Monday, May 10, 2010

Travelling the World: Egypt Session, Gembiraloka

-->
PRE-CAUTION
Penyebutan nama tempat, resto, organisasi, perusahaan, dsb. di sini didasarkan pada alasan kebutuhan akan fakta saja; semua opini dan komentar yang ada di post ini semata-mata ditulis berdasarkan pengamatan kami sendiri, tanpa ada pengaruh dari pihak ketiga; tanpa adanya sponsorship dari nama-nama yang disebut; tanpa tujuan komersial dan persaingan pasar apapun seperti promosi maupun bad-imaging.

Sebelumnya, maafkan saya karena saya terpaksa memotong kisah perjalanan saya dengan Merlynda Ayu Rara Dini dan Ratih Sanjaya Wahyuningrum. Namun, saya sudah melakukan sebuah perjalanan lagi, dan ada banyak hal di sana yang harus saya ceritakan.

Jadi…

Pada tanggal 25 April 2010 kemarin, saya dan teman-teman dari kelas IX B SMP Negeri 5 Yogyakarta mengadakan sesi pemotretan outdoor untuk yearbook kelas kami. Tema yang diambil adalah Travelling; intinya kami berjalan-jalan keliling dunia: ke Jepang, Mesir, Prancis, dan Amerika Serikat. Dua hari sebelumnya kami telah mengambil gambar sesi indoor; hari itu, saatnya kami berkeliling Jogja!

Kami pergi ke lima spot: Kebun Binatang Gembiraloka, Taman Pintar, Dapur Cokelat, Japan College, dan terakhir Mi Ramen Jakal. Untuk sesi Mi Ramen Jakal, mengingat jauhnya lokasi dan keterbatasan transpor serta waktu, akhirnya diganti di Nikkou Ramen di Jalan AM Sangaji. Perjanjian dengan fotografer kami, Mas Handy dan Mas Bayu, sudah dibuat; honor sudah disiapkan (hahaha); jadwal sudah disusun dengan saksama; dan SMS maupun pengumuman sudah disebarkan.

Semua panitia rencananya akan ikut. Panitia yang ikut full seluruh sesi pemotretan hingga sore antara lain saya (karena saya ketiban ubi runtuh menjadi ketua panitia buku tahunan kelas), Ratih, Dhela alias Dhela Saputri, Icha, Inggit, Luky, Okka. Rencananya, pagi itu saya akan dijemput oleh Luky lalu langsung mbablas ke Gembiraloka, dan selama perjalanan itu Luky juga yang memboncengkan saya (karena saya belum memiliki vespa warna putih, dengan bendera Union Jack di bagian belakangnya, dan helm retro warna putih pula).

Tetapi, seharusnya, pagi itu saya sudah mendapatkan pertanda bahwa perjalanan ini akan menjadi perjalanan yang konyol dan amat sangat menyedihkan. Apa pertandanya? Satu hal yang sudah ditulis berkali-kali menjadi sumber malapetaka—setidaknya di blog GudangSaya ini: hujan.

Ya, hujan. Sejak malam Minggu hingga Minggu paginya, hujan turun dalam intensitas yang membuat jantung setiap orang yang pemotretan outdoor jedag-jedug—deras luar biasa, mereda sedikit, turun lagi agak banyak, lalu deras, lalu gerimis, lalu reda, lalu hujan lagi… dan begitu seterusnya, tanpa ada kepastian akan reda. Begitu tidak pastinya hingga akhirnya datanglah sms bertubi-tubi dari panitia pemotretan, dan teman-teman model pemotretan, yang bertanya: “Jadi ga nanti? Hujan nih” “Akib, di rumahku hujan, gimana nanti jadi ga? Masa pemotretan hujan-hujan” “Diundur waktunya piye? Ujan deres di rumahku

Akhirnya, saya—setelah berembug dengan pihak-pihak terakhit—memutuskan untuk membatalkan sesi outdoor di Gembiraloka mengingat sesi itu yang nantinya benar-benar ada di luar ruangan, dan kemungkinan terpapar hujannya besar. Akhirnya, saya menelepon teman saya, Satrio (karena Mas Handy, fotografer sesi itu, adalah kakak kandung Satrio), untuk mengundur sesi Gembiraloka ke hari Senin, dan mengirim SMS ke panitia yang lain—dan lima menit kemudian Inggit membalasnya:

INGGIT:
Akib !
Kenapa di Gembiraloka nya dibatalin ? Rumahku kan deket Gembiraloka , jadi aku tau cuacanya . Di sini tuh gak hujan . Jadwalnya kan udah dibuat , ngapain dibatalin ?

AKIB:
Lha tapi aku dah bilang sama mas nya Satrio kalau dibatalin e, lagian mas nya Satrio sendiri yang ngusulin diundur aja kalo hujan.

INGGIT:
Udah , ya bilang aja sama mas nya satrio “Mas,tapi kita kan harus ngikutin jadwal” apa gimana lah. Pokoknya hari ini harus jadi!

Maka, setelah Inggit menginformasikan bahwa di kediamannya tidak hujan—dan itu berarti, menurut Inggit, Gembiraloka tidak hujan (dan membuat saya bertanya-tanya, apakah kediaman Inggit dan Gembiraloka adalah sama); dan setelah berkonsultasi dengan teman-teman panitia yearbook; dan setelah menelepon Satrio; akhirnya sesi Gembiraloka diadakan hari Minggu itu juga, hanya diundur ke jam 08.30 pagi.

Saya dijemput Luky dengan segera dengan motor Tiger (iya bukan sih? Saya bukan penggila otomotif) abu-abu miliknya, dan kami segera berangkat ke Gembiraloka. Kami tiba di Gembiraloka kira-kira jam 8.40. Inggit serta Ratih sudah tiba sebelumnya, dan tentu saja Satrio serta Mas Handy. Lalu, salah satu model hari itu, sahabat saya, Luthfi Ghivari alias Simbah, Akhirnya, kami memutuskan bahwa kami tidak perlu menunggu panitia yang lain (dengan kata lain Dhela, Icha, serta Okka, karena menurut teman-teman yang lain mereka toh akhirnya juga datang telat), kami masuk dan menemui model pemotretan yang sudah menunggu di dalam.

Model sesi pemotretan berkode MESIR3 itu adalah Luthfi alias Simbah, Haidar alias Prenges, dan Akbar alias Sayatidaktegamengatakannya (mengenai pemberian alter ego tersebut, maafkan saya teman-teman). Pura-puranya, ketiga teman saya tersebut akan memerankan kafilah suku pribumi Sinai, yang sedang mengadakan perjalanan dengan Unta. Oleh karena itu, nanti mereka akan naik unta Gembiraloka dengan gamis dan kafiyeh.

Saya sudah, katakanlah, kurang lebih 6 tahun tidak ke Gembiraloka, dan keadaannya sungguh lebih memprihatinkan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kami kira, dengan harga tiket yang berubah menjadi Rp 12.000,00 (sehingga saya dan teman-teman ribut sebentar sebelum masuk), akan ada perubahan mendasar dari kebun binatang tersebut; namun, tentu saja itu opini yang amat naïf. Pemandangan yang pertama menyambut saya adalah bangunan Rumah Kapal yang remuk redam akibat gempa dan belum diperbaiki; selanjutnya, kandang-kandang hewan yang begitu mengenaskan. Bau kotoran binatang sesekali mengudara cukup lama, air di kolamnya sekeruh kali di kala kemarau, dan kandangnya tampak kotor.

Hewan-hewannya pun tampak merana—dan untuk pertama kalinya, saya menyadari sepenuhnya apa yang dimaksud C.S. Lewis sebagai ‘binatang bodoh’ dalam serial novel Chronicles of Narnia. Sayang sekali, C.S. Lewis tidak menambahkan frasa ‘manusia bodoh’, yaitu manusia-manusia yang begitu bodohnya hingga melempari hewan-hewan (bahkan harimau) dengan kacang, merusak sangkar kakatua jambul kuning, dan mengetuk-etuk kandang iguana. Memang menyakitkannya melihat hewan-hewan tersebut dipenjara dalam kebun binatang yang tampak kumuh tersebut, tetapi lebih menyakitkan lagi melihat manusia—yang secara intelektual lebih cerdas dari mereka yang ada di kandang—melakukan tindakan-tindakan brutal tanpa moral tersebut. Oleh karena itu, saya berpesan kepada pembaca, jika Anda tidak tahu bagaimana memperlakukan binatang dengan baik, jangan pernah pergi ke kebun binatang.

Tetapi, singkat cerita, akhirnya kami tiba di lapngan tempat unta-unta tunggangan berada. Namun, sekali lagi, satu pertanda buruk—loketnya tutup. Tutup. TUTUP. Was was, saya bertanya dengan bapak-bapak pemberi makan unta, kapankah loketnya buka? Bapak itu menjawab dengan begitu acuh, hingga saya curiga Betty si Orangutan mampu mengekspresikannya dengan lebih impresif: “Jam sepuluhan mungkin bukanya.”

Ya Allah ya Rabbi. JAM SEPULUH??? Padahal waktu itu sudah menunjukkan pukul 09.38, mundur satu jam dari waktu seharusnya. Padahal kami ada jadwal pemotretan di Taman Pintar pukul 10.00! Padahal, sahabat saya satu lagi, Bari’ alias Muhammad Farras Bari’zain, sudah menelepon saya bahwa dia sudah berada di Taman Pintar! Dan kami harus menunggu 22 menit lagi? Oh, Gembiraloka, you must be joking. Tetapi, didukung oleh teman-teman saya, dan Dhela, Icha, Okka, serta kemara SLR milik Dhela sebagai mahapenyelamat, saya memutuskan untuk menunggu. Dan menunggu. Hingga jam saya menunjukkan pukul 10.06. Padahal tidak ada tanda-tanda loket akan dibuka.

Maka saya berjalan, bersama Ratih, ke loket suvenir atraksi Menunggang Unta, untuk menanyakan tepatnya waktu pembukaan atraksi. Kami disambut oleh bapak-bapak yang, untungnya, ramah, namun jawaban mereka sungguh menusuk hati kami: “Loketnya buka jam setengah sebelas, dek.”
SETENGAH SEBELAS. THAT’S A PERFECT FORMULA TO RUIN MY WHOLE-DAY SCHEDULE.
Maka kami menanti, dengan teman-teman saya (dengan seenak udel perut mereka) justru foto-foto dengan gembira, sementara saya foto-foto dengan kupu-kupu di dalam perut saya, dan sebelah tangan berusaha menenangkan Nahal serta Bari’ yang sudah menanti di Taman Pintar. Akhirnya, tibalah jam 10.20. Setelah ribut mengenai biaya (karena kami belum mendapat komisi dari kas kelas yang akan dibagikan, dan tidak semua anak membawa uang, kurang ajarnya), dan ribut mengenai pembagian foto (karena Haidar hanya membawa dua gamis untuk tiga anak), maka kami mendandani Haidar dan Akbar duluan di depan lapangan unta. Bukan di kamar mandi; tetapi di depan lapangan unta, dengan semua mata tertuju pada mereka.

Lalu, tibalah saatnya: loket dibuka. It’s showtime!

Dengan tepuk tangan riuh dari panitia, Haidar dan Akbar pun meniti tangga menuju punggung unta. Haidar sempat susah payah naik ke punggung unta—tetapi akhirnya mereka pun naik ke punggung unta. Mas Handy masuk ke dalam arena lapangan unta untuk memotret mereka—tapi, si pawang unta, tidak mendengarkan teriakan mencegah dari kami panitia, justru mengarak Haidar dan Akbar dengan unta berkeliling lapangan.

Kontan kami tertawa terbahak-bahak, terpingkal-pingkal luar biasa—saya sampai keluar airmatanya! Bagaimana tidak? Orang-orang yang lewat segera menoleh ke lapangan unta saat melihat dua remaja berumur lima belas tahun menunggang unta di tengah Kebun Binatang Gembiraloka seperti anak-anak, diarak mengelilingi lapangan unta. Mereka yang semula sudah menyilangkan jari di kepala saat melihat Haidar dan Akbar memakai kafiyeh, segera berhenti dan berjajar di depan lapangan unta demi melihat keduanya beratraksi menjadi Bedouin-wannabe. Sungguh, saya benar-benar tidak dapat membayangkan malunya kedua anak itu, saat mereka menjadi badut mendadak.

Kami tertawa dan menyoraki keduanya dengan “Allahu Akbar!” “Labaikallahumma labaik!” seakan-akan keduanya adalah peserta haji abad ke-XIX—tepat ketika saya menoleh ke kanan dan menelan ludah. Di seberang lapangan unta, menatap Haidar dan Akbar dengan tertegun, adalah pasangan suami-istri Islam syi’ah—si suami memakai baju gamis dan si istri mengenakan baju bercadarnya. Oh God. Salah seorang dari kami melihat keduanya, berbisik, “Eh, yang asli datang!” dan seketika semua panitia menoleh.

Ya ampun, betapa malunya kami! Saya membayangkan pasutri dan putera mereka tersebut pasti luar biasa takjub melihat Haidar dan Akbar, seakan-akan penampilan mereka sedang diolok-olok di tengah Gembiraloka; dan betapa mereka amat murka. Salah seorang dari panitia justru nyeletuk, “Waduh! Kalo mereka marah terus ngebom Gembiraloka piye coba?” Kami buru-buru gaduh, menutup muka dan menyembunyikan diri dari pandangan, menyingkir dari lapangan unta, berpura-pura tidak kenal Haidar.

Namun pada saat itu untanya justru berhenti (sialnya) di dekat kami, dan kami terpaksa menyambut Haidar dengan muka merah padam. Tidak terbayangkan betapa malunya kami. Mas Handy segera mengambil kamera, memotret Haidar dan Akbar, dan inilah salah satu hasil jepretan Mas Handy:
Dan kemudian, tibalah giliran primadona kami—Simbah alias Luthfi!

Kami segera riuh, dan buru-buru memakaikan baju gamis dan kafiyeh milik Haidar ke Luthfi. Tapi Luthfi anak yang amat sangat jaim dan galak dan bawel, dan dia sudah mulai panik dan berusaha mengulur waktu.

LUTHFI : “Ini aku ganti baju sekarang apa nanti?”
SAYA : “Udah sekarang aja, cepetan to! Kasian yang udah nunggu di Taman Pintar!”
LUTHFI : (Menunjuk kafiyeh) “Ha tapi ini pake kafiyeh nya gimana?”
SAYA : “Kayak Haidar aja ya, gini aja yang simpel, gausah rewel deh, kelamaan!”
LUTHFI : (Kelabakan ngubet-ubet kafiyeh) “Lha tapi ini copot-copot e, Kib! Nah, ini malah berkibar-kibar gimana…”
SAYA : “RIBUT AMAT SIH MBAH??? Udah sana naik, entar keburu direbut orang giliranmu!”
LUTHFI : “Tapi aku entar diputer-puterin enggak? Mbok enggak usah aja ya?”
SAYA : “Haidar sama Akbar aja berani, lagian man eman, ini sekali naik sepuluh ribu masa mau diem?? Udah naik aja!”
LUTHFI : (Bolak-balik nggak jelas) “Aduh, itu dah ada yang di atas—nah, ini dateng satu lagi, terus gimana?”
SAYA : “YA ALLAH YA RABBI, MAKANYA KAMU LANGSUNG SANA NAIK UNTANYA HABIS INI!!!”

Jadi, Luthfi yang serba kikuk dan menahan malu itu pun naik tangga ke punggung unta. Tapi, kami segera panik saat Luthfi justru nyungsep di celah antara tangga dan unta, terjepit di tengah-tengahnya, tidak bisa naik ke punggung unta maupun kembali ke tangga. Kebingungan dan panik, Luthfi mondar-mandir di celah itu, kehabisan akal—hingga akhirnya pawang untanya menolong Luthfi naik unta. Pada saat itulah kafiyeh Luthfi jatuh—dan unta mulai berjalan. Kami sudah panik—pawangnya dengan terburu-buru mengembalikan kafiyeh, dan seraya menunggang unta, Luthfi membetulkan kafiyehnya.

Kami segera bersorak! Sungguh, saya tertawa-tawa melihat Luthfi di atas unta. Benar-benar persis seorang kakek 60 tahun menunggang unta, menyusuri Saudi Arabia untuk melaksanakan ibadah haji pada tahun 1800-an! Makin banyak pengunjung berkerumun untuk menyaksikan Luthfi. Beberapa di antara mereka tersenyum-senyum. Sementara Luthfi? Jangan diributkan, ia sedang menunggang unta dengan muka semerah padam udang rebus.

Tepat pada saat itu, datanglah seromobongan ibu-ibu berkerudung dengan keluarga besar mereka, tampaknya rombongan piknik ibu-ibu pengajian. Mereka menoleh ke arah Luthfi dan tertawa—dan kemudian, mendadak, serentak mereka mengeluarkan kamera digital untuk memotret Luthfi! Astaga! Luthfi dikira atraksi Orang-gila-bergamis-dan-berkafiyeh-naik-unta-purapura-jadi-Arab! Saya tidak bisa lagi menahan tawa saat orang-orang sibuk mengabadikan Luthfi dengan kamera digital dan ponsel. Sungguh, melihat Luthfi yang diam seribu satu kata, tak berkutik, pastilah sahabat saya itu malu luar biasa.

Maka, setelah Mas Handy memotret Luthfi, saat Luthfi turun dari punggung unta dan berjalan ke arah kami, kami segera bertepuk tangan riuh dan bersorak memberi selamat. Saya sungguh salut dengan Luthfi, serta Haidar dan Akbar, melihat sikap tenang mereka menghadapi para pengunjung Gembiraloka lainnya—walaupun itu 80% karena malu bagi Luthfi dan Akbar, serta 80% karena tidak tahu malu bagi Haidar. Kami membantu Luthfi melepaskan baju gamis dan kafiyehnya, dan segera memberi selamat bagi Luthfi, karena, sungguh, fotonya adalah foto terbaik hari itu menurut saya.

Kemudian, bersama-sama kami berjalan menuju lapangan parkir untuk pergi ke Taman Pintar. Sesi USA2 sudah menunggu sejak 1,5 jam yang lalu, dan saya tidak sabar ingin tahu, kejutan seperti apa yang akan kami temui selanjutnya—ataukah kemalangan yang kami temui?