Friday, January 11, 2013

Visualisasi Batik.




Apa yang ada di benak ketika mendengar kata 'batik'?

Saya sendiri akan langsung teringat kepada almarhumah eyang putri saya. Beliau lahir pada kurun waktu 1920-an, berasal dari keluarga Jawa yang sangat kental -- sebuah background yang membuat beliau sangat dekat dengan batik. Semasa beliau hidup, beliau selalu berbusana tradisional Jawa: sanggul, kebaya, kemben, dan jarik. Tidak pernah sekalipun beliau tidak menggunakan kain batik; dan tidak pernah sama sekali beliau berbusana modern, sekadar daster sekalipun. Batik adalah napas hidup beliau.

Kemudian beliau meninggal empat tahun silam, meninggalkan berlembar-lembar jarik. Saya dahulu adalah seorang Westerner sejati: tidak pernah tertarik kepada budaya sendiri dan selalu berkiblat kepada Inggris, kepada Amerika. Jarik-jarik eyang putri membukakan mata terhadap fakta bahwa saya memiliki komoditas budaya yang begitu kaya. Dimulailah usaha saya untuk merevitalisasi budaya berbatik eyang putri.

Masalah muncul di sini. Meskipun saya telah belajar untuk lebih sering mengenakan kain batik; lebih sering menjajaki berbagai toko batik; dan merasa bangga tiap berpakaian Jawa komplet dengan surjan dan jariknya; selalu terasa ada yang kurang. Saya merasa, saya tidak bisa mengenakan batik seperti eyang putri mengenakannya.

Mengapa? Dengan sedih, saya menyadari, bahwa itu bukan karena saya tidak akrab dengan batik; namun karena saya tidak mengenalinya.

Literally, saya akrab dengan batik. Bersama eyang putri saya, saya tumbuh dengan kain tersebut. Semasa kecil saya ditimang dengan jarik yang diikatkan ke tiang-tiang beranda. Ketika eyang putri susah memakai kemben, saya turut membantu beliau untuk berpakaian. Sarung saya selalu dari batik sejak kecil. Dari TK, seragam sekolah saya pasti ada yang berbahan kain tradisonal tersebut. 

Tetapi, sebatas itulah batik bagi saya: sepotong kain. Saya tidak bisa menghargai batik lebih dari sehelai material yang nantinya dipotong dan dijahit untuk membuat penampilan lebih menarik. Padahal, seharusnya batik bukan sekadar benang dan malam.

Saya terpaku kepada visualisasi batik sebagai sebuah kain. Ini bukan hanya masalah saya dan batik; tetapi juga masalah generasi kita dengan budaya. Kita tumbuh bersama televisi dan internet, dua media yang menawarkan hiburan berpenampilan menarik namun miskin substansi. Kita terpaku kepada tampilan luar, tetapi tidak menilik isinya. We learn to take things for granted. Tertarik kepada sesuatu apabila menarik; membiarkannya lewat ketika basi. Seperti iklan komersial televisi: dibiarkan lalu lalang, namun tidak diperhatikan sepenuhnya.

Malang bagi batik, ia tampak sebagai sehelai kain; maka sebatas itulah penghargaan kita. Ketika gembar-gembor revitalisasi berbatik bergema, kita buru-buru menginvasi toko-toko batik dan ramai-ramai mengenakannya. Namun, semua hanya formalitas, karena sebatas itulah ketertarikan kita akan batik: sekadar kain. Tak ubahnya seakan Bedaya cuma tarian dari Jawa dan Borobudur hanyalah batu yang disusun monumental.




Kita lupa untuk melihat substansi yang lebih penting dari berbagai hal yang tampak. Dalam masalah batik, kita bahkan tidak tertarik untuk menghayati bahwa batik bukan sekadar batik. Ada proses panjang di balik pembuatannya, bagaimana para pembatik menghabiskan waktu mereka untuk menatah kain dengan canting; berlelah-lelah menghadapi pengapnya udara akibat malam yang dilelehkan, dengan tekun mengecap dan melukis. Kita ogah memaknai batik-batik tua -- berapa tahun sudah mereka diciptakan; makna apa yang dikatakan oleh motif-motifnya; siapa yang pernah mengenakan mereka; sejarah apa yang mungkin sudah melibatkan sepotong kain tua tersebut.

Batik bukan sekadar batik. Mulai dari bahan hingga motifnya adalah hasil budaya leluhur kita yang sudah dipertimbangkan maknanya sedemikian rupa. 

Namun, kita tidak tertarik untuk memahaminya dan berkeras menghargai warisan tersebut sebatas materialnya: kain. Sikap kita terhadap batik, sekali lagi, sama seperti terhadap iklan di televisi: kita menerima batik sebagai bagian hidup kita, namun tidak mengapresiasinya dengan benar. Memperlakukannya sama seperti katun dan satin hanya karena ia terlihat sebagai kain.

Pola pikir kita sudah terbentuk sedemikian rupa sehingga kita, mungkin, tidak akan bisa berbatik seperti nenek saya mengenakannya. Kita mengenakan batik hanya sebagai kain penutup tubuh. Namun, nenek saya telah belajar untuk menghayati batik sehingga persepsinya menolak memperlakukan kain tersebut seperti tampilannya. Bagi nenek saya, batik bukan sekadar kain, namun bentuk fisik dari abstraksi adiluhung pemikiran leluhurnya yang sarat akan keagungan. Begitulah, sehingga ketika saya mengenakan batik, sebatas kain-lah batik akan tampak; namun, ketika nenek saya yang berbatik, tampaklah batik sebagai karya seni kuno yang begitu sakralnya.

Terlihat sepele, namun efeknya berkepanjangan. Jangan bertanya apabila di kemudian hari batik akan berlalu begitu saja dari pandangan kita. Bukankah seperti itu kita memperlakukan batik? Bukan sebagai khazanah yang harus dijunjung; namun sebagai kain yang boleh dibuang ketika menjadi gombal.

Lagi-lagi, seperti iklan komersial televisi. Semua karena kita terperangkap visualisasi batik sebagai kain.

Percuma saja upaya berbagai pihak menghidupkan batik kalau sudah begini. Suatu ketika saya mengunjungi sebuah butik batik di Solo. Saya kagum, bagaimana butik itu bisa menghayati kerumitan batik tulis dan mem-fusi-kannya dengan pakaian modern. Saya juga pernah berselancar di internet, mendapati tumbuhnya bisnis toko batik online. Usaha-usaha revitalisasi batik seperti ini akan mati apabila batik tidak dihargai dengan benar, karena orang akan membiarkannya berlalu ketika batik tidak lagi dianggap populer.

Kita harus berhenti terpaku kepada visualisasi dan menghargai substansi. Budaya di sekitar kita mungkin mengajarkan hal sebalilknya; namun, kita bisa melawan. Kita bisa belajar untuk merasakan, tiap kali kita mengenakan batik, bahwa yang membalut tubuh kita bukan sekadar kain berlukis malam; tetapi, sebuah mahakarya yang dipilin dari berjemari-jemari orang.

Sehingga, ketika kita mengenakan kain tersebut, akan ada penghargaan lebih kepada benda yang tengah membalut tubuh kita. Bukan hanya sebatas sebagai kain. 


Karena batik bukan sekadar batik.



~