Saturday, April 18, 2009

Saat Esensi Kemanusiaan Hilang

Benarkah manusia itu binatang?

Secara biologis dan fisik, ya. Manusia dikategorikan sebagai mamalia, binatang menyusui dan melahirkan, karena memang itulah yang kita lakukan. Kita mempunyai berbagai bagian tubuh yang mirip dengan beberapa hewan--atau justru mereka yang meniru, entahlah. Kita makan sumber makanan yang juga lazim dikonsumsi mamalia lainnya. Dan, ya, kita berkembang-biak kurang lebih dengan metode yang sama dengan mamalia lainnya; itu adalah salah satu titik paling dekat dengan kebinatangan seorang manusia, selain naluri-naluri hewani lainnya.
Mungkin ada beberapa orang yang membaca bagian terakhir tadi, dan terasa janggal membacanya. Tapi apapun Anda--seorang ateis, seorang pemikir logis, konservatif agama, hippie--tolong camkan: saya bukan seorang pendeta Katolik Roma pada Abad Pertengahan, pada masa sekitar Perang Salib, yang memandang seks sebagai sebuah kebiadaban binatang yang nista. Dan saya juga bukan seorang hedonis pula, yang memandang seks sebagai klimaks tertinggi sebuah hubungan intim antara dua atau kadang lebih manusia, yang juga berarti merupakan pencapaian terbesar dalam sebuah kebahagiaan hubungan.
Saya menganggap seks biasa-biasa saja, tapi memang tidak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut merupakan salah satu dari hal-hal yang sangat kebinatangan dari manusia; semua makhluk hidup melakukannya, dan itulah hal yang paling menyamakan kita dengan serigala, ular, maupun kera.
Tapi kita sudah melantur terlalu jauh. Mari kembali ke topik semula.
Jadi... benarkah manusia itu binatang secara psikis? Satu jawaban pasti, tidak. Karena manusia tidak bisa disebut binatang justru karena memiliki apa yang disebut jiwa. Banyak cara untuk menyebut jiwa karena bagi setiap orang, jiwa itu berbeda. Seorang filsuf akan menyebut jiwa sebagai kesadaran, suatu materi abstraktif yang menjadi sebab manusia bisa berpikir; seorang religius akan berkata jiwa adalah salah satu dari tiga dasar fundamental manusia, yang menjadi titik sentral dirinya, di mana lewat jiwalah manusia berkomunikasi dengan Tuhan; dan seseorang yang sederhana namun bijak akan berkata bahwa jiwa itu hati.

Jiwa itu cinta.
Jiwa itu emosi.


Dan dengan begitu, seperti yang pernah diungkapkan oleh St. Augustine, hal ini mengungkapkan satu hal: emosi adalah esensi dasar kemanusiaan. Kita bukan binatang karena kita bisa memiliki emosi. Tapi emosi yang murni, emosi yang didasarkan oleh hati, jiwa, cinta, dan setitik kesadaran kita. Emosi yang bukan karena hormon, di mana hanya gara-gara sebuah reaksi masa bodoh maka ketakutan akan muncul, nafsu akan muncul, kebahagiaan akan muncul...
Bukan. Kita mendapat emosi dari dorongan-dorongan yang jauh lebih suci. Jika dipikir secara logis, kita mendapatkan emosi karena kita belajar untuk memahaminya. Dari kecil otak kita menangkap dan mempelajari pengalaman masa lalu, lalu meramunya sehingga kita mendapatkan emosi. Itu bila secara logis. Namun emosi jauh lebih kompleks dari itu semua. Kita mempunyai emosi... karena dari kecil kita memilikinya. Bukan karena belajar.
Bila karena belajar, seharusnya robot dan setiap benda dengan kecerdasan artifisial (atau artificial intelligence, maksudnya) akan dapat mempunyai emosi pula. Tapi ada sesuatu yang sangat kuat, kekuatan psikis yang maha, rasa kemanusiaan yang begitu besar dan indah yang mendorong kita marah, sedih, atau bahagia. Beberapa menyebutnya cinta; tapi saya percaya ini lebih besar dari itu.
Kekuatan ini adalah kekuatan rohaniah yang begitu besar dan tidak dapat dijelaskan secara logis. Oleh karena itu, mungkin ada benarnya juga ungkapan, "Tuhan ada di mana-mana; bahkan di dalam jiwa."

***

Tapi bila kita kehilangan esensinya... apakah kita akan berubah menjadi bukan manusia lagi?

Pembaca mungkin pernah mendapati saya menulis suatu puisi di blog ini, yang isinya merupakan suatu kekosongan emosi. Jujur, saat menulis puisi itu, saya benar-benar galau, sedih, frustrasi. Kenapa? Alasannya justru kebalikannya: karena saya sedang kosong.

Saya tidak merasakan apapun.
Saya tidak bahagia, tidak sedih, tidak marah, tidak takut, tidak rindu.
Saya tidak mendapati suatu emosipun.
Saya kehilangan esensi fundamental saya.

Saya hanya merasa muak dengan diri saya sendiri dan dunia. Saya merasa segalanya hanya dusta, kemunafikan. Tidak ada yang tulus dalam kehidupan ini, dalam dunia orang dewasa. Setiap orang tidak berani bicara apa yang benar-benar ada dalam perasaannya. Kebebasan hati untuk bicara, bukan hanya kebebasan bicara, tidak diakui; justru diikat oleh nilai-nilai formalitas. Hubungan menjadi kaku, tidak ada yang benar-benar intim.
Racun yang sungguh menyesakkan jiwa dan meracuni setiap manusia. Bahkan kanak-kanak pun dipaksa tunduk.
Jadi, pertanyaannya, apakah ini berarti saya kehilangan esensi saya sebagai manusia?


*to be updated later ; 180409*