Thursday, November 8, 2012

About Love and Waiting


Hi, my object of affection. Long time no see.

Keinginan untuk menulis post ini muncul secara spontan. Saya baru saja mendapat telepon dari sahabat saya and we talked about many things. Di tengah pembicaraan itulah saya teringat dengan my romance dan saya sadar, I never really talked about it. Memang, bagi saya itu sesuatu yang privat. Tetapi, saya juga sadar bahwa ini juga bukan sesuatu yang harus saya sembunyikan.
Then, why? There are many reasons of why I never answer my friends' question on my love life. Sekarang saya menyadari satu. It was because my love life is not even finished yet. It is never finished up until now.
Curious? Oh, so do I. Let's hear how the story started...

***

I met someone at 2010. Dia orang yang cerdas dan menyenangkan. Memang, kita selalu lebih bahagia bersama orang yang kita sukai; namun, bagi saya, dia memang berbeda. Jelas; dia cinta pertama saya.
Story goes and we have a quite amazing journey. But, it was not without flaws. As it was my first, of course I am facing problems regarding my naiveness. Itu ternyata menghasilkan masalah: kami tidak bisa mengakomodasi satu sama lain. Saya tidak bisa mengimbangi kedewasaan sikapnya. Padahal, saya berada di posisi yang menuntut kedewasaan saya.
That was the beginning of the end.

***

Rachel Berry said that, "You always forgive your first love everything." I think she's right.
Hubungan kami berakhir di tahun yang sama. Hanya empat belas hari bersih. Saya tidak pernah mengerti mengapa kami berakhir. Apakah karena kami berhenti mencintai; atau tepatnya, dia, karena saya tidak? Bahkan kami tidak sedang marah, atau ngambek. Saya tidak pernah mendapatkan penjelasan karena dia tidak menjelaskan. Kami hanya berakhir; dan saya hanya melepaskan.
Tetapi, kami juga berlanjut. Seakan semuanya tidak pernah terjadi, kami tetap menjadi teman dekat. Setidaknya, saya yang berusaha tetap menjadi teman dekat karena dia seperti debu. Pergi, kemudian kembali, sebelum pergi lagi. Tidak bisa dipertahankan, namun senantiasa datang. Kadang-kadang, saya merasa apabila bukan karena usaha saya, pasti kami sudah jauh.
Namun, ia juga tidak mau melepaskan saya. Ketika saya hendak beranjak, ia selalu menarik saya untuk duduk lagi dan bermain bersamanya...
Saya tidak tahu bagaimana menurutnya, namun bagi saya, posisi kami tidak jelas.

Begitupun saya selalu menjadi rumah yang mengharapkan kedatangannya; dan ia memang datang. Namanya juga teman. Namun, dalam kedatangannya, ada rasa yang aneh dalam hati saya. Apakah itu rindu, pedih, kesal, atau kelu? Saya juga tidak tahu.

Saya merasa seperti sebuah villa. Saya terikat kepada seseorang. Saya mengharapkan kedatangannya. Tetapi, orang itu jarang datang. Sesekali ia memang meminta teduh kepada saya dan, karena saya bagian darinya, saya memberikan atap. Namun, bahkan ketika dia sedang singgah, saya tidak yakin apakah ia akan tinggal. Sebenarnya justru saya tahu dia tidak akan tinggal. Tetapi, saya terus meneduhkan—dan berharap.
I was so pathetic, indeed. But what can I say? You forgive your first love everything. Bahkan meskipun ia meninggalkan saya menggantung di tengah percakapan yang tidak selesai, saya terus menanti balasan SMS-nya.

***

Saya bersih dua tahun single. Ada orang-orang yang datang dan pergi, yang saya hargai kedatangannya dan saya juga ratapi kepergiannya.  But somehow, I am always questioning. Bahkan dalam posisi "teman" ini, atau mungkin "kakak adik". Ketika kami main bahkan dengan teman-teman yang lain.
Bagaimana perasaanmu kepadamu sekarang?  Mengapa ia selalu terkesan tidak membiarkan saya pergi, apakah dia masih memiliki rasa yang sama? Mengapa ia dulu mengakhiri kami?
I am being honest here. I put down all my pride to write and to publish those three questions publicly. Tiga pertanyaan itulah yang menghantui saya selama dua tahun. Yang membuat saya selalu menatapnya lekat ketika ia tidak melihat. Yang membuat jantung saya masih berdebar ketika memegang tangannya. Yang membuat saya tidak sanggup menatap matanya. Yang mengisi sesak paru-paru saya ketika duduk di dekatnya, mencium wangi parfumnya. Yang membuat saya selalu ingin mendekapnya dan tertawa—dan menangis. Yang membuat saya masih selalu mengharap tiap SMS, tweet, comment, apapun darinya—dan yang membuat saya selalu bersedia membalasnya. Yang membuat saya masih menunggu ia mendekap saya balik. Yang membuat saya bertahan dalam kesendirian saya. Yang membuat saya tersenyum dalam kesendirian saya. Yang membuat saya perih dalam kesendirian saya.
Yang membuat saya terus menunggunya untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan saya...

Apakah saya berharap bisa kembali bersamanya? Tidak. We were not born to be together. Tetapi, saya butuh mendapatkan jawaban-jawaban di atas...

***

Bagaimanapun, saya tidak punya keberanian untuk menanyakan pertanyaan di atas secara langsung. Terasa rikuh. Terasa sayang untuk melancangi 'pertemanan' kami dengan pertanyaan-pertanyaan sesensitif itu. Tetap saja, saya selalu merasa bertanya-tanya.

Mungkin tidak salah apabila post ini bisa disebut sebagai permohonan. Tidak dapat saya pungkiri bahwa saya berharap dia membaca tulisan ini dan tahu apa yang saya rasakan selama ini.  Kemudian ia akan cukup mengerti untuk menggamit tangan saya, duduk berdua, dan meluruskan segala keingintahuan saya. Mau disebut apapun, saya tidak berada di pihak yang bisa membuka topik ini begitu saja...

Pathetic? Bisa dibilang begitu. Tetapi, saya tidak menyesal maupun malu. Kenyataan bahwa saya tetap dapat menjalani dua tahun saya dengan gemilang adalah prestasi bagi saya. Perasaan ini ada dan lekat; namun tidak mengganggu, meskipun tetap butuh dijawab. Saya akan tetap menjalani hidup saya: bersekolah dengan baik, meraih nilai bagus dan masuk jurusan keinginan saya; kemudian belajar dengan baik dan mendapat karir yang baik pula; bertemu seseorang yang baru dan melanjutkan cerita.
Saya hanya menanti—dan akan terus, seraya mengisi penantian saya.

Still, it was because you forgive your first love everything.

***

So that was the story. Itulah love life saya. Semoga bisa memuaskan keingintahuan pembaca. Bagaimanapun, saya juga bersyukur, karena kesempatan ini juga menyadarkan saya akan apa yang sedang terjadi. Untuk itu, saya berterima kasih kepada pembaca semua. Bless you, guys.
Hope this post can inspire you something.