Thursday, July 14, 2011

Ini Bahagia


playing:
Florence and the Machine - Dog Days Are Over

Tak akan kubiarkan kau bunuh kebahagiaan ini.

Happiness hit her like a train on a track
Ada masa di mana aku terkungkung kesedihan, dipenjara kehancuran
Mulutku menyunggingkan senyum, tetapi tidak dengan hatiku
Selalu, ada yang kurang dan hilang, menyisakan sesuatu
Luka atau kekosongan, menganga
Coming towards her, stuck still no turning back
Cahaya yang kulihat selalu saja redup
Ada kabut yang menyelimutinya, matahari di balik selapis tipis awan
Syukur bukanlah untuk diucapkan; hati tidak mencecapnya
Aku sekosong, sehampa, setidak berguna cangkang kerang

She hid around the corner and she hid under the bed...
Kemudian aku merasakannya
Angin. Udara segar.
With every bubble she sank with her drink...
Ada sesuatu yang baru.
Cahaya.
Cahaya membuka mataku.
The dog days are over.
Kebahagiaan.
Jemariku menggenggamnya, lidahku mencecapnya
Paru-paruku menghirupnya, tubuhku meresapinya
Entah bagaimana, akhirnya aku melangkah
Run fast for your mother, fast for your father
Aku tidak tahu mulanya bagaimana, pembukaan dan proses
Tiba-tiba saja aku sudah berada di dalam, sebebas dan selepas awan
Angkasa biru cerah. Tiada berbatas, bebas
Dog days are over...
Di depanku, seluruh gerbang dan pintu terbuka lebar
Di sekitarku, tangan-tangan penuh kasih terulur, menyambut
Jiwaku terangkat dan diperbaharui
Dibasuh oleh sesuatu, dikasihi

And I never wanted anything from you
Tetapi, malam ini, hampir saja semuanya menjadi puing
Tatkala kau masuk ke dalam malam ini, kau yang sangat kuharapkan, segalanya meredup. Responmu, jawabanmu, bukan yang aku harapkan. Aku berharap kau menjadi bulan bagi matahariku, ikut menerangi hatiku yang tengah berpendar. Tetapi, justru, tanpa kau ketahui, sekali lagi, dan selalu, diam dan tumpah ruah emosimu meredupkan semuanya.

Oh.
Happiness hit her like a bullet in the back
Tetapi, dengarkan. Dengarkan!
Aku tidak mengharapkan sendiri. Aku mengharapkanmu, sangat
Namun; kata-kataku, karena kunyatakan
Tak akan kubiarkan kau bunuh kebahagiaan ini.
Struck from a great height...
Tidak! Tak akan pernah
Ketika aku meraihnya, aku tidak melepaskan
Kupilih untuk sendiri dan bahagia. Tanpa roman
Daripada menantimu dan tenggelam dalam tragedi
Dog days are over. Dog days are done.
Ketahuilah, meski kau tidak akan pernah tahu
Seperti kau tidak tahu betapa aku mati sendiri di sini
Sekarat, meregang perasaan, yang bisu tak terkatakan
Bahwa aku memilih

Meskipun belum kuputuskan, namun akan
Apabila menyimpan segalanya akan membunuh bahagiaku
Mematikan matahariku. Merobek angkasa biru lepas-ku.
Membakar padang bunga-ku. Melenyapkan sepoi musim semiku.
Memenggal tangan-tangan kasihku. Menenggelamkan semesta indahku.
Bahwa aku memilih
melepaskanmu

Biarkan aku sendiri darimu
Terpisah ragawi
Terputus rohani

Biarlah rasa ini mati, mati
Biarlah kisahku meregang sepi
Biarlah buku ini senantiasa kosong dan sunyi

Rela. Ikhlas.
Asalkan jiwa ini, hati ini
Segala matahari dan angkasa biru lepas
Padang bunga dan sepoi musim semi dan tangan-tangan terkasih; segala semesta
Hidup
Tumbuh
Berkembang

Sehingga, meskipun sendiri
Ragawi, rohani
Namun, bahagia

Bahagia.


end of playback

Sunday, July 10, 2011

Tatkala Aku Menjawab Bayang-bayang

Lama tidak berjumpa.

Ada tulisan, ditulis oleh seseorang, entah untuk siapa.
Ada tulisan, ditulis oleh dia yang kukenal, entah tentang siapa.
Ada tulisan, ditulis oleh dirinya, dia seorang, dia, yang tidak mampu aku lupakan.

Baru saja kubaca tulisanmu, dan mau tidak mau aku tersenyum simpul.
Tulisanmu, meskipun tidak memuaskan dahaga intelektualku, menghantam memoriku lebih dari apapun.
Mengapa? Karena di balik semua roman picisanmu, aku merasa melihat sebuah bayang-bayang.
Samar, tak dapat kuyakini apa itu.

Namun, entah kenapa, aku merasa bahwa tulisanmu itu tentang aku.

Kita pernah punya masa lalu, ya, aku tahu itu. Jangan pikir aku lupa karena aku tidak sebodoh itu untuk mengingkari yang dahulu.
Dan, demi apa, aku merasa bahwa itu semua cerita tentangku. Candamu selalu tersimpan..., eh?

Katakanlah, ini hanya egoku.
Beberapa orang pasti berkata, "Kib, kamu tuh ngelantur. Kamu kok sotoy banget, emang kamu yakin dia nulis tentang kamu?"
Rasionalisme ku pun berkata sama. Belum tentu kau menulis untukku. Mungkin untuk seseorang yang lain dari masa lalumu, yang kebetulan memiliki cerita yang sama.
Aku hanya melantur. Ge-er. Puisi itu bukanlah untukku.

Kenapa itu bukan untukku? aku bertanya.

Aku menjawab.
Karena kau bukanlah orang yang dipercaya.
Aku tahu ini menyakitkan dan kejam, tetapi itu kenyataannya. Sekeras apapun aku berusaha, aku tidak bisa mempercayaimu.
Kita berakhir karena ketidakpercayaan dan itu membekas dalam hatiku.

Kau seperti ular. Lidahmu bercabang. Ketika kau bilang kau sayang, sekeras apapun aku berusaha mengingkarinya, selalu ada setitik partikel dalam hatiku yang ragu.
Ragu.
Aku tidak bisa percaya kepadamu. Ini luka, atau mungkin insting.
Entahlah.

Itu kenyatannya.
Tetapi, mengapa aku masih berpikir bahwa puisimu itu untuk diriku?

Dengarkan, akan kujawab pertanyaanku, akan kuakui perasaanku.
Anggaplah ini jawaban pagi pertanyaanmu, respon bagi puisimu.
Atau setidaknya, anggaplah ini sebuah pengakuan, sebuah pesan perpisahan.

Dengar.
Aku memang tidak cukup berani mengakuinya, dan terlalu angkuh. Tetapi, ini kenyataannya.
Ketahuilah bahwa aku tidak akan pernah kembali kepadamu karena rasa sakit ini masih ada. Kau tidak akan mengerti dan aku pun tak akan dapat menjelaskan; tetapi memang ada luka dan itu menghentikan masa depan kita.
Ketahuilah pula bahwa aku cukup cerdas untuk tidak mengulang masa lalu karena aku mengenali masa depan: bahwa apabila kita bersama, harus selalu aku yang mengalah kepadamu, tunduk kepada keegoisanmu yang Bungsu.
Dan terutama, ketahuilah, bahwa aku akan maju ke depan. Aku akan menemukan penggantimu. Aku tidak akan membelenggu diriku seperti yang dirimu lakukan. Aku akan menemukan yang lebih baik dan aku akan menulis kisah baru bersamanya.

Tetapi, ketahuilah.

Bahwa aku masih memiliki rasa itu.
Aku masih menyayangimu. Bahkan, mungkin, bukan sayang.
Sebuah kata yang diawali dengan c.
Kata dengan c.
C. I. N...

Ah.
Sekeras apapun aku berusaha, aku tidak dapat melenyapkannya, menghapusnya, membunuhnya. Bahkan meskipun aku tidak bisa dibilang mengenalmu.
Tidak. Aku hanya dapat mengurungnya dalam sebuah penti, menguncinya, menggemboknya, merantainya; memenjarakannya dalam benteng terdalam, yang kemudian aku tenggelamkan ke palung terdalam lautan jiwa, bersama belati berbisamu.

Inilah pengakuanku, bahwa aku masih memiliki rasa untukmu.
Tetapi, rasa itu juga diikuti oleh tebasan pedang dan injeksi beracun, hingga aku harus memendamnya selamanya.

Kisah kita sudah berakhir dan aku tidak memiliki niat untuk memulainya kembali.
Tidak seperti dirimu, ketahuilah bahwa aku akan memulai kisahku lagi, suatu hari nanti, dengan orang lain.

Namun, kuharap pengetahuan ini cukup bagimu untuk memulai ceritamu sendiri, atau setidaknya bertahan dalam cerita lama kita yang berakhir ambigu bagimu.

Aku masih mencintaimu.

Cukupkan pengetahuan ini bagimu karena hanya ini yang bisa aku berikan kepadamu, setelah semuanya kau selesaikan. Aku tidak akan menjauh darimu; aku hanya akan me-nol-kan kisah kita. Aku akan meneruskan hidupku dan kau, dalam kapasitas apapun, tak akan kubiarkan merusaknya.

Selamat jalan, masa lalu.


P.S. : Puisimu lumayan juga, setidaknya benar-benar tulus. Sampaikan salam kepada yang kaumaksud dalam puisimu itu, semoga dia sehat dan bahagia seperti yang dia inginkan.

Sunday, May 22, 2011

Error. Confusion?

Ini akan menjadi tulisan terburuk. Lidahku kelu, jariku membatu, dan otakku beku saat ngilu menghunjam hatiku. Jujur, aku tak bisa berpikir.

Apakah aku telah menjadi seorang bajingan? Jujur, aku tidak mengerti. Oke, aku akui bahwa hari ini aku bangun dengan perasaan sangat aneh. Rasanya sehabis mabuk. Semalam diangkat hingga melambung tinggi, kemudian pada pagi hari dijatuhkan hingga merasa mual.

Dan kemudian aku menyapa orang-orang terdekatku. Semuanya berjalan cukup baik. Lalu aku menyadari bahwa orang-orang tidak se-welcome biasanya. Mengacuhkanku. Aku sungguh tidak mengerti, tidak. Hingga akhirnya aku pun diliputi rasa sedih, yang kemudian berkembang menjadi amarah.

Kekecewaan menumpulkan indera, mungkin. Aku menyesali amarahku, ya, tetapi aku sendiri tidak mengerti bagaimana aku bisa menjadi semarah itu. Sejujurnya, mengerti. Lebih ke menyesali, sejujurnya. Karena aku menyadari bahwa semuanya sudah salah dari awal.

Bukan hanya dia atau dia atau dia yang mengacuhkanku. Semua orang, tanpa terkecuali. Dan penyebabnya adalah aku. Jelas, aku, diriku! Bagaimana aku bisa yakin? Karena bukankah tindakan orang merupakan timbal balik tindakan kita? Maka bila mereka amat sangat tidak ramah dan suportif, itu karena aku sendiri telah berbuat brengsek.

Karena bukan hanya mereka-yang-di-siang-hari yang menanggapiku dengan buruk. Mereka-yang-di-malam-hari pun juga. Seakan-akan mereka muak kepadaku, muak melihatku... muak kepadaku. Ya Tuhan aku ingin menangis. Aku yang bersalah, pasti pasti pasti.

Tetapi, demi Tuhan, aku tidak mengerti. Aku sama sekali tidak merasakan tindakan jahat apapun hari ini. Ingin mencelakakan orang saja tidak. Sama sekali tidak ada keinginan buruk. Demi Tuhan, apa yang telah aku perbuat, memangnya?

Aku tidak tahu. Sama sekali tidak tahu. Aku sama sekali tidak tahu. Aku sama sekali tidak tahu. Aku sama sekali tidak tahu. Aku sama sekali tidak tahu. Aku sama sekali tidak tahu. Aku sama sekali tidak tahu. Aku sama sekali tidak tahu. Aku sama sekali tidak tahu.

Tuhan, aku hanya merasa bingung hari ini. Ada kabut dalam otakku, dalam diriku. Aku benar-benar merasa linglung hari ini. Bukan merasa jahat. Tetapi, oh, Ya Rabbi, apa salahku? Aku merasa bersalah. Namun, aku tidak tahu apa salahku.

Sungguh, Tuhanku, aku hanya bertindak sebiasa orang linglung hari ini. Aku tidak bermaksud menyakiti siapapun. Tetapi, mengapa orang-orang tersakiti? Apa salahku, Ya Rabbi? Aku tidak ingin tidak mensyukuri semuanya, aku takut kepada kutuk-Mu. Tetapi, mau tidak mau aku berpikir, mengapa aku selalu saja berbuat salah? Bahkan saat aku tidak memaksudkan apa-apa?

Aku ingin menangis, Tuhan. Aku sungguh bingung. Bahkan untuk mendeskripsikan masalahku pun aku tak dapat. Karena aku tak tahu, Ya Tuhan. Aku tak tahu apa salahku. Aku bersedia dihujat dunia asalkan mereka benar-benar menunjukkan salahku.

Tuhan, aku benar-benar sendirian sekarang. Jangan tinggalkan aku, Tuhan. Tolong jawab pertanyaanku, aku mohon.

Ataukah Kau seperti mereka, mengacuhkanku? Apakah itu berarti aku telah menyakiti-Mu?

Oh, demi apapun, aku tidak tahu lagi harus bagaimana.

Tolong...

Tuesday, May 10, 2011

Monochrome?

I’m writing once more:

This thing happens sometimes.


I found a spare time when I can sit down and relax. Like a me-time.

And in that time, something strange happened.


I kept being still and quiet, while world outside moving slowly around me. Laugh and shoutings become an emotionless echoes of silence; faces become empty and colors sucked out.

Red, pink, and blue seen as grey in my eyes; while rainbow only show the colors of shadow.


I retreated from the world and went into my mind.

But where imagination used to roam—where fairies and dragons used to live—had changed into mists and ruins. No, it’s not ruins. Their shape was too dreadful to be called as ruins.

It’s an abstract thing, a monotone matter, that spinning like a whirl of cloud. With no shape. No intention. No color. Nothing.

Then it felt like my body got crushed and my bones were destroyed. Something stabbed my heart so deep, until it reach my heart’s deepest core. The pain that came spread into my nerves—it paralyzed my body and brain.

Then, I close my eyes, and air around me had weight—and I were too weak to feel it.


I couldn’t breath.


***


What’s wrong with me?

I don’t understand. It didn’t have any connection with my problems. Even though I haven’t did it, I’ve found the way to solve them. But, that happens when I’m not thinking any of my problems. It’s always become the time when I feels like strangled. Everything around turned heavy. But I’m not feeling pain—I mean, I do feel the pain like physically, but not emotionally. My skin does; my brain doesn’t.

I fell down silently—but I didn’t realized that I did.


Weird, isn’t it?

What describe that kind of feeling best? Ignorance? Emptiness? Confusion? Depression? Crumbling? Dementia?

I don’t know, friend, I don’t know.


***


But it’s seems relieving if my body destroyed into dust and dissolved with the air.


Poof.

Sunday, January 16, 2011

Resolusi Tahun Baru


Januari 2011 sudah habis separuh dan saya baru menuliskan resolusi tahun baru saya. Beberapa orang akan berkata, "Hey, kau terlambat." Namun, saya percaya bahwa untuk bermimpi dan berubah tidak pernah terlambat.

Jadi, mengenai resolusi 2011...
Membahas mengenai resolusi 2011, tidak lepas dari hal-hal yang telah saya lakukan di tahun 2010. Harus saya akui bahwa saya mengalami banyak perubahan di tahun 2011. Pergantian dari SMP ke SMA, tidak dapat dipungkiri, adalah sebuah transisi yang amat berpengaruh dalam kehidupan saya. Ada banyak keputusan yang harus diambil, ada banyak perubahan yang harus dibuat.
Sejujurnya, 2010 adalah tahun yang sangat berat bagi saya. Ada banyak tekanan dari berbagai aspek kehidupan saya yang benar-benar merobohkan pondasi benteng kehidupan saya. Dinding-dinding yang saya bangun selama 16 tahun kehidupan saya remuk redam, tercerabut hingga ke akar-akarnya. Saya benar-benar mengalami apa yang orang-orang sebut “rollercoaster phase”—diangkat setinggi-tingginya, kemudian dihunjamkan ke tanah. Saya seperti orang hilang—tanpa arah, tanpa tujuan, tanpa teman, tanpa pedoman.
Di tahun 2010, saya benar-benar kehilangan pegangan.
Tetapi, justru kini saya menyadari bahwa penghancuran tersebut penting. Benteng perlindungan saya memang perlu dirobohkan. Mengapa? Karena kini saya sudah berada di dunia yang jauh berbeda dari dunia saya 15 tahun lalu: saya berada di ambang dunia kedewasaan, di mana saya harus meninggalkan semua proteksi imajinasi masa kecil dan melangkah menghadapi dunia nyata. Saya harus keluar dari rumah kerang saya, saya harus pergi dari benteng saya; semua agar saya benar-benar tumbuh menjadi manusia dewasa sebijaksana dan sematang mungkin.
2010 adalah perobohan. 2011 adalah pembangunan kembali. Tahun ini adalah tahun megatransisi. Di tahun inilah saya akan—dan harus—membangun pondasi bagi bentuk saya di masa-masa mendatang. Sekarang saya harus mematangkan segala pembelajaran yang saya dapatkan selama 1994-2010 serta mengadaptasikannya dalam kehidupan saya yang baru.
Oleh karena itu, langkah pertama yang saya lakukan untuk mengawali pembangunan benteng saya adalah dengan mengosongkan resolusi 2011 saya.
Saya membuat begitu banyak resolusi di 2010. Beberapa berhasil; namun, banyak yang tidak. Bukan berarti saya tidak mensyukuri pencapaian-pencapaian saya, yang tidak bisa dibilang sederhana. Namun, memang itu kenyataannya. Ironis bahwa, sekarang, saya menyadari bahwa hal-hal tersebut tidak terkabul justru karena saya terlalu memikirkannya; membicarakannya; mengejarnya. Istilah gamblangnya, menjadikan mimpi saya tersebut beban—sesuatu yang amat bertentangan dengan kepribadian saya sebagai manusia bebas. Maka, alam bawah sadar saya menentangnya; dan tiada tercapailah mimpi-mimpi tersebut.
Maka saya memutuskan untuk membiarkan semuanya mengalir. Saya akan membuat berbagai rencana, saya akan menjalani berbagai kegiatan; namun, saya tidak akan mematok apapun. Just live it. Jalani apapun sesuai arusnya. Ibaratnya, saya tidak ingin melihat sejauh apa garis finish saya dan menargetkan waktu yang harus saya habiskan. Saya hanya akan berlari menyusuri rute saya, melakukan apapun semampu saya, dan baru melihat hasilnya di akhir. Saya akan membuang semua ambisi. Saya tidak ingin terbebani oleh standar perfeksionisme saya lagi.
Dan saya akan berhenti membiarkan orang lain mendistraksi saya. Tidak, saya akan menjadi diri saya sendiri kali ini. Saya yang akan memilih pilihan hidup saya; saya yang akan menjalaninya. Orang-orang boleh menggugat, mengkritik, dan menyarankan ribuan opini—itu hak mereka. Tetapi, kali ini, saya yang akan mengeksekusi semuanya.
I am the single player in my stage. Nobody shall rain in my parade. And if that makes me a bitch, then so what? Madonna said, “I'm tough, ambitious, and I know exactly what I want. If that makes me a bitch, okay. If that is the definition of a bitch, then I have been a bitch since I was born—and I am willing to be a bitch until the day I die.
Itulah resolusi 2011 saya. Sebuah kesederhanaan. Hanya sebuah cita-cita dan komitmen, tanpa embel-embel yang membebani.
Untuk menjadi bebas.