Saturday, January 24, 2009

LDK: Lelah, Dahaga, dan Kecapekan -- Bagian 2

Job 38:11, "Thus far you can go, But no further."

Dan benar. Hanya sampai di sinilah aku pergi. Tidak lebih.
Dari tiga singkatan LDK, aku hanya memenuhi dua kriteria; yaitu Lelah dan Kecapekan. Parahnya, dua itu aku penuhi bahkan sebelum aku berangkat ke sana. Alias, aku batal pergi ke Kaliurang.
Kenapa? Jelas. Sungguh, fisikku nggak mampu menahan semua rasa lelah yang harus aku tahan selama berhari-hari. Sejak urusan MPK berakhir, belum pernah aku menarik napas panjang. Tugas sekolah langsung diserahkan begitu saja oleh guru-guru, dan ada Panama yang sekali lagi harus mundur dari deadline. Apalagi ditambah frustasi, bocoran rahasia mengenai keuangan sekolah yang bisa mencekik majalah kami.
Frustasi. Itulah biang keladinya.
Aku merasa aku harus dibawa ke psikolog. Kelihatannya, aku mulai dilanda depresi. Setiap kali aku capai, selalu saja bawaannya marah-marah. Aku nggak ingin membuat satu rumah jadi ikut emosi, tapi efeknya itu. Dan orangtuaku... Ah. Aku nggak sanggup melihat mereka selalu prihatin sama aku setiap kali aku jadi emosian!
Dan setiap kali aku depresi, lalu emosi, maka kesehatanku ambruk. Ibuku sampai khawatir banget, saat mukaku jadi pucat tadi siang. Belum pernah aku melihat ibuku sengeri itu soal anak-anaknya, baik aku maupun kakakku. Dan aku nggak mau hal itu terulang. Sungguh mengiris hati melihat orangtua kita sedih sama anaknya, sama seperti perasaan orangtua terhadap diri kita masing-masing yang depresi.
Jadinya aku terpaksa untuk beristirahat di rumah dan mengembalikan kesehatanku. Meskipun akibatnya aku jadi terkesan sembrono, begitu saja meninggalkan tugas sebagai Sekbid V dalam OSIS. Aku bukan tipe orang seperti itu; tapi aku, mungkin, akan dicap seperti itu gara-gara ini: ketiadaan waktu untuk beristirahat yang akhirnya menjatuhkanku. Ah! Aku benci semua ini! Dan aku samasekali nggak enak dengan koordinatorku; masa aku tidak membantu apa-apa? Gila apa? Aku bukan anak yang tukang nyepelein!

Huff.

Apa makna dari semua ini? Jika ditinjau, sangat dalam. Bobroknya sistem pendidikan kita.
Aku nggak peduli kalian akan menganggap ini tidak relevan dengan topik dasar yang kita bahas, tapi aku ingin bicara. Aku ingin curhat. Itulah gunanya blog, bukan? Maka, dengarkan: Bahkan aku yang sangat ambisius ini selalu terimpit oleh sistem pendidikan yang kesannya hanya mengejar nilai dan mencekik murid. Mulai dari kurikulum yang dicemari propaganda pemerintah, maupun model penulisan buku yang tidak efektif, samasekali tidak sebanding dengan mutu dan kualitas guru. Belum lagi sekolah satu sama lain mempunyai metode yang tidak seiringan, dan hasilnya murid pas-pasan seperti saya ini selalu ketetelan mengejar pelajaran, bahkan di tempat les sekalipun.
Dan jadwal sekolah yang sangat padat. Tidak bisakah meluangkan waktu barang sejenak untuk beristirahat? Hari libur yang seharusnya dimanfaatkan sebagai ajang refreshing tubuh bagi murid, seenaknya saja diambil untuk kegiatan-kegiatan lain. LDK sialan ini misalnya. Lalu kapan tubuhku, yang terang-terangan rentan terhadap kasus kelelahan seperti ini, diberi waktu untuk mendapatkan lagi keseimbangannya?
Tidak bisakah sekolah mendengarkan muridnya? Mengapa harus selalu sekolah yang mendikte siswanya? Memang benar Anda sekalian gurunya; tetapi kamilah yang membayar Anda; jadi kenapa kita tidak mau saling mendengarkan?

Sungguh, aku marah. MARAH pada sekolah yang seenaknya membebani murid. MARAH pada diriku karena tidak mencari waktu untuk istirahat. MARAH pada pemerintah karena kurikulumnya membantai siswa.

Tapi apa yang bisa aku lakukan? Aku hanya murid, berusia di bawah standar kedewasaan masyarakat umum. Ocehan anak empat belas tahun tidak didengar, sama diabaikannya dengan tuturan seorang bocah empat tahun. Kami selalu dianggap terlalu muda, tidak mengerti perpolitikan bangsa. Tapi bagaimana kami mengerti jika tidak diberi kesempatan selagi muda? Mungkin hal ini yang menyebabkan para pejabat jadi buta, jadi koruptor, jadi gila kuasa: karena mereka shock melihat tiba-tiba mendapatkan tugas-tugas politik yang belum pernah diemban sewaktu remaja.
Dan akhirnya, korbannya seperti aku: tercekik hinanya sistem di Indonesia.