNAH AKU MERASA BEGITU BERHUTANG BUDI; dan belum pernah aku merasa ADA ORANG LAIN YANG PEDULI PADAKU.

Aku sungguh sungguh berterima kasih. Ga ada yang bisa ngukur terima kasihku. Hanya Tuhan yang bisa mengukur dengan metriknya yang begitu akurat, dengan segala kecerdasan dan kebijaksanaanNya, dengan segala kasihNya dan kekuasaanNya. Jujur. Belum pernah aku berkata sebegini tulus, sebegini jujur, dan sebegini niatnya.

Karena begitu banyak yang kalian ajarkan: Bagaimana cara menghargai hidup... Bagaimana cara menangani masalah... Bagaimana cara memaafkan... dan ribuan ilmu lainnya yang tidak dapat diukur dengan kurikulum, namun dapat menyejukkan dan mendidik sebuah jiwa untuk tumbuh dewasa.

Aku bisa bicara ribuan kata, namun sayangnya, aku harus menghadapi sebuah keterbatasan. Dan keterbatasan itu pula yang memaksa aku untuk meminta pertolongan kalian lagi, walaupun aku merasa begitu rikuh: aku tahu akan sulit bagiku untuk sembuh karena luka yang aku alami sudah menikam inti jiwaku. Aku akan selalu membutuhkan kalian untuk menemaniku saat aku sepi; membangkitkanku saat aku jatuh; membesarkanhatiku saat aku putus asa; menemukanku saat aku hilang; memperbaikiku saat aku rusak... segala kata untuk frasa ini lagi: BAGAIMANA CARA MENJADI SEORANG SAHABAT.

Keterbatasan yang memuakkan memaksaku untuk berhenti; meskipun keterbatasan itu belum berhenti memburamkan mataku. (Oh, bisa-bisa aku rabun gara gara nangis). Tapi aku harus memberikan penutup, sebuah kado untuk kalian: TERIMA KASIH ATAS SEGALA-GALANYA, DEMI SEMUA HAL YANG ADA DI SEMESTA TUHAN. Kalian telah menghidupkanku, dan kini aku hidup.

Oh, ya, aku akan hidup.

Dan aku melakukannya semata-mata demi kalian.

Karena kalian yang menghidupkanku.

Lagi.

***



Semuanya bermula dari sebuah kebencian.

Ada dendam yang sudah berbulan-bulan kusimpan, rasa sakit hati yang telah menancapkan akar busuknya dan menghancurkan jiwaku. Seorang teman telah menusukkan kata-kata pedih berkali-kali, dan ia tidak menyadari hal ini. Sama sekali tidak. Dan itu yang membuahkan rasa benci.

Sungguh, belum pernah dalam hidupku aku berkata lebih serius dari ini: AKU BENCI KAMU DENGAN SEGALA DAYA YANG MAMPU AKU BERIKAN UNTUK MEMBENCIMU. Aku benar-benar jijik atas segala sesuatu yang ada hubungannya sama kamu. Aku benci ketidaktahuanmu yang bodoh itu; aku benci ketidakpekaanmu yang dingin itu; aku benci arogansimu yang memalukan itu.

Dan aku benci sikapmu akan sebuah permintaan maaf, seakan-akan pengampunan adalah sebuah receh dalam pundi-pundi kotor yang dapat dibagi-bagikan dengan cuma-cuma. Pengampunan lebih dari itu; pengampunan itu MAHAL. Ada beberapa hal yang harus dikorbankan demi pengampunan. Kamu tidak bisa masuk surga tanpa ampunanNya; narapidana tak dapat bebas tanpa... Read More ampunan hukum; dan karma tak mampu lenyap tanpa ampunan mereka yang tersakiti. Semua pengampunan meminta sebuah bayaran, dari siapapun pengampunan itu kau minta.

Lalu apa yang membuat kamu berani meremehkan PENGAMPUNANKU? Apa aku tidak bisa meminta sebuah bayaran pula? Sungguh kamu harus tahu, jika kamu mengira aku dapat memberikan pengampunan semurah hati itu, maka kamu tidak pernah mengenal seorang Akib sebelumnya. Karena aku lebih daripada orang yang kamu kenal. Aku tidak memaafkan semudah itu; dan yang pasti, AKU TIDAK MELUPAKAN.

Jadi jangan sekali-kali kamu berani meremehkan aku. Dasar CECUNGUK.

Klimaksnya terjadi kemarin malam.

Betapa segala raga telah tercurah demi sebuah kebencian! Satu hari penuh untuk membenci; untuk balas menyakiti dan menghina. Satu hari penuh untuk merasa marah, merasa muak, merasa jijik. Satu hari penuh untuk merasa sakit hati. Satu hari penuh untuk membuka luka lama yang mulai mengering.

Satu hari penuh saya menderita.

Dan tepat selepas maghrib, jiwa saya hancur. Secara harafiah saya tergeletak di lantai kamar, sesunggukan sendirian. Mengapa saya begitu ia benci? Apa salah saya? Saya tidak pernah membencinya. Saya bahkan ingin menjadi temannya, sekalipun kami berbeda. Tapi mengapa ia menyakiti saya sedalam itu? Saya benar-benar merasa kosong. Hanya ada kesedihan di dalam hati. Saya hancur, sehancur-hancurnya saya.

Saya merasa saya lebih baik mati saja. Atau mungkin gila; saya bisa lepas dari segala masalah.

Teman-teman semua,
entah mungkin aku yang lagi depresi atau gimana . Tapi aku bener-bener ngerasa jiwaku kayak hancur gimana. Aku beneran mati rasa sekarang, ga tahu seneng ato marah. Aku nyengir sekarang , tapi jauh di dalam hati aku sedih banget . Sakit .
Jadi ... memang kita tidak tahu apa yang akan terjadi besok . Tapi kalau besok saya tidak masuk sekolah , mungkin saya sudah menjadi gila . Mungkin kalau hingga nanti saya tidak merasa lebih baik , saya lebih baik gila saja . Entah untuk sesaat atau selamanya . Tapi aku cuma ingin lepas dari semua beban ; dan kalau aku sadar , aku ga bisa nglupain hal itu.
Ini sebuah perpisahan , mungkin , saya tidak tahu. Kita tidak tahu masa depan . Tapi saya sudah hancur ; hati saya sudah sangat tersakiti hingga rusak . Ini adalah titik di mana seseorang menjadi bodoh , ya ; dan itu hanya sejengkal mendekati ketidakwarasan .

Pokoknya itu saja . Mungkin saya bakal jadi gila , tidak tahu lah . pokoknya saya sedang hancur sekarang , hancur sehancurhancurnya sesuatu bisa hancur . Terima kasih atas segala hal yang pernah kalian beri , baik itu momen terkecil sekalipun ; dan maafkan bila ada hal yang menyinggung hati kalian . Kalian bisa komen , silakan ... segala bentuk keramahtamahan sekecil apapun akan berarti bagi saya . Bahkan kalau saya akhirnya jadi tidak waras.

Yah , mungkin ini hanya racau orang yang linglung sesaat . Jika kalian tidak rela saya jadi gila , silakan berpikir dan berdoa seperti itu . Tapi bila saya akhirnya MEMANG jadi gila , tolong anggap ini sebagai sebuah salam perpisahan .

Ini semua tulus dari hatiku yang paling dalam , relung jiwaku yang paling jauh , yang kini sudah remuk berkeping keping.

Sekali lagi , terima kasih banyak... sekali , maafkan semua salah saya , dan good bye .



PS: TIDAK ADA UNSUR BERCANDA SEDIKITPUN . Bila tidak percaya, silakan hubungi Ratih Sanjaya atau Nahal Fathir . Dua orang itu yang tahu pokok masalahnya . Orang pertama direkomendasikan . Yang terakhir tidak .

P.P.S: Thanks banget buat Fitri ; Ratih ; Ipeh ; Bari' ; Luthfi ...

P.P.S.S. : My Salatiga Sisters ... I'm so sorry for everything . :)

P.P.P.S.S. : Sori yang belom ke tag . Ga muat . Dan akunya udah capek . Tapi kalian tetep berharga juga kok buat aku . Tenang aja.

Tapi semua sudah berlalu. Dan inilah kisahnya.

***


Wednesday, May 13, 2009

Invidia

Sungguh saya baru saja mengalami guncangan besar.

Baru-baru saja saja saya mengikuti sebuah kuis di situs jejaring sosial Facebook. Judulnya benar-benar mantap: "Which of the Seven Deadly Sins Are You?" yang bila di-Bahasa Indonesia-kan artinya kurang lebih, "Dari Tujuh Dosa Maut, yang Manakah Dirimu?"

Ini memerlukan penjelasan tentu, terutama bagi yang beragama Islam. Seven Deadly Sins atau Tujuh Dosa Maut merupakan rumusan mengenai dosa-dosa paling mematikan bagi manusia, dalam lingkup literatur Kristiani. Konsep mengenai Tujuh Dosa Maut ini pertama kali diungkapkan oleh St. Gregorius I (540-604), seorang paus. Tujuan dari rumusan dosa-dosa ini adalah untuk memberikan pengajaran mengenai sifat-sifat dan tindakan tentang tindakan-tindakan imoral manusia, yang dapat membuat dosa.
Rumusan Paus Gregorius I ini dikenal sebagai Saligia, inisial dari ketujuh dosa tersebut. Ketujuhnya, sesuai urutan, adalah:
  1. Superbia, atau Kesombongan;
  2. Avaritia, atau Ketamakan;
  3. Luxuria, atau Hawa Nafsu;
  4. Invidia, atau Kecemburuan;
  5. Gula, atau Kerakusan;
  6. Ira, atau Amarah; dan
  7. Acedia, atau Kemalasan.
Mengenai acedia, awalnya pada rumusan Paus Gregorius I dosa tersebut tidak ada. Sebagai gantinya, pada rumusan awal yang ada adalah accidie, yang berarti keputusasaan atau kesedihan yang melumpuhkan.

Nah, sudah tahu 'kan betapa kerennya kuis tersebut? Oleh karena itulah saya mengikutinya... dan tidak menyangka bahwa hasil yang saya dapatkan sungguh mencengangkan.

Because the application said that... my deadliest sin is envy.

Segera saya mengecek kamus, mendapati bahwa envy berarti kecemburuan; atau invidia. Saya lalu mengecek dua buku saya lagi. Keduanya adalah Let's Go Into Narnia karya Arie Saptaji dan The Magical Worlds of Narnia karya David Colbert. Ya, keduanya adalah buku yang menelaah mahakarya Clive Staples Lewis, The Chronicles of Narnia.

Pertanyaannya, mengapa saya membuka kedua buku itu? Karena siapapun yang pernah menelaah Narnia pasti menyadari betapa buku tersebut sarat dengan nilai-nilai Kristiani. Memang, buku itu bukankah sebuah alegori; buku itu adalah sebuah novel anak-anak biasa, penuh dengan fantasi jenius sang pengarang sejati Inggris. Namun, mengingat kereligiusan C.S. Lewis, tidak dapat dipungkiri bahwa novel itu juga mengandung beberapa pembelajaran Kristen.

Mungkin Anda jadi bingung mengenai agama saya. Maka, saya tegaskan: saya seorang Muslim. Lalu mungkin Anda bertanya, kok Anda malah membaca novel sarat Kristen, kalau begitu, atau justru menelaah materi-materi Kristiani?
Jadi saya balik bertanya: memang kenapa? Apakah karena saya seorang Muslim, saya tidak boleh membaca Alkitab dan mempelajari nilai-nilai moral yang terkandung di dalamnya? Dan seorang Kristiani tidak boleh membaca Al-Qur'an serta mengadopsi nilai-nilai moral lain yang juga menjadi dasar fundamental kitab suci tersebut?
Karena saya percaya bahwa setiap agama pada dasarnya suci dan mengajarkan kebaikan. Ya, Anda boleh menganggap saya sebagai penganut monisme (kalau tidak salah istilahnya itu), saya tidak peduli. Saya memang bukan seorang konservatif Muslim yang menutup diri dari dunia luar. Bukankah seorang pemuka agama dari Inggris pernah berkata, bahwa seorang penganut agama yang baik adalah mereka yang mampu mengkritisi agamanya dan mendapatkan nilai-nilai moral dari tindakan mereka tersebut.

(Kira-kira begitu cara pandang saya, walaupun sejujurnya hal tersebut tidak menjabarkan secara baik tentang kompleksnya perspektif beragama saya. Mengenai debatnya, saya tangguhkan. Sekarang bukan saatnya.)

***

Yang pasti, saya kemudian membaca bagian mengenai risalah Dr. Don W. King (siapa dia? Saya juga tidak tahu). King berpendapat bahwa sesungguhnya kisah-kisah Narnia merepresentasikan ketujuh Dosa Maut tersebut; maksudnya beberapa tindakan negatif karakternya. Pendapat King seperti ini:
  1. The Lion, the Witch, and the Wardrobe merepresentasikan gula, di mana Edmund Pevensie terjerat kerakusannya atas Turkish Delight.
  2. Magician Nephew merepresentasikan ira, di mana Digory Kirke dan Polly Plummer mengamati efek negatif dari kemurkaan Jadis, sang calon Penyihir Putih.
  3. The Horse and His Boy merepresentasikan superbia. Aravis, Bree, serta Rabadash memperlihatkan bagaimana mereka mengagungkan harga diri masing-masing--dengan kata lain, bertindak sombong.
  4. Prince Caspian merepresentasikan luxuria. Raja Miraz yang lalim menunjukkan "hawa nafsu" akan "kekuasaan, kekayaan, dan posisi".
  5. Voyage of Dawn Treader merepresentasikan avaritia, di mana Eustace Scrubb menjadi serakah saat melihat harta karun dan akibatnya berubah menjadi naga.
  6. The Silver Chair merepresentasikan acedia, di mana Jill Pole karena terbuai oleh kebaikan palsu para Raksasa menjadi lupa pesan Aslan untuk mengingat-ingat perkataannya.
  7. Dan akhirnya, The Last Battle merepresentasikan invidia. Shift, sang kera kafir, dalam kecemburuan berusaha mendongkel posisi Aslan sebagai pujaan Narnia dan bahkan mempersekutukannya bersama Tash.
Di sinilah hal yang membuat saya syok.

Aduh, bagaimana tidak? Tokoh invidia di The Last Battle adalah sang kera Shift, yang menyebarkan kebohongan di Narnia. Dialah yang membuat makhluk Narnia melupakan Aslan, membuat Narnia harus dilanda Akhir. Dr King berpendapat bahwa Shift adalah sosok Antikristus dalam Kristen; dan itu berarti, seorang Dajjal dalam Islam.
Mungkin para pembaca bingung, apa relevansinya?

Dan inilah relevansinya.

Saya sudah terlalu sering merasa cemburu. Saya benci bila saya dipandang beberapa orang lebih rendah daripada orang-orang lain yang saya benci--dan yang membenci saya pula. Karena hal itu membuat saya terlihat lebih bodoh di mata mereka. Saya tahu itu tidak baik; bahwa sepatutnya saya bangga atas diri saya sendiri.
Tapi saya tidak dapat menghilangkan perasaan bahwa mereka memandang saya dengan konotasi negatif. Mengapa? Selama enam tahun di SD, saya sama sekali tenggelam; saya tidak dapat bersinar dan berbicara kepada dunia.

***

SD saya adalah sebuah sekolah dasar yang tidak terkenal. Mungkin pada awalnya ya, tapi akhirnya tidak, tepat pada tahun-tahun terakhir saya di sana. Saya membenci fakta ini karena suatu hal: setiap kali saya atau teman-teman mengikuti suatu lomba antar sekolah, orang-orang akan memandang rendah kami.

"SD Keputran 1?" pandangan mereka selalu berkata. "SD mana itu? Nggak terkenal. Pasti SD melarat, nggak elit. Lihat aja anak-anaknya. Iiih!"

Saya dapat membalas mata-mata seperti itu dengan lidah saya. Sejak saya kecil, lidah adalah senjata saya yang selalu diasah dengan penuh perhatian; itulah pertahanan dan alat serang saya yang paling ampuh. Saya bukan orang yang bisa dengan mudah dijatuhkan; justru, saya gampang sekali menjatuhkan orang.
Tapi teman-teman saya tidak. Dan itu menghancurkan hati saya, melihat betapa mereka dengan mudahnya terpancing oleh pandagan tersebut: menjadi marah, benci... dan terutama minder. Mereka kalah sebelum bertanding! Saya sungguh iba kepada mereka, tapi sebisa apapun saya berusaha membesarkan hati, saya tidak sanggup.

Karena jauh di dalam hati, saya juga terluka.

Terluka sekali. Kami semua mempunyai bakat; kami semua mengagumkan. Kami semua adalah bintang-bintang yang baru terlahir dan hendak menyinarkan cahayanya kepada dunia. Namun orang-orang sinis itu memadamkannya. Menenggelamkan kami dalam keterpurukan... Rasa sakit hati yang muncul begitu menyiksa saya hingga sekarang, tertoreh begitu dalam di ingatan saya.

***

Dan sekarang, saat saya SMP, saya mengubah diri saya.
Saya bertekad untuk bersinar dan tidak terkalahkan. Saya mengakuinya; dan memang, sekarang saya berusaha untuk menekan ambisi saya yang sungguh arogan tersebut. Namun tetap saja, setiap orang yang mengenal saya akan tahu bahwa saya tetap seorang pencemburu. Terutama saat saya dilecehkan seperti itu.

Saya tidak memungkiri satu hal pun.

Dan meski saya sekarang selalu berusaha menahan rasa cemburu yang begitu mematikan tersebut, tidak mudah untuk mencabut kembali taring ular. Sulit bagi saya untuk tidak merasa marah bila saya dianggap lebih rendah dari orang yang bahkan tidak lebih baik dari saya. Memang, ini menyangkut perspektif orang, tapi hal itu kadang-kadang susah saya terima.

Maka dari itu, betapa kuis di Facebook tersebut telah sangat menyadarkan saya.
Saya menyadari dengan betul, akhirnya, betapa kecemburuan telah menjadi diri saya sepenuhnya. Ya, kecemburuan itu memang tidak terlihat; yang terlihat adalah saya sebagai sosok yang berharga diri tinggi, tajam, dan kuat. Sosok yang susah dikalahkan. Tapi ada efek buruk dari itu semua: saya menjadi dingin, terkesan mengintimidasi, dan angkuh.
Akan lebih ringan bila orang lain yang memberi saya tangkapan atas kesan tersebut; tapi bila itu sahabat-sahabat kita sendiri, berbeda halnya. Saya telah banyak menyakiti mereka, dan kehilangan beberapa di antaranya, meskipun kadang-kadang bukan sepenuhnya salah saya dan itu adalah sebuah pilihan yang sangat melegakan. Tapi kadang-kadang saya merasa hancur karenanya; melihat teman-teman saya sendiri bersikap hati-hati di depan saya, sekaligus mempergunjingkan arogansi saya di belakang.
Tidak sepenuhnya saya tidak bahagia karenanya. Saya sungguh menghargai beberapa efeknya, seperti bahwa kadang-kadang mereka lebih menghormati dan memperhatikan perkataan saya. Namun mudharat-nya lebih besar. Saya menjadi sosok yang dihormati sekaligus dibenci.

Paus Gregorius benar; kecemburuan itu mematikan;
Membunuh tepat seperti ular dalam selimut.

***

Ini, barangkali, adalah sebuah penelaahan dari post saya sebelumnya.

Saya menyadari dengan sepenuh hati bahwa saya bersalah lebih besar dalam Insiden Penyiraman Massal tersebut. Dan bahwa ternyata, kesalahan saya itu diakibatkan hal yang lebih kompleks, menyangkut berbagai aspek dalam diri saya. Saya tidak perlu menceritakan lebih lanjut akibat yang diakibatkan oleh sang invidia; sudah tertulis jelas di mana-mana.
Jadi, tolong perhatikan:

Kepada mereka yang telah saya sakiti, saya sungguh meminta maaf sebesar-besarnya. Apa yang sudah tertulis di sini adalah pengakuan saya; saya memohon pengertian Anda. Tidak ada lagi memori dan kata-kata yang bisa saya kuras dari masa lalu dan luka-luka jiwa saya. Tidak ada lagi.
Sungguh, Sahabat-sahabatku, aku menyayangi kalian. Lebih dari apapun; karena kalian bisa memahami seorang aku yang kompleks, rumit, temperamental, moody, arogan, dan hina ini. Tidak ada yang lebih berharga dari pengertian dan kasih sayang kalian yang tumpah ruah bagiku.
Mulai saat ini, aku akan berusaha untuk menjadi lebih baik. Mungkin aku tidak akan selamanya sembuh dari bisa-bisa invidia; aku yakin tidak akan pernah. Namun aku akan mencoba untuk mengobatinya, tetap. Aku akan mencoba untuk menghilangkan racunnya hingga sesedikit mungkin, hingga tidak ada orang lain yang bisa tersakiti olehku.
Aku akan mencoba, aku akan mencoba!
Dan bagi yang lain... pahamilah kisah ini. Betapa Paus Gregorius telah memperingatkan kita dengan panduannya yang bijaksana dan sangat universal ini. Sekecil apapun saligia yang muncul dalam hati kita, itu bisa merusak. Sebagai manusia, kita tidak akan dapat menjauhinya. Tapi kita dapat meminimalisirnya; dan itulah yang harus kita lakukan.

***

Apa yang tertulis dalam post Persahabatan adalah lebih kepada sebuah ungkapan kasih sayang. Itu betul. Juga rasa syukur.

Namun apa yang aku tulis di sini adalah sebuah apologi yang sangat, sangat dalam. Juga sebuah usaha untuk berubah. Dan aku meminta kelapangan hati kalian, O Yang Pernah Tersakiti, serta kedalaman samudera maaf kalian. Aku berjanji aku akan berubah. Aku tidak mau invidia menggigitku lagi dan meracuni hatiku.

Dan akhirnya, tidak ada lagi yang bisa aku katakan. Terima kasih atas perhatian yang kalian berikan, serta maaf yang mungkin-atau-tidak-mungkin kalian hadiahkan. Hanya ada satu penutup yang bisa aku tambahkan, walau ini adalah sebuah penutup yang payah dan tidak bermutu:

Semoga apapun yang terjadi pada kita, kita semua bisa terlindungi dari racun Ketujuh Dosa Maut.

Thursday, May 7, 2009

Persahabatan

Jujur, sebenarnya cerita ini tidak sedalam judulnya. Malah, cerita ini akan konyol sekali. Hal ini terjadi pada hari Selasa, 5 Mei 2009, kemarin. Saya dikerjain oleh dua teman saya yang merupakan spesies manusia paling unik, antik, dan ajaib dalam peradaban manusia--Ratih dan Fitri! Dikerjain habis-habisan. Dikerjain. Habis-habisan. Kalau perlu harus ditebalkan sekalian: Dikerjain. Habis-habisan.
Tapi mari kita mundur dahulu ke hari Jumat tanggal 24 April 2009 untuk memperjelas ceritanya...

***

Hari itu kami sedang girang-girangnya. Mengingat minggu depannya kami semua akan libur panjang. Kakak kelas akan mengikuti Ujian Nasional selama sekitar empat hari; dan hari itu jam pelajaran dikorting sepuluh menit karena akan ada doa bersama para calon peserta Ujian tersebut (kalau tidak salah), sehingga kami pulang sekitar pukul 10.30.
Jam terakhir, Matematika. Pak Raphael tidak masuk kelas pada saat itu. Biasalah, Ki Gendeng Krismanto memang kadang-kadang (atau seringkah?) membolos--kenakalan sekolahnya rupanya tidak sembuh-sembuh dan kumat secara berkala. Dan suatu keberuntungan bagi kami karena lepas dari penjelasan mengenai rumus-rumus matematika (yang sebenarnya brilian, tapi sayangnya tidak masuk ke otak pas-pasan saya ini) dan bau tembakau (sumpah deh, baunya rokok banget. Parfum aja ada citabau tembakaunya. Rasanya kaya berhadapan dengan petani tembakau, atau juragan tembakau, atau justru mesin pengolah tembakaunya).
Dan seperti biasa, kami semua bertingkah gila. Ada yang keluar kelas, ada yang sepakbola di dalam kelas, ada yang ngutak-atik komputer, ada yang ngerumpi... (Jelas, saya masuk yang bagian terakhir itu).
Tapi kemudian saya mendengar ribut-ribut di luar. Penasaran, saya berjalan menghampiri jendela, dan membukanya. Segera seraut tangan muncul dengan Teh Botol Sosro versi kotak yang sudah peyot dan habis tergenggam di tangan. Masih ada isinya sedikit, terbukti dari tehnya yang menetes-netes menjijikkan lewat sedotan.
Tahu apa yang kemudian apa yang kemudian terjadi?
Tangan itu melemparkan kotak minuman itu ke wajahku.

Ke wajahku.
Kotak minumannya.
Dengan sisa teh yang menetes-netes.
Dilempar.
Ke wajahku.
Sampai airnya muncrat ke wajah.
MENETES-NETES.
KE WAJAHKU.
KE WAJAHKU!!!

Orang yang kenal baik dengan saya tentu saja mengerti apa yang akan seorang Muhammad Akib Aryo Utomo lakukan. Dengan wajah syok dan murka serta mulut ternganga, saya ambil kotak minuman itu dan melongok keluar jendela. Seraut wajah hitam yang sudah sangat saya kenal tampak menatap saya dengan sorot mata sama terkejutnya.
Itu wajah Fitri.
Langsung saja saya lari--dan dia juga lari. Bedanya saya lari sambil menjerit marah, Fitri lari sambil menjerit ngeri (atau justru geli? Sialan). Juga saya mengambil botol Aquaria sementara Fitri dengan tangan kosong. Bukan cuma marah; kalau di Bahasa Inggris bukan cuma angry, tapi sudah sampai furious. Dan di lapangan saya menemukan mereka: Fitri, Ratih, dan Merlyn, semuanya ternganga ngeri (atau, sekali lagi, geli?) menghadapi saya yang marah.
Lalu saya berlari sambil mengejar Fitri.
Fitri menjerit-jerit, dan saya terus mengejar. Saya buka botol Aquaria, dan sedetik kemudian melomparlah air dari dalam botol itu dalam koreografi cantik bertaburan sinar matahari, langsung ke arah Fitri. Dalam sekejap ia pun basah--dan dalam kebasahan, berdusta, "Ratih kok yang nyuruh!"
Bukan salah saya kalau kemudian saya balik menyerang Ratih. Tahu apa saya mengenai Konspirasi Menyerang-Akib-dengan-Kotak-Minuman-Bekas-yang-Masih-Basah? Tahu apa saya mengenai siapa dalangnya dan siapa yang menjadi pelaksananya? Saya kan hanya korban? Dan tahu apa saya kalau Ratih ternyata korban lidah-dustanya Fitri?
Maka... yah, saya menyerang Ratih. Sekali lagi air menari di udara dengan cantiknya, kali ini membasuh Ratih dengan kesegarannya. Tapi korban tidak berdosa ini akhirnya menuntut demi atraksi menakjubkan yang saya persembahkan baginya.
"Kok aku yang disiram?" serunya, menjerit-jerit dalam histeria. "Kan Fitri sama Merlyn yang punya ide! Aku 'kan tidak berdosa, sama sekali putih seperti bagian putihnya lincung ayam!"
Merlyn, mendengar hal ini, segera berlari.
Mungkin kalian sudah bosan, tapi ya, air menari kembali ke arah Merlyn. Gadis itu (ya kalau dia ternyata emang cewek) dengan suara a la puteri-puteri Taman Lawang saat dikejar-kejar Satpol PP sewaktu razia. Namun dari belakang seseorang menyiram saya--Fitri.

Menyerang balik sebuah pembalasan berarti satu: PERANG!

Saya siram balik gadis itu dengan air yang tersisa dalam botol Aquaria saya. Tapi ia kemudian balas menyerang, begitupun Merlyn. Terjadilah pergulatan sesaat yang tidak enak dilihat, dan akhirnya sumber air minum berhasil saya raih...
...yang ternyata botol air minum Ratih.
Tapi Fitri terus berusaha merebut. Saya pun segera kabur pergi, dengan tiga orang itu mengejar di belakang saya: Fitri, masih berusaha mengambil botol air minum ratih demi menyiram saya; Ratih, berusaha merebut botol air minumnya, dengan suara menyayat daging ayam potong menjerit, "Minumku..."; dan Merlyn, entah untuk apa, mungkin cuma buat ikut-ikutan doang.
Di depan Ruang Guru saya berhenti. Tepatnya, di depan kolam ikan di depan Ruang Guru. Saya berdiri di sampingnya dengan botol berada tepat di atas permukaan airnya. Saya tinggal melemaskan jari dan... plung, botol minum itu akan mengambang di atasnya, menjadi teman baru bagi ikan-ikan koi dan ikan mas yang ada di dalamnya.

"Kalian mulai lagi," ancamku, "tak lempar ini botol ke kolam."
"Jangan," rengek Ratih. "Jangan lempar botol minumku... Itu satu-satunya temanku, setelah headsetku tercinta raib ditelan bumi..."
"Akib, jij* jangan kayak gitu! Ik--maksud ik, akika--mau jij kembaliin botol minumnya Ratih! Jij mengerti?" perintah Merlyn dengan angkuhnya.
"Aku tak bisa hidup tanpa botol minumku..."
"TERSERAH!" teriakku. "Pokoknya bilang dulu siapa yang mu--"
Slat. Fitri berusaha mengambilnya. Langkah yang salah.
"BERHENTI!" jeritku. "Berhenti! Ratih juga jangan mewek mulu, mukamu yang udah benyek jadi tambah mblenyek tahu! Pokoknya Fitri sama Merlyn minta maaf dulu, baru botol minummu aku kembaliin!"

Tapi Fitri terus berusaha merebut. Tidak ada jalan keluar--salah. Ada jalan keluar.
Jadi saya keluar lewat itu jalan keluar.
Well, Fitri terus berusaha mengejar. Begitu pula Ratih dan Merlyn. Saya berusaha menghindar--tapi Fitri terus bertindak anarkis. Mencakar-cakar dan menjegal, seperti pasien Pakem ikut jadi demonstran menolak-kenaikan-harga-sembako. Seandainya saja saya polisi, lengkap dengan gas air mata, tentu sudah saya semprotkan--tapi itu masalahnya, saya tidak punya gas air mata. Tapi... ah, tak ada rotan, kayu jati pun jadi kursi. Maka saya siramkan air dalam botol air minumnya Ratih.

(Backsound: "TIDAAAK...!!!" jerit Ratih seraya jatuh berlutut.)

Tapi... bubur sudah menjadi nasi (???).
Basah kuyuplah Fitri. Benar-benar basah. Tapi, seperti seorang pejuang, dengan berani Fitri berlari maju. Kali ini Merlyn ikut. Jadi saya siram lagi.

("OH, MINUMKU...!!!")

Habis sudah minumnya, dan basah kuyuplah mereka.
Kami semua berdiri dalam baju yang sangat basah, menatap satu sama lain dengan pandangan yang berbeda. Fitri terperangah, tidak jelas antara geli atau entah-apa; Merlyn tampak marah dengan geje seperti biasanya; Ratih hampir pingsan; saya masih murka, mungkin wajah saya pada saat itu sudah berubah menjadi wajah topeng monyet--maksud saya, topeng leak.
Yang terjadi sesudahnya tidak perlu diceritakan dengan detil. Saya kembalikan botol minum Ratih yang kini kosong sementara dia tersedu-sedan. Fitri dan Merlyn mencak-mencak dan mengomel-omel; saya balas dengan marah-marah dan bentak-bentak. Kami semua muntab pokoknya. Tapi kemudian kami berpisah satu sama lain, karena saya dikejar waktu untuk pertemuan MPK, dan Fitri-Ratih-Melryn untuk entah-apa. Pokoknya kami berpisah.
Saya kira segala masalah akan diselesaikan waktu seperti biasanya.
Tapi kemudian saya sadar bahwa saya salah.

***

Empat hari liburan, ditambah satu hari Minggu, berlalu sudah. Saya dan Merlyn pergi ke Bandung (ceritanya nanti). Hari Jumat, Merlyn sudah masuk--saya tidak. Pencernaan saya tampaknya belum sepenuhnya pulih dari shock teraphy selama di Bandung (sekali lagi, ceritanya nanti). Akibatnya, saya mendapatkan infeksi di pencernaan, entah di organ yang mana. Yang pasti saya kemudian tidak masuk dua hari.
Hari Senin saya kembali.
Tidak banyak yang bisa diceritakan. Teman-teman menagih oleh-oleh dan cerita. Saya hanya bawa cerita karena oleh-olehnya ketinggalan di rumah. Kemudian orangtua saya tiba dan, secara mengejutkan, membawa oleh-oleh yang ketinggalan. Pulang sekolah oleh-oleh langsung ludes. Dan saya pulang.
Tidak ada yang istimewa, jujur. Kecuali bahwa saya merasa hari saya sepi...
...dan bahwa Ratih serta Fitri diam saja, tidak banyak merespon pertanyaan saya. Saya pikir itu hanya karena saya baru pulang liburan... hingga besoknya saya sadar, mereka masih diam. Dan Fitri bertambah temperamental setiap kali ada saya.
Aneh sekali. Dalam hati saya bertanya, apakah obat kedua teman saya habis? Jadi mereka kumat? Perlukah saya memesan obat pada psikiater RSJ Pakem untuk menyembuhkan mereka?
Mereka tetap diam.
Saya sudah tidak tahan. Saya tidak tahu mengapa mereka tahu-tahu diam begitu, dan ini sungguh sangat tidak enak. Jujur, saya kadang-kadang merasa hanya merekalah yang bisa menerima saya apa adanya. Hanya dengan mereka saya bisa nyambung, bisa bertingkah gila...
...hanya dengan mereka saya bisa merasakan sebuah persahabatan.
Maka saya pun bertanya dengan mereka, ada apa?

"Kamu inget hari Jumat dua minggu yang lalu, sebelum kamu pergi ke Bandung?" sembur mereka bersamaan.
Hmm? Emang ada apa?
"Inget-inget lagi dong! Kamu ngapain kita sampai basah kuyup kaya tongkol di laut!" sembur mereka lagi, lebih tidak sabar.
Tongkol? Perasaan di Bandung aku nggak ke pasar ikan...
"PUTAR TUH OTAAAK!!!" jerit mereka frustrasi.
Basah kuyup...
Dan semua ingatan itu kembali: kotak Teh Botol yang masih basah, botol aquaria, tarian air, botol Tupperware-nya Ratih...
Oh.
"Pasti yang waktu kita basah-basahan itu, ya?" jawab saya, setengah bangga dan geli. Kesalahan terbesar saya.
Setelah itu mulailah mereka muntab pada saya, berkeluh kesah betapa kurangajarnya saya karena telah menyiram mereka dengan air. Merlyn tidak ikut-ikut--monyongnya sudah saya gembok di Bandung. Kemudian mereka sibuk mengancam saya dengan berbagai bayangan mengerikan tentang hukuman yang harus saya jalani.
Jujur, lama kelamaan saya sendiri marah. Saya bisa menerima kemarahan besar Ratih karena air minumnya dihabiskan untuk hal-hal yang mubazir. Tapi, Fitri? Bagaimana bisa dia lebih marah daripada Ratih? HALO?! Kalau boleh saya bertanya, SIAPA YANG MELEMPAR SAYA DENGAN KOTAK MINUMAN DULUAN? SIAPA YANG MENYIRAM BALIK SAYA DENGAN AIR MINUM? SIAPA, SIAPA?! Di sinilah saya benar-benar sakit hati sama Fitri. Apa dia tidak tahu, betapa sakit hatinya saya? Bahwa dia bahkan tidak minta maaf? Bahwa saya sudah memaafkan dia karena lemparan kotak minumnya, bahkan melupakannya secara penuh? Tapi bagaimana bisa dia menghakimi saya lebih parah daripada orang yang berhak murka kepada saya?
Tapi saya hanya diam. Saya tidak ingin memperburuk keadaan, bahkan jika batin saya terus meronta meminta secuil pengertian dari Fitri. Untung Ipeh terus memberi guyonan segar untuk saya, sehingga saya bisa merasa lebih baik.
Sisa hari itu dihabiskan dengan saya minta maaf kepada mereka dan mereka diam kepada saya. Saya akhirnya menyerah. Mereka boleh marah kepada saya, saya tidak akan menolak. Jika itu satu-satunya hal yang harus saya lakukan agar pertemanan--atau bagi saya, persahabatan--kami tidak runtuh, saya menerimanya dengan lapang dada.
Kemudian datang SMS dari Ratih. Isinya:

Lari keliling sekolah dua kali waktu pulang sekolah.

Waits.
Aku tahu mereka marah dengan saya, dan mereka berhak menjatuhkan hukuman, tapi LARI KELILING SEKOLAH?! DUA KALI?! DAN WAKTU PULANG SEKOLAH??!! Apakah itu bukan kejam namanya? Di tengah siang bolong yang panas, lari-lari keliling sekolah pakai baju seragam lengkap, dan dilihat orang banyak?
Saya jelas lebih memilih proposal pengampunan yang saya ajukan di mana mereka harus datang ke rumahku dan saya masakkan pancake.
Tapi saya harus menerima hukuman saya.
Dan begitulah. Pukul 12.30, bel pulang sekolah berbunyi. Sementara Ratih dan Fitri serta anak-anak cewek lainnya menonton film Camp Rock, saya menyelesaikan urusan-urusan saya dahulu. Kemudian saya menyentil mereka... dan dengan girangnya mereka mengiringi saya keluar gerbang sekolah. Mereka tertawa-tawa, sementara Fitri melompat-lompat bahagia... dan saya?
Persis seperti narapidana hendak dibawa ke guillotine.
Dan di depan gerbang, PRIIT!!!
Mulailah saya berlari.
Segalanya tepat seperti yang sudah saya tebak. Orang-orang memperhatikan saya saat saya berlari--dan, masya Allah; benar-benar ada banyak orang-orang. Kerumunan di depan gerbang sekolah; kerumunan di shelter bus Transjogja; grup siswa yang berjalan menuju parkir motor mereka di DKT; kerumunan pengendara yang lalu lalang di jalan raya; dan tentu saja, yang paling parah, kerumunan penikmat mie ayam dan soto di belakang sekolah yang bukan saja murid SMP 5, namun juga orang-orang lain yang datang untuk makan!
Pada saat putaran pertama mereka tampaknya biasa-biasa saja. Mungkin mereka mengira saya sedang mengejar seseorang. Kemudian, saat saya kembali ke titik temu dengan Fitri dan Ratih, orang-orang tampaknya mulai bertanya-tanya saat mereka tertawa dan saya mengomel. (Sialan banget nggak sih. Sementara saya merana, Fitri dan Ratih itu justru beli es camcau yang manis dan segar itu sambil duduk-duduk! Murka saya jadinya!)
Tapi sewaktu putaran kedua... Sungguh, orang-orang mulai memperhatikan saya. Pandangan mata mereka seakan berkata, "Ini anak ngapain sih, lari-lari dua kali siang bolong begini? Saraph apa ya?" atau "Ih, kurang kerjaan banget! Lari kok siang-siang," atau justru "Ada pasien RSJ kabur nih."
Hampir-hampir saya tewas dua kali: tewas kecapekan dan tewas karena malu.
Tapi akhirnya putaran kedua mencapai akhir... Dan saya segera berlari sekuat tenaga ke arah Fitri dan Ratih yang duduk bersila di tempat tongkrongan anak kelas Bhe, di telepon umum. Mereka tertawa-tawa bahagia, lepas sekali, sementara es cam cau di tangan mereka berguncang-guncang. Sementara saya, ngos-ngosan habis, lapar luar biasa dan haus tak terkira. Dan mereka hanya tertawa. Tertawa.
Kami kembali ke kelas. Saya masih kehabisan napas. Sementara teman-teman saling pandang bingung, saya masuk dan mengambil tas. Di luar kelas, Fitri dan Ratih--dengan sangat bangganya--mendeklarasikan kemenangan mereka atas saya kepada teman-teman, yang segera saja bergabung dengan mereka dalam koor tawa serta godaan. Mereka menyoraki saya, menertawakan saya; sementara saya hanya bisa terkulai lemas di lantai. Pokoknya lemas. Sampai nyaris tidak bisa jalan.
Dan terutama...
MALU ABISS!!!

***

Begitulah kisah saya saat saya dikerjain kedua teman saya habis-habisan. Wah, pokoknya tidak terbayang deh, rasanya campur-campur jadi satu. Antara marah, geli, malu... Pokoknya benar-benar seperti gado-gado. Atau justru salad. Yang pasti segalanya bercampur jadi satu.


Tapi, Fitri, Ratih, aku sama sekali nggak marah sama kalian. Nggak sama sekali. Semua ini aku lakuin karena aku sayaaang banget sama kalian: Fitri, Ratih, Ipeh, bahkan Merlyn juga. Aku tahu kadang-kadang ada perbedaan di antara kita, tapi kalian semua harus mengerti bahwa seharusnya kita bisa menerima perbedaan satu sama lain. Aku juga tahu ada beberapa di antara kalian yang tidak bisa menerima satu sama lain sebagai sahabat; tapi kalian perlu tahu, bahwa aku sayaang sama kalian semua. Aku nggak bisa pilih kasih sama kalian.
Aku tahu bagi kalian, aku mungkin bukanlah seorang sahabat. Aku memiliki banyak kekurangan. Aku kadang-kadang lebay banget dan lidahku terlalu tajam; tapi kalian perlu tahu, aku nggak pernah ingin menyakiti kalian. Aku minta maaf bila aku pernah punya salah. Ini benar-benar tulus dari hatiku yang paling dalam, walau klise banget, memang. Oh, demi Allah, aku benar-benar sayaaaaaaaaaang sama kalian. Kalian bisa menerima aku apa adanya, memberi aku support, dan tempat aku bisa gila-gilaan bareng. (Oke. Mungkin aku doang yang gila menurut kalian. Whatever.)
Dan, kalian perlu tahu, apapun kekurangan kalian aku akan tetap sayang sama kalian. Karena meskipun mungkin kalian tidak pernah menganggapku seorang sahabat, aku akan selalu menganggap kalian sahabatku.
Dan itu cukup bagiku.


Dan itu adalah alasan mengapa post ini diberi judul 'Persahabatan': karena bagiku, post ini adalah sebuah memento atas persahabatan kita.





____________________________________________________________________
*Bahasa Belanda. Ik (dibaca 'eik') berarti 'saya'. Jij (dibaca 'yey') berarti 'kamu'. Biasa dipakai Merlyn dan pengikutnya di Taman Lawang. Kadang-kadang Ik dibaca Eke, kadang-kadang justru diplesetin jadi Akika.

Wednesday, April 22, 2009

What You've Done for the Earth?

Setiap Hari Ibu kita memberi kado pada mereka yang kita sebut ibu

Setiap Hari Peringatan Kemerdekaan kita memperingatinya semeriah mungkin, dengan berbagai lomba dan perayaan

Setiap Hari Kartini kita berdandan seindah mungkin, mengingat perjuangannya memerdekakan wanita

Tetapi mengapa Hari Bumi terlupakan?

Bukankah Bumi yang memberi kita kehidupan?
Di manakah kita akan hidup setelah Adam dan Hawa diusir dari Firdaus, bila bukan di Bumi?
Bagaimana mungkin semua ibu lahir dan hidup, bila Bumi tiada?
Bagaimana mungkin Kartini muncul, memperjuangkan ideologinya dan membangkitkan wanitanya yang lain, bila Bumi mati?
Bagaimana mungkin Indonesia merdeka, bila tanah Nusantara ini mati seperti juga buminya?

Ayolah.
Kita selalu memperingati berbagai perayaan dengan meriah
Mengapa kita tidak memperingati Hari Bumi?
Berbuatlah satu hal saja yang berguna bagi bumi
Tunjukkan bahwa kalian menyayangi Bumi ini,
yang telah menghidupi ibu kalian
yang telah menghidupi para Kartini
yang telah menjadi tulang punggung Nusantara
yang telah menghidupi para pejuang kemerdekaan
yang telah menghidupi semua makhluk hidup
yang telah menghidupi manusia
yang telah menghidupi KALIAN



Jadi apa yang telah kalian lakukan bagi bumi?



Coretan yang tidak bermutu ini dipersembahkan oleh M. Akib

Saturday, April 18, 2009

Racau dan Rajuk

Di manakah kutemukan cahaya?

Apa yang kulihat hanya kegelapan sepekat tinta
yang bahkan menelan malam dalam tegukan
mematikan
Apa yang kulihat kemunafikan mengerikan,
racun dari semua racun dan cadar semua cadar,
penyembunyi inti dunia yang mulai pudar
dan tenggelam
Semuanya kesedihan dan kepedihan
Kekosongan, kehampaan
Tidak lebih dan tidak kurang

Aku tahu aku menjijikkan
dengan segala keluh kesah ini
membuatku menjadi seorang
perajuk, tanpa rasa terima kasih sedikitpun
Selalu melihat yang gagal dan mengingatnya
tapi buta dan terbiasa melupakan yang indah

Yang menguatkan
Yang membuat hidup
Yang membuat abadi

Aku marah pada diriku dengan segala
kemurkaan yang mungkin ditanggung
Aku marah pada dunia dan semua orang
yang bisa aku sembur dengan api berbisa,
bahkan sekalipun ia sama tidak ternodanya
dengan dandelion di minggu pertama musim semi

Mengapa aku menjadi seperti ini?
Menjadi seorang peracau hina dina,
membicarakan hal-hal yang nista dan tidak berguna,
tidak bermanfaat dan remeh,
sampah-sampah paling tidak penting di dunia

Kosong. Selalu kosong. Itu saja yang kubicarakan.
Apakah aku memang suatu kekosongan, bualan kentut terbesar di dunia?
Apakah seluruh dunia juga bualan kentut?
Apakah aku memang tidak bisa menemukan suatu emosipun, motivasi pembangkit jiwa?
Terdengar bijak, tapi jangan dengarkan ular; mereka menipu Adam-Hawa
Dan meski terdengar kuat, sesungguhnya serapuh ranting-ranting musim gugur

Aku tidak butuh kata-kata menggurui, seakan-akan yang bicara
adalah figur paling hebat, yang mendikte perintah pada dunia
seakan-akan ia adalah Buddha
seakan-akan ia adalah Muhammad
seakan-akan ia adalah Almasih
seakan-akan ia adalah para pemilik pengetahuan besar dengan ideologi brilian
Aku sudah mempunyai kakak yang selalu menyedakku dengan bualan "bijak"nya
Aku tidak butuh figur kakak seperti itu lagi

Aku tidak butuh figur guru
Terlalu banyak guru yang mencekokiku dengan
saran-saran dan beragam ideologi
namun tiada satu pun yang bisa menolong



Puisiku ini memang kosong, tidak bermakna
hanya berisi kemarahan, kehinaan, dan kekacauan
yang meletup-letup seperti sup kodok dalam kuali
Sekali lagi, sampah, dimuntahkan dari mulut dengan begitu menjijikkan
Kumpulan kata-kata hina, bait-bait kotor, kalimat nista

Semuanya hanya luapan bodoh tanpa estetika

Jadi pergi sajalah jika kau mau mengkritik, daripada kau dianggap bodoh
Karena mau membaca racauan si gelandangan malam