Thursday, May 7, 2009

Persahabatan

Jujur, sebenarnya cerita ini tidak sedalam judulnya. Malah, cerita ini akan konyol sekali. Hal ini terjadi pada hari Selasa, 5 Mei 2009, kemarin. Saya dikerjain oleh dua teman saya yang merupakan spesies manusia paling unik, antik, dan ajaib dalam peradaban manusia--Ratih dan Fitri! Dikerjain habis-habisan. Dikerjain. Habis-habisan. Kalau perlu harus ditebalkan sekalian: Dikerjain. Habis-habisan.
Tapi mari kita mundur dahulu ke hari Jumat tanggal 24 April 2009 untuk memperjelas ceritanya...

***

Hari itu kami sedang girang-girangnya. Mengingat minggu depannya kami semua akan libur panjang. Kakak kelas akan mengikuti Ujian Nasional selama sekitar empat hari; dan hari itu jam pelajaran dikorting sepuluh menit karena akan ada doa bersama para calon peserta Ujian tersebut (kalau tidak salah), sehingga kami pulang sekitar pukul 10.30.
Jam terakhir, Matematika. Pak Raphael tidak masuk kelas pada saat itu. Biasalah, Ki Gendeng Krismanto memang kadang-kadang (atau seringkah?) membolos--kenakalan sekolahnya rupanya tidak sembuh-sembuh dan kumat secara berkala. Dan suatu keberuntungan bagi kami karena lepas dari penjelasan mengenai rumus-rumus matematika (yang sebenarnya brilian, tapi sayangnya tidak masuk ke otak pas-pasan saya ini) dan bau tembakau (sumpah deh, baunya rokok banget. Parfum aja ada citabau tembakaunya. Rasanya kaya berhadapan dengan petani tembakau, atau juragan tembakau, atau justru mesin pengolah tembakaunya).
Dan seperti biasa, kami semua bertingkah gila. Ada yang keluar kelas, ada yang sepakbola di dalam kelas, ada yang ngutak-atik komputer, ada yang ngerumpi... (Jelas, saya masuk yang bagian terakhir itu).
Tapi kemudian saya mendengar ribut-ribut di luar. Penasaran, saya berjalan menghampiri jendela, dan membukanya. Segera seraut tangan muncul dengan Teh Botol Sosro versi kotak yang sudah peyot dan habis tergenggam di tangan. Masih ada isinya sedikit, terbukti dari tehnya yang menetes-netes menjijikkan lewat sedotan.
Tahu apa yang kemudian apa yang kemudian terjadi?
Tangan itu melemparkan kotak minuman itu ke wajahku.

Ke wajahku.
Kotak minumannya.
Dengan sisa teh yang menetes-netes.
Dilempar.
Ke wajahku.
Sampai airnya muncrat ke wajah.
MENETES-NETES.
KE WAJAHKU.
KE WAJAHKU!!!

Orang yang kenal baik dengan saya tentu saja mengerti apa yang akan seorang Muhammad Akib Aryo Utomo lakukan. Dengan wajah syok dan murka serta mulut ternganga, saya ambil kotak minuman itu dan melongok keluar jendela. Seraut wajah hitam yang sudah sangat saya kenal tampak menatap saya dengan sorot mata sama terkejutnya.
Itu wajah Fitri.
Langsung saja saya lari--dan dia juga lari. Bedanya saya lari sambil menjerit marah, Fitri lari sambil menjerit ngeri (atau justru geli? Sialan). Juga saya mengambil botol Aquaria sementara Fitri dengan tangan kosong. Bukan cuma marah; kalau di Bahasa Inggris bukan cuma angry, tapi sudah sampai furious. Dan di lapangan saya menemukan mereka: Fitri, Ratih, dan Merlyn, semuanya ternganga ngeri (atau, sekali lagi, geli?) menghadapi saya yang marah.
Lalu saya berlari sambil mengejar Fitri.
Fitri menjerit-jerit, dan saya terus mengejar. Saya buka botol Aquaria, dan sedetik kemudian melomparlah air dari dalam botol itu dalam koreografi cantik bertaburan sinar matahari, langsung ke arah Fitri. Dalam sekejap ia pun basah--dan dalam kebasahan, berdusta, "Ratih kok yang nyuruh!"
Bukan salah saya kalau kemudian saya balik menyerang Ratih. Tahu apa saya mengenai Konspirasi Menyerang-Akib-dengan-Kotak-Minuman-Bekas-yang-Masih-Basah? Tahu apa saya mengenai siapa dalangnya dan siapa yang menjadi pelaksananya? Saya kan hanya korban? Dan tahu apa saya kalau Ratih ternyata korban lidah-dustanya Fitri?
Maka... yah, saya menyerang Ratih. Sekali lagi air menari di udara dengan cantiknya, kali ini membasuh Ratih dengan kesegarannya. Tapi korban tidak berdosa ini akhirnya menuntut demi atraksi menakjubkan yang saya persembahkan baginya.
"Kok aku yang disiram?" serunya, menjerit-jerit dalam histeria. "Kan Fitri sama Merlyn yang punya ide! Aku 'kan tidak berdosa, sama sekali putih seperti bagian putihnya lincung ayam!"
Merlyn, mendengar hal ini, segera berlari.
Mungkin kalian sudah bosan, tapi ya, air menari kembali ke arah Merlyn. Gadis itu (ya kalau dia ternyata emang cewek) dengan suara a la puteri-puteri Taman Lawang saat dikejar-kejar Satpol PP sewaktu razia. Namun dari belakang seseorang menyiram saya--Fitri.

Menyerang balik sebuah pembalasan berarti satu: PERANG!

Saya siram balik gadis itu dengan air yang tersisa dalam botol Aquaria saya. Tapi ia kemudian balas menyerang, begitupun Merlyn. Terjadilah pergulatan sesaat yang tidak enak dilihat, dan akhirnya sumber air minum berhasil saya raih...
...yang ternyata botol air minum Ratih.
Tapi Fitri terus berusaha merebut. Saya pun segera kabur pergi, dengan tiga orang itu mengejar di belakang saya: Fitri, masih berusaha mengambil botol air minum ratih demi menyiram saya; Ratih, berusaha merebut botol air minumnya, dengan suara menyayat daging ayam potong menjerit, "Minumku..."; dan Merlyn, entah untuk apa, mungkin cuma buat ikut-ikutan doang.
Di depan Ruang Guru saya berhenti. Tepatnya, di depan kolam ikan di depan Ruang Guru. Saya berdiri di sampingnya dengan botol berada tepat di atas permukaan airnya. Saya tinggal melemaskan jari dan... plung, botol minum itu akan mengambang di atasnya, menjadi teman baru bagi ikan-ikan koi dan ikan mas yang ada di dalamnya.

"Kalian mulai lagi," ancamku, "tak lempar ini botol ke kolam."
"Jangan," rengek Ratih. "Jangan lempar botol minumku... Itu satu-satunya temanku, setelah headsetku tercinta raib ditelan bumi..."
"Akib, jij* jangan kayak gitu! Ik--maksud ik, akika--mau jij kembaliin botol minumnya Ratih! Jij mengerti?" perintah Merlyn dengan angkuhnya.
"Aku tak bisa hidup tanpa botol minumku..."
"TERSERAH!" teriakku. "Pokoknya bilang dulu siapa yang mu--"
Slat. Fitri berusaha mengambilnya. Langkah yang salah.
"BERHENTI!" jeritku. "Berhenti! Ratih juga jangan mewek mulu, mukamu yang udah benyek jadi tambah mblenyek tahu! Pokoknya Fitri sama Merlyn minta maaf dulu, baru botol minummu aku kembaliin!"

Tapi Fitri terus berusaha merebut. Tidak ada jalan keluar--salah. Ada jalan keluar.
Jadi saya keluar lewat itu jalan keluar.
Well, Fitri terus berusaha mengejar. Begitu pula Ratih dan Merlyn. Saya berusaha menghindar--tapi Fitri terus bertindak anarkis. Mencakar-cakar dan menjegal, seperti pasien Pakem ikut jadi demonstran menolak-kenaikan-harga-sembako. Seandainya saja saya polisi, lengkap dengan gas air mata, tentu sudah saya semprotkan--tapi itu masalahnya, saya tidak punya gas air mata. Tapi... ah, tak ada rotan, kayu jati pun jadi kursi. Maka saya siramkan air dalam botol air minumnya Ratih.

(Backsound: "TIDAAAK...!!!" jerit Ratih seraya jatuh berlutut.)

Tapi... bubur sudah menjadi nasi (???).
Basah kuyuplah Fitri. Benar-benar basah. Tapi, seperti seorang pejuang, dengan berani Fitri berlari maju. Kali ini Merlyn ikut. Jadi saya siram lagi.

("OH, MINUMKU...!!!")

Habis sudah minumnya, dan basah kuyuplah mereka.
Kami semua berdiri dalam baju yang sangat basah, menatap satu sama lain dengan pandangan yang berbeda. Fitri terperangah, tidak jelas antara geli atau entah-apa; Merlyn tampak marah dengan geje seperti biasanya; Ratih hampir pingsan; saya masih murka, mungkin wajah saya pada saat itu sudah berubah menjadi wajah topeng monyet--maksud saya, topeng leak.
Yang terjadi sesudahnya tidak perlu diceritakan dengan detil. Saya kembalikan botol minum Ratih yang kini kosong sementara dia tersedu-sedan. Fitri dan Merlyn mencak-mencak dan mengomel-omel; saya balas dengan marah-marah dan bentak-bentak. Kami semua muntab pokoknya. Tapi kemudian kami berpisah satu sama lain, karena saya dikejar waktu untuk pertemuan MPK, dan Fitri-Ratih-Melryn untuk entah-apa. Pokoknya kami berpisah.
Saya kira segala masalah akan diselesaikan waktu seperti biasanya.
Tapi kemudian saya sadar bahwa saya salah.

***

Empat hari liburan, ditambah satu hari Minggu, berlalu sudah. Saya dan Merlyn pergi ke Bandung (ceritanya nanti). Hari Jumat, Merlyn sudah masuk--saya tidak. Pencernaan saya tampaknya belum sepenuhnya pulih dari shock teraphy selama di Bandung (sekali lagi, ceritanya nanti). Akibatnya, saya mendapatkan infeksi di pencernaan, entah di organ yang mana. Yang pasti saya kemudian tidak masuk dua hari.
Hari Senin saya kembali.
Tidak banyak yang bisa diceritakan. Teman-teman menagih oleh-oleh dan cerita. Saya hanya bawa cerita karena oleh-olehnya ketinggalan di rumah. Kemudian orangtua saya tiba dan, secara mengejutkan, membawa oleh-oleh yang ketinggalan. Pulang sekolah oleh-oleh langsung ludes. Dan saya pulang.
Tidak ada yang istimewa, jujur. Kecuali bahwa saya merasa hari saya sepi...
...dan bahwa Ratih serta Fitri diam saja, tidak banyak merespon pertanyaan saya. Saya pikir itu hanya karena saya baru pulang liburan... hingga besoknya saya sadar, mereka masih diam. Dan Fitri bertambah temperamental setiap kali ada saya.
Aneh sekali. Dalam hati saya bertanya, apakah obat kedua teman saya habis? Jadi mereka kumat? Perlukah saya memesan obat pada psikiater RSJ Pakem untuk menyembuhkan mereka?
Mereka tetap diam.
Saya sudah tidak tahan. Saya tidak tahu mengapa mereka tahu-tahu diam begitu, dan ini sungguh sangat tidak enak. Jujur, saya kadang-kadang merasa hanya merekalah yang bisa menerima saya apa adanya. Hanya dengan mereka saya bisa nyambung, bisa bertingkah gila...
...hanya dengan mereka saya bisa merasakan sebuah persahabatan.
Maka saya pun bertanya dengan mereka, ada apa?

"Kamu inget hari Jumat dua minggu yang lalu, sebelum kamu pergi ke Bandung?" sembur mereka bersamaan.
Hmm? Emang ada apa?
"Inget-inget lagi dong! Kamu ngapain kita sampai basah kuyup kaya tongkol di laut!" sembur mereka lagi, lebih tidak sabar.
Tongkol? Perasaan di Bandung aku nggak ke pasar ikan...
"PUTAR TUH OTAAAK!!!" jerit mereka frustrasi.
Basah kuyup...
Dan semua ingatan itu kembali: kotak Teh Botol yang masih basah, botol aquaria, tarian air, botol Tupperware-nya Ratih...
Oh.
"Pasti yang waktu kita basah-basahan itu, ya?" jawab saya, setengah bangga dan geli. Kesalahan terbesar saya.
Setelah itu mulailah mereka muntab pada saya, berkeluh kesah betapa kurangajarnya saya karena telah menyiram mereka dengan air. Merlyn tidak ikut-ikut--monyongnya sudah saya gembok di Bandung. Kemudian mereka sibuk mengancam saya dengan berbagai bayangan mengerikan tentang hukuman yang harus saya jalani.
Jujur, lama kelamaan saya sendiri marah. Saya bisa menerima kemarahan besar Ratih karena air minumnya dihabiskan untuk hal-hal yang mubazir. Tapi, Fitri? Bagaimana bisa dia lebih marah daripada Ratih? HALO?! Kalau boleh saya bertanya, SIAPA YANG MELEMPAR SAYA DENGAN KOTAK MINUMAN DULUAN? SIAPA YANG MENYIRAM BALIK SAYA DENGAN AIR MINUM? SIAPA, SIAPA?! Di sinilah saya benar-benar sakit hati sama Fitri. Apa dia tidak tahu, betapa sakit hatinya saya? Bahwa dia bahkan tidak minta maaf? Bahwa saya sudah memaafkan dia karena lemparan kotak minumnya, bahkan melupakannya secara penuh? Tapi bagaimana bisa dia menghakimi saya lebih parah daripada orang yang berhak murka kepada saya?
Tapi saya hanya diam. Saya tidak ingin memperburuk keadaan, bahkan jika batin saya terus meronta meminta secuil pengertian dari Fitri. Untung Ipeh terus memberi guyonan segar untuk saya, sehingga saya bisa merasa lebih baik.
Sisa hari itu dihabiskan dengan saya minta maaf kepada mereka dan mereka diam kepada saya. Saya akhirnya menyerah. Mereka boleh marah kepada saya, saya tidak akan menolak. Jika itu satu-satunya hal yang harus saya lakukan agar pertemanan--atau bagi saya, persahabatan--kami tidak runtuh, saya menerimanya dengan lapang dada.
Kemudian datang SMS dari Ratih. Isinya:

Lari keliling sekolah dua kali waktu pulang sekolah.

Waits.
Aku tahu mereka marah dengan saya, dan mereka berhak menjatuhkan hukuman, tapi LARI KELILING SEKOLAH?! DUA KALI?! DAN WAKTU PULANG SEKOLAH??!! Apakah itu bukan kejam namanya? Di tengah siang bolong yang panas, lari-lari keliling sekolah pakai baju seragam lengkap, dan dilihat orang banyak?
Saya jelas lebih memilih proposal pengampunan yang saya ajukan di mana mereka harus datang ke rumahku dan saya masakkan pancake.
Tapi saya harus menerima hukuman saya.
Dan begitulah. Pukul 12.30, bel pulang sekolah berbunyi. Sementara Ratih dan Fitri serta anak-anak cewek lainnya menonton film Camp Rock, saya menyelesaikan urusan-urusan saya dahulu. Kemudian saya menyentil mereka... dan dengan girangnya mereka mengiringi saya keluar gerbang sekolah. Mereka tertawa-tawa, sementara Fitri melompat-lompat bahagia... dan saya?
Persis seperti narapidana hendak dibawa ke guillotine.
Dan di depan gerbang, PRIIT!!!
Mulailah saya berlari.
Segalanya tepat seperti yang sudah saya tebak. Orang-orang memperhatikan saya saat saya berlari--dan, masya Allah; benar-benar ada banyak orang-orang. Kerumunan di depan gerbang sekolah; kerumunan di shelter bus Transjogja; grup siswa yang berjalan menuju parkir motor mereka di DKT; kerumunan pengendara yang lalu lalang di jalan raya; dan tentu saja, yang paling parah, kerumunan penikmat mie ayam dan soto di belakang sekolah yang bukan saja murid SMP 5, namun juga orang-orang lain yang datang untuk makan!
Pada saat putaran pertama mereka tampaknya biasa-biasa saja. Mungkin mereka mengira saya sedang mengejar seseorang. Kemudian, saat saya kembali ke titik temu dengan Fitri dan Ratih, orang-orang tampaknya mulai bertanya-tanya saat mereka tertawa dan saya mengomel. (Sialan banget nggak sih. Sementara saya merana, Fitri dan Ratih itu justru beli es camcau yang manis dan segar itu sambil duduk-duduk! Murka saya jadinya!)
Tapi sewaktu putaran kedua... Sungguh, orang-orang mulai memperhatikan saya. Pandangan mata mereka seakan berkata, "Ini anak ngapain sih, lari-lari dua kali siang bolong begini? Saraph apa ya?" atau "Ih, kurang kerjaan banget! Lari kok siang-siang," atau justru "Ada pasien RSJ kabur nih."
Hampir-hampir saya tewas dua kali: tewas kecapekan dan tewas karena malu.
Tapi akhirnya putaran kedua mencapai akhir... Dan saya segera berlari sekuat tenaga ke arah Fitri dan Ratih yang duduk bersila di tempat tongkrongan anak kelas Bhe, di telepon umum. Mereka tertawa-tawa bahagia, lepas sekali, sementara es cam cau di tangan mereka berguncang-guncang. Sementara saya, ngos-ngosan habis, lapar luar biasa dan haus tak terkira. Dan mereka hanya tertawa. Tertawa.
Kami kembali ke kelas. Saya masih kehabisan napas. Sementara teman-teman saling pandang bingung, saya masuk dan mengambil tas. Di luar kelas, Fitri dan Ratih--dengan sangat bangganya--mendeklarasikan kemenangan mereka atas saya kepada teman-teman, yang segera saja bergabung dengan mereka dalam koor tawa serta godaan. Mereka menyoraki saya, menertawakan saya; sementara saya hanya bisa terkulai lemas di lantai. Pokoknya lemas. Sampai nyaris tidak bisa jalan.
Dan terutama...
MALU ABISS!!!

***

Begitulah kisah saya saat saya dikerjain kedua teman saya habis-habisan. Wah, pokoknya tidak terbayang deh, rasanya campur-campur jadi satu. Antara marah, geli, malu... Pokoknya benar-benar seperti gado-gado. Atau justru salad. Yang pasti segalanya bercampur jadi satu.


Tapi, Fitri, Ratih, aku sama sekali nggak marah sama kalian. Nggak sama sekali. Semua ini aku lakuin karena aku sayaaang banget sama kalian: Fitri, Ratih, Ipeh, bahkan Merlyn juga. Aku tahu kadang-kadang ada perbedaan di antara kita, tapi kalian semua harus mengerti bahwa seharusnya kita bisa menerima perbedaan satu sama lain. Aku juga tahu ada beberapa di antara kalian yang tidak bisa menerima satu sama lain sebagai sahabat; tapi kalian perlu tahu, bahwa aku sayaang sama kalian semua. Aku nggak bisa pilih kasih sama kalian.
Aku tahu bagi kalian, aku mungkin bukanlah seorang sahabat. Aku memiliki banyak kekurangan. Aku kadang-kadang lebay banget dan lidahku terlalu tajam; tapi kalian perlu tahu, aku nggak pernah ingin menyakiti kalian. Aku minta maaf bila aku pernah punya salah. Ini benar-benar tulus dari hatiku yang paling dalam, walau klise banget, memang. Oh, demi Allah, aku benar-benar sayaaaaaaaaaang sama kalian. Kalian bisa menerima aku apa adanya, memberi aku support, dan tempat aku bisa gila-gilaan bareng. (Oke. Mungkin aku doang yang gila menurut kalian. Whatever.)
Dan, kalian perlu tahu, apapun kekurangan kalian aku akan tetap sayang sama kalian. Karena meskipun mungkin kalian tidak pernah menganggapku seorang sahabat, aku akan selalu menganggap kalian sahabatku.
Dan itu cukup bagiku.


Dan itu adalah alasan mengapa post ini diberi judul 'Persahabatan': karena bagiku, post ini adalah sebuah memento atas persahabatan kita.





____________________________________________________________________
*Bahasa Belanda. Ik (dibaca 'eik') berarti 'saya'. Jij (dibaca 'yey') berarti 'kamu'. Biasa dipakai Merlyn dan pengikutnya di Taman Lawang. Kadang-kadang Ik dibaca Eke, kadang-kadang justru diplesetin jadi Akika.