Sunday, July 10, 2011

Tatkala Aku Menjawab Bayang-bayang

Lama tidak berjumpa.

Ada tulisan, ditulis oleh seseorang, entah untuk siapa.
Ada tulisan, ditulis oleh dia yang kukenal, entah tentang siapa.
Ada tulisan, ditulis oleh dirinya, dia seorang, dia, yang tidak mampu aku lupakan.

Baru saja kubaca tulisanmu, dan mau tidak mau aku tersenyum simpul.
Tulisanmu, meskipun tidak memuaskan dahaga intelektualku, menghantam memoriku lebih dari apapun.
Mengapa? Karena di balik semua roman picisanmu, aku merasa melihat sebuah bayang-bayang.
Samar, tak dapat kuyakini apa itu.

Namun, entah kenapa, aku merasa bahwa tulisanmu itu tentang aku.

Kita pernah punya masa lalu, ya, aku tahu itu. Jangan pikir aku lupa karena aku tidak sebodoh itu untuk mengingkari yang dahulu.
Dan, demi apa, aku merasa bahwa itu semua cerita tentangku. Candamu selalu tersimpan..., eh?

Katakanlah, ini hanya egoku.
Beberapa orang pasti berkata, "Kib, kamu tuh ngelantur. Kamu kok sotoy banget, emang kamu yakin dia nulis tentang kamu?"
Rasionalisme ku pun berkata sama. Belum tentu kau menulis untukku. Mungkin untuk seseorang yang lain dari masa lalumu, yang kebetulan memiliki cerita yang sama.
Aku hanya melantur. Ge-er. Puisi itu bukanlah untukku.

Kenapa itu bukan untukku? aku bertanya.

Aku menjawab.
Karena kau bukanlah orang yang dipercaya.
Aku tahu ini menyakitkan dan kejam, tetapi itu kenyataannya. Sekeras apapun aku berusaha, aku tidak bisa mempercayaimu.
Kita berakhir karena ketidakpercayaan dan itu membekas dalam hatiku.

Kau seperti ular. Lidahmu bercabang. Ketika kau bilang kau sayang, sekeras apapun aku berusaha mengingkarinya, selalu ada setitik partikel dalam hatiku yang ragu.
Ragu.
Aku tidak bisa percaya kepadamu. Ini luka, atau mungkin insting.
Entahlah.

Itu kenyatannya.
Tetapi, mengapa aku masih berpikir bahwa puisimu itu untuk diriku?

Dengarkan, akan kujawab pertanyaanku, akan kuakui perasaanku.
Anggaplah ini jawaban pagi pertanyaanmu, respon bagi puisimu.
Atau setidaknya, anggaplah ini sebuah pengakuan, sebuah pesan perpisahan.

Dengar.
Aku memang tidak cukup berani mengakuinya, dan terlalu angkuh. Tetapi, ini kenyataannya.
Ketahuilah bahwa aku tidak akan pernah kembali kepadamu karena rasa sakit ini masih ada. Kau tidak akan mengerti dan aku pun tak akan dapat menjelaskan; tetapi memang ada luka dan itu menghentikan masa depan kita.
Ketahuilah pula bahwa aku cukup cerdas untuk tidak mengulang masa lalu karena aku mengenali masa depan: bahwa apabila kita bersama, harus selalu aku yang mengalah kepadamu, tunduk kepada keegoisanmu yang Bungsu.
Dan terutama, ketahuilah, bahwa aku akan maju ke depan. Aku akan menemukan penggantimu. Aku tidak akan membelenggu diriku seperti yang dirimu lakukan. Aku akan menemukan yang lebih baik dan aku akan menulis kisah baru bersamanya.

Tetapi, ketahuilah.

Bahwa aku masih memiliki rasa itu.
Aku masih menyayangimu. Bahkan, mungkin, bukan sayang.
Sebuah kata yang diawali dengan c.
Kata dengan c.
C. I. N...

Ah.
Sekeras apapun aku berusaha, aku tidak dapat melenyapkannya, menghapusnya, membunuhnya. Bahkan meskipun aku tidak bisa dibilang mengenalmu.
Tidak. Aku hanya dapat mengurungnya dalam sebuah penti, menguncinya, menggemboknya, merantainya; memenjarakannya dalam benteng terdalam, yang kemudian aku tenggelamkan ke palung terdalam lautan jiwa, bersama belati berbisamu.

Inilah pengakuanku, bahwa aku masih memiliki rasa untukmu.
Tetapi, rasa itu juga diikuti oleh tebasan pedang dan injeksi beracun, hingga aku harus memendamnya selamanya.

Kisah kita sudah berakhir dan aku tidak memiliki niat untuk memulainya kembali.
Tidak seperti dirimu, ketahuilah bahwa aku akan memulai kisahku lagi, suatu hari nanti, dengan orang lain.

Namun, kuharap pengetahuan ini cukup bagimu untuk memulai ceritamu sendiri, atau setidaknya bertahan dalam cerita lama kita yang berakhir ambigu bagimu.

Aku masih mencintaimu.

Cukupkan pengetahuan ini bagimu karena hanya ini yang bisa aku berikan kepadamu, setelah semuanya kau selesaikan. Aku tidak akan menjauh darimu; aku hanya akan me-nol-kan kisah kita. Aku akan meneruskan hidupku dan kau, dalam kapasitas apapun, tak akan kubiarkan merusaknya.

Selamat jalan, masa lalu.


P.S. : Puisimu lumayan juga, setidaknya benar-benar tulus. Sampaikan salam kepada yang kaumaksud dalam puisimu itu, semoga dia sehat dan bahagia seperti yang dia inginkan.