Saturday, May 29, 2010

To Love, Be Strong

Untuk Vira
dan semua yang sedang jatuh cinta, pernah jatuh cinta
sedang patah hati, pernah patah hati

Kisah saya berawal dengan sempurna, seperti kisah-kisah lainnya. Kau mengenal seseorang, di sebuah tempat, seseorang yang menyenangkan dan ramah. Kalian berkenalan dan berkontak ria--seharian penuh saling mengirimkan sms, bercanda, dan mengobrol bersama. Sekilas segalanya tampak sempurna--ia begitu memahami dirimu dan amat menyayangimu.
Untuk pertama kalinya, kau berpikir bahwa kau jatuh cinta.

Gayung bersambut—ia selalu menjawabmu dengan penuh perhatian. Menjadi tempatmu mencurahkan isi hati, mendiskusikan opini masing-masing, saling melemparkan lelucon—kadang-kadang diselingi bujuk rayu yang membuat tersipu. Ah, mabuk kepayang rasanya. Kau makin berpikir, Ia mencintaiku! Dan kau mengikatkan hatimu kepada ketidakpastian tersebut.
Kemudian, hari-hari berlalu, dan karena kesibukan, kalian jarang berhubungan. Intensitas sms kalian menurun—bila dahulu minimal 12 jam penuh kisah, kini dalam 1 jam kalian hanya mengirimkan 3 pesan. Isinya pun makin lama makin hambar. Perhatiannya berkurang. Suatu hari, kau menyadari, hatinya mendingin—dan kebenaran menampar wajahmu keras. Ia tidak pernah benar-benar memberikan hatinya kepadamu; itu semua hanya suka, bukan cinta. Hatinya tidak pernah dijangkarkan di dasar hatimu, bahkan meski dirimu melabuhkan diri di dirinya.

Pada akhirnya, kau ditinggalkan patah hati dan kesepian. Tiap pesan tidak ia jawab—atau meski dijawab, membutuhkan waktu sangat lama, dan tanpa emosi ‘spesial’ apapun. Mimpi-mimpimu kandas dan hanya sakit hati yang tertinggal. Kesedihan merundungmu begitu lama—namun, kau tahu bahwa itu semua hanya sia-sia belaka.

Karena kau tahu, kau harus mengangkat muka dari cintamu, dan melanjutkan hidup tanpa dirinya.

***

Saya menulis kisah ini bukan hanya untuk merespon note Facebook teman dekat saya, namun juga untuk memberikan semacam renungan. Mungkin agak berat, namun saya usahakan agar kadarnya cukup ringan. Sekarang, bila telah siap, mari kita bahas sebuah objek yang telah didiskusikan sepanjang riwayat kehidupan manusia—dan begitu sering di antara remaja, hingga menyerempet norak: cinta.

Teman dekat saya tersebut, Vira, menulis post yang kurang lebih seperti ini: Mengapa kita jatuh cinta kepada seseorang, meskipun kita tahu—dalam kapasitas sebagai remaja—sulit untuk mempertahankannya; dan mengapa, meskipun dari awal kita tahu bahwa akhirnya akan putus, tetap sulit untuk menerima akhirnya; dan menanyakan arti ‘cinta’ itu dan sebab ‘cinta’ menyakitkan.

Sewaktu saya membaca post tersebut, jujur, saya terdiam. Saya pernah mengalami jatuh cinta sebelumnya—selama sekian tahun menghabiskan energi saya untuk seseorang yang tidak pernah saya tahu benar-benar mencintai saya atau tidak. Kisah ini berakhir dengan patah hati. Orang yang cerdas tidak akan melakukan kesalahan yang sama dua kali. Namun, bodohnya saya, kisah tersebut berulang sekali lagi—kisah di awal tadi.

Maka, saya juga mengajukan pertanyaan yang sama: Mengapa kita, teenagers, selalu jatuh cinta—pacaran—meski selalu berakhir putus? Kalau begitu, apakah cinta itu? Perlukah disambut, karena berawal manis; atau justru digebah, karena berakhir sia-sia? Terutama, mengapa cinta menyakitkan? Berhari-hari saya lewatkan merenungkan hal tersebut, hingga hari ini saya menyadari jawabannya—karena cinta, dalam tingkatan manifestasi apapun, akan selalu menyakitkan.

Saya teringat filsuf Italia terkenal, Nicolò Machiavelli, yang menulis sebuah risalah terkenal mengenai kekuasaan, Il Principe. Risalah tersebut menuliskan cara-cara dasar menjadi penguasa absolut—panduan kepemimpinan radikal yang mengagumkan. Namun, ada sepenggal kata-kata yang begitu mengejutkan saya karena kebenaran di dalamnya. Machiavelli, saat membahas mengapa orang lebih baik ditakuti daripada dicintai, mengungkapkan hakikat mencintai yang sebenarnya: “Orang lebih berkeberatan menyerang seseorang yang membuat dirinya dicintai daripada yang membuat dirinya ditakuti. Karena cinta diikat oleh rantai kewajiban yang, akibat keegoisan manusia, patah setiap kali cinta dimanfaatkan untuk kepentingan mereka…”

Ada satu makna yang amat dalam dari kalimat terakhir tersebut: bahwa orang yang mencintai lebih mudah tersinggung. Dengan mencintai seseorang, kita mencurahkan perhatian kita; dan secara tidak langsung, mengharapkan balas budi: perhatian yang sama tercurah kepada diri kita. Apabila kita tidak (atau kurang) mendapatkan kasih sayang sesuai ekspektasi sebelumnya, dengan kata lain tidak sebanding dengan pemberian kita, akan timbul apa yang disebut sakit hati.

Ini merupakan alasan mengapa ‘cinta’ di antara remaja jarang bertahan lama: karena remaja belum sepenuhnya sanggup menoleransi kurangnya perhatian tersebut. Remaja terpaku pada anekdot, Aku memberi kamu sepundi perak, maka balaslah budiku dengan sepundi perak pula. Kurang sekoin perak saja akan menimbulkan keberatan, padahal keberatan apabila ditumpuk akan menjadi sakit hati.

Padahal, tidak sepenuhnya orang yang kita beri sepundi perak mampu membalasnya dalam jumlah yang sama. Kadang-kadang, kita hanya mampu memberi tiga perempat saja, atau justru hanya tiga keeping. Bukan hanya karena tidak mau, atau tidak mampu—namun, juga karena mereka merasa, itulah jumlah maksimal yang harus diberikan sebagai balas jasa, tidak lebih dan tidak kurang. Tidak ada pengertian yang sama di antara tiap manusia; oleh karena itu, perbedaan semacam ini seharusnya dapat ditoleransi. Namun, karena cinta ‘diikat oleh rantai kewajiban’, yang berarti ‘harus mengembalikan dengan sebanding’, ketimpangan tersebut lebih sering tidak dapat ditoleransi—meskipun seharusnya dapat. Berlanjut dari keberatan menjadi sakit hati.

Cinta itu memang menyakitkan. Dan memikul cinta itu memang sangat berat: Hal-hal yang bagi kita adalah hal biasa saat hanya sebatas teman, dapat menjadi memiliki arti yang berbeda saat jatuh cinta—sekali lagi, karena aturan ‘rantai kewajiban’ itu tadi. Kebanyakan remaja tidak menyadari ‘rantai kewajiban’ ini, maupun sikap toleransi dalam menghadapinya—yang berakhir, banyak di antara cinta-cintaan ini berujung putus.

Kini, kita tahu bahwa mencintai itu sulit, dan selalu akan ada sakit hati di dalamnya. Oleh karena itu, jika ingin sepenuhnya mencintai sesuatu, jadilah kuat. Siaplah menghadapi ketimpangan-ketimpangan tersebut; buang semua ekspektasi dan hadapilah kondisi nyatanya. Akan selalu ada masalah yang menghadang, dan tidak semua perhatian kita dibalas juga. Namun, apabila kita benar-benar ingin mencintai, kita tidak perlu menuntut balasan yang sebanding—bahkan, jika bisa, jangan bersikap pamrih sama sekali.

Maka, ini kembali kepada pertanyaan selanjutnya: hakikat cinta. Cinta yang nyata, bagi saya, adalah sikap untuk terus memberi tanpa pamrih tersebut. Justru bagi saya, apabila kita bisa tetap mencintai bahkan apabila yang dicintai sama sekali tidak membalas perhatian kita, itulah kasih sayang murni. Ini alasan mengapa saya memandang remeh semua remaja yang pacaran, dan sebagainya—mereka hanya suka, tertarik, bukan cinta; karena mereka tidak akan mempertahankan cinta mereka dengan cara menoleransi ketimpangan tersebut—dan tidak siap saat harus berakhir.

Lagipula, bila kita membuka mata, kita akan melihat bahwa cinta tidak hanya dimiliki kekasih. Cinta ada di mana-mana—di dalam persahabatan; antara orangtua dan anak-anak mereka; bahkan saat kita membantu mereka yang kurang beruntung. Selama seseorang dapat terus memberi tanpa mengharapkan balas budi, itu yang namanya cinta. Segala cinta ini dapat ditemukan di mana-mana. Oleh karena itu, kita tidak selamanya butuh pacar. Ya, kita kadang-kadang menyukai seseorang; namun, jika tidak bertahan, angkat kepalamu tinggi-tinggi dan lihat bahwa ada banyak cinta di sekelilingmu—bahkan cinta yang lebih murni.

Bagaimanapun, apabila kita ingin mengaplikasikan cinta di manapun kita berada, jadilah kuat. Kita harus mampu menghadapi semua kekurangan yang kita cintai; dan menyiapkan diri agar tetap tabah dalam menghadapi ketimpangan-ketimpangan tersebut, juga akhir pahit yang mungkin kita hadapi. Cinta selalu menyakitkan—maka, jadilah kuat dalam menghadapi sakit itu. To love, be strong. Orang yang tidak bisa kuat dalam menghadapi ketimpangan tersebut berarti tidak bisa mencintai. Itu sebabnya, benar apa kata J.K Rowling dalam Harry Potter, dikatakan oleh Albus Dumbledore—“Cinta adalah objek yang paling kuat di muka bumi ini.” Cinta bukan untuk orang lemah.

Maka, khusus bagi remaja yang ingin memiliki pacar, apabila kalian tidak siap patah hati, jangan jatuh cinta. Dan bagi mereka yang tidak mau belajar mencintai, jangan hidup—karena hidup ini penuh oleh cinta.

Solusinya, mari kita belajar mencintai—dengan cara belajar menjadi kuat.
To love, be strong. Because love’s hurts; and loving is a fight against the pains.