Monday, May 10, 2010

Travelling the World: Egypt Session, Gembiraloka

-->
PRE-CAUTION
Penyebutan nama tempat, resto, organisasi, perusahaan, dsb. di sini didasarkan pada alasan kebutuhan akan fakta saja; semua opini dan komentar yang ada di post ini semata-mata ditulis berdasarkan pengamatan kami sendiri, tanpa ada pengaruh dari pihak ketiga; tanpa adanya sponsorship dari nama-nama yang disebut; tanpa tujuan komersial dan persaingan pasar apapun seperti promosi maupun bad-imaging.

Sebelumnya, maafkan saya karena saya terpaksa memotong kisah perjalanan saya dengan Merlynda Ayu Rara Dini dan Ratih Sanjaya Wahyuningrum. Namun, saya sudah melakukan sebuah perjalanan lagi, dan ada banyak hal di sana yang harus saya ceritakan.

Jadi…

Pada tanggal 25 April 2010 kemarin, saya dan teman-teman dari kelas IX B SMP Negeri 5 Yogyakarta mengadakan sesi pemotretan outdoor untuk yearbook kelas kami. Tema yang diambil adalah Travelling; intinya kami berjalan-jalan keliling dunia: ke Jepang, Mesir, Prancis, dan Amerika Serikat. Dua hari sebelumnya kami telah mengambil gambar sesi indoor; hari itu, saatnya kami berkeliling Jogja!

Kami pergi ke lima spot: Kebun Binatang Gembiraloka, Taman Pintar, Dapur Cokelat, Japan College, dan terakhir Mi Ramen Jakal. Untuk sesi Mi Ramen Jakal, mengingat jauhnya lokasi dan keterbatasan transpor serta waktu, akhirnya diganti di Nikkou Ramen di Jalan AM Sangaji. Perjanjian dengan fotografer kami, Mas Handy dan Mas Bayu, sudah dibuat; honor sudah disiapkan (hahaha); jadwal sudah disusun dengan saksama; dan SMS maupun pengumuman sudah disebarkan.

Semua panitia rencananya akan ikut. Panitia yang ikut full seluruh sesi pemotretan hingga sore antara lain saya (karena saya ketiban ubi runtuh menjadi ketua panitia buku tahunan kelas), Ratih, Dhela alias Dhela Saputri, Icha, Inggit, Luky, Okka. Rencananya, pagi itu saya akan dijemput oleh Luky lalu langsung mbablas ke Gembiraloka, dan selama perjalanan itu Luky juga yang memboncengkan saya (karena saya belum memiliki vespa warna putih, dengan bendera Union Jack di bagian belakangnya, dan helm retro warna putih pula).

Tetapi, seharusnya, pagi itu saya sudah mendapatkan pertanda bahwa perjalanan ini akan menjadi perjalanan yang konyol dan amat sangat menyedihkan. Apa pertandanya? Satu hal yang sudah ditulis berkali-kali menjadi sumber malapetaka—setidaknya di blog GudangSaya ini: hujan.

Ya, hujan. Sejak malam Minggu hingga Minggu paginya, hujan turun dalam intensitas yang membuat jantung setiap orang yang pemotretan outdoor jedag-jedug—deras luar biasa, mereda sedikit, turun lagi agak banyak, lalu deras, lalu gerimis, lalu reda, lalu hujan lagi… dan begitu seterusnya, tanpa ada kepastian akan reda. Begitu tidak pastinya hingga akhirnya datanglah sms bertubi-tubi dari panitia pemotretan, dan teman-teman model pemotretan, yang bertanya: “Jadi ga nanti? Hujan nih” “Akib, di rumahku hujan, gimana nanti jadi ga? Masa pemotretan hujan-hujan” “Diundur waktunya piye? Ujan deres di rumahku

Akhirnya, saya—setelah berembug dengan pihak-pihak terakhit—memutuskan untuk membatalkan sesi outdoor di Gembiraloka mengingat sesi itu yang nantinya benar-benar ada di luar ruangan, dan kemungkinan terpapar hujannya besar. Akhirnya, saya menelepon teman saya, Satrio (karena Mas Handy, fotografer sesi itu, adalah kakak kandung Satrio), untuk mengundur sesi Gembiraloka ke hari Senin, dan mengirim SMS ke panitia yang lain—dan lima menit kemudian Inggit membalasnya:

INGGIT:
Akib !
Kenapa di Gembiraloka nya dibatalin ? Rumahku kan deket Gembiraloka , jadi aku tau cuacanya . Di sini tuh gak hujan . Jadwalnya kan udah dibuat , ngapain dibatalin ?

AKIB:
Lha tapi aku dah bilang sama mas nya Satrio kalau dibatalin e, lagian mas nya Satrio sendiri yang ngusulin diundur aja kalo hujan.

INGGIT:
Udah , ya bilang aja sama mas nya satrio “Mas,tapi kita kan harus ngikutin jadwal” apa gimana lah. Pokoknya hari ini harus jadi!

Maka, setelah Inggit menginformasikan bahwa di kediamannya tidak hujan—dan itu berarti, menurut Inggit, Gembiraloka tidak hujan (dan membuat saya bertanya-tanya, apakah kediaman Inggit dan Gembiraloka adalah sama); dan setelah berkonsultasi dengan teman-teman panitia yearbook; dan setelah menelepon Satrio; akhirnya sesi Gembiraloka diadakan hari Minggu itu juga, hanya diundur ke jam 08.30 pagi.

Saya dijemput Luky dengan segera dengan motor Tiger (iya bukan sih? Saya bukan penggila otomotif) abu-abu miliknya, dan kami segera berangkat ke Gembiraloka. Kami tiba di Gembiraloka kira-kira jam 8.40. Inggit serta Ratih sudah tiba sebelumnya, dan tentu saja Satrio serta Mas Handy. Lalu, salah satu model hari itu, sahabat saya, Luthfi Ghivari alias Simbah, Akhirnya, kami memutuskan bahwa kami tidak perlu menunggu panitia yang lain (dengan kata lain Dhela, Icha, serta Okka, karena menurut teman-teman yang lain mereka toh akhirnya juga datang telat), kami masuk dan menemui model pemotretan yang sudah menunggu di dalam.

Model sesi pemotretan berkode MESIR3 itu adalah Luthfi alias Simbah, Haidar alias Prenges, dan Akbar alias Sayatidaktegamengatakannya (mengenai pemberian alter ego tersebut, maafkan saya teman-teman). Pura-puranya, ketiga teman saya tersebut akan memerankan kafilah suku pribumi Sinai, yang sedang mengadakan perjalanan dengan Unta. Oleh karena itu, nanti mereka akan naik unta Gembiraloka dengan gamis dan kafiyeh.

Saya sudah, katakanlah, kurang lebih 6 tahun tidak ke Gembiraloka, dan keadaannya sungguh lebih memprihatinkan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Kami kira, dengan harga tiket yang berubah menjadi Rp 12.000,00 (sehingga saya dan teman-teman ribut sebentar sebelum masuk), akan ada perubahan mendasar dari kebun binatang tersebut; namun, tentu saja itu opini yang amat naïf. Pemandangan yang pertama menyambut saya adalah bangunan Rumah Kapal yang remuk redam akibat gempa dan belum diperbaiki; selanjutnya, kandang-kandang hewan yang begitu mengenaskan. Bau kotoran binatang sesekali mengudara cukup lama, air di kolamnya sekeruh kali di kala kemarau, dan kandangnya tampak kotor.

Hewan-hewannya pun tampak merana—dan untuk pertama kalinya, saya menyadari sepenuhnya apa yang dimaksud C.S. Lewis sebagai ‘binatang bodoh’ dalam serial novel Chronicles of Narnia. Sayang sekali, C.S. Lewis tidak menambahkan frasa ‘manusia bodoh’, yaitu manusia-manusia yang begitu bodohnya hingga melempari hewan-hewan (bahkan harimau) dengan kacang, merusak sangkar kakatua jambul kuning, dan mengetuk-etuk kandang iguana. Memang menyakitkannya melihat hewan-hewan tersebut dipenjara dalam kebun binatang yang tampak kumuh tersebut, tetapi lebih menyakitkan lagi melihat manusia—yang secara intelektual lebih cerdas dari mereka yang ada di kandang—melakukan tindakan-tindakan brutal tanpa moral tersebut. Oleh karena itu, saya berpesan kepada pembaca, jika Anda tidak tahu bagaimana memperlakukan binatang dengan baik, jangan pernah pergi ke kebun binatang.

Tetapi, singkat cerita, akhirnya kami tiba di lapngan tempat unta-unta tunggangan berada. Namun, sekali lagi, satu pertanda buruk—loketnya tutup. Tutup. TUTUP. Was was, saya bertanya dengan bapak-bapak pemberi makan unta, kapankah loketnya buka? Bapak itu menjawab dengan begitu acuh, hingga saya curiga Betty si Orangutan mampu mengekspresikannya dengan lebih impresif: “Jam sepuluhan mungkin bukanya.”

Ya Allah ya Rabbi. JAM SEPULUH??? Padahal waktu itu sudah menunjukkan pukul 09.38, mundur satu jam dari waktu seharusnya. Padahal kami ada jadwal pemotretan di Taman Pintar pukul 10.00! Padahal, sahabat saya satu lagi, Bari’ alias Muhammad Farras Bari’zain, sudah menelepon saya bahwa dia sudah berada di Taman Pintar! Dan kami harus menunggu 22 menit lagi? Oh, Gembiraloka, you must be joking. Tetapi, didukung oleh teman-teman saya, dan Dhela, Icha, Okka, serta kemara SLR milik Dhela sebagai mahapenyelamat, saya memutuskan untuk menunggu. Dan menunggu. Hingga jam saya menunjukkan pukul 10.06. Padahal tidak ada tanda-tanda loket akan dibuka.

Maka saya berjalan, bersama Ratih, ke loket suvenir atraksi Menunggang Unta, untuk menanyakan tepatnya waktu pembukaan atraksi. Kami disambut oleh bapak-bapak yang, untungnya, ramah, namun jawaban mereka sungguh menusuk hati kami: “Loketnya buka jam setengah sebelas, dek.”
SETENGAH SEBELAS. THAT’S A PERFECT FORMULA TO RUIN MY WHOLE-DAY SCHEDULE.
Maka kami menanti, dengan teman-teman saya (dengan seenak udel perut mereka) justru foto-foto dengan gembira, sementara saya foto-foto dengan kupu-kupu di dalam perut saya, dan sebelah tangan berusaha menenangkan Nahal serta Bari’ yang sudah menanti di Taman Pintar. Akhirnya, tibalah jam 10.20. Setelah ribut mengenai biaya (karena kami belum mendapat komisi dari kas kelas yang akan dibagikan, dan tidak semua anak membawa uang, kurang ajarnya), dan ribut mengenai pembagian foto (karena Haidar hanya membawa dua gamis untuk tiga anak), maka kami mendandani Haidar dan Akbar duluan di depan lapangan unta. Bukan di kamar mandi; tetapi di depan lapangan unta, dengan semua mata tertuju pada mereka.

Lalu, tibalah saatnya: loket dibuka. It’s showtime!

Dengan tepuk tangan riuh dari panitia, Haidar dan Akbar pun meniti tangga menuju punggung unta. Haidar sempat susah payah naik ke punggung unta—tetapi akhirnya mereka pun naik ke punggung unta. Mas Handy masuk ke dalam arena lapangan unta untuk memotret mereka—tapi, si pawang unta, tidak mendengarkan teriakan mencegah dari kami panitia, justru mengarak Haidar dan Akbar dengan unta berkeliling lapangan.

Kontan kami tertawa terbahak-bahak, terpingkal-pingkal luar biasa—saya sampai keluar airmatanya! Bagaimana tidak? Orang-orang yang lewat segera menoleh ke lapangan unta saat melihat dua remaja berumur lima belas tahun menunggang unta di tengah Kebun Binatang Gembiraloka seperti anak-anak, diarak mengelilingi lapangan unta. Mereka yang semula sudah menyilangkan jari di kepala saat melihat Haidar dan Akbar memakai kafiyeh, segera berhenti dan berjajar di depan lapangan unta demi melihat keduanya beratraksi menjadi Bedouin-wannabe. Sungguh, saya benar-benar tidak dapat membayangkan malunya kedua anak itu, saat mereka menjadi badut mendadak.

Kami tertawa dan menyoraki keduanya dengan “Allahu Akbar!” “Labaikallahumma labaik!” seakan-akan keduanya adalah peserta haji abad ke-XIX—tepat ketika saya menoleh ke kanan dan menelan ludah. Di seberang lapangan unta, menatap Haidar dan Akbar dengan tertegun, adalah pasangan suami-istri Islam syi’ah—si suami memakai baju gamis dan si istri mengenakan baju bercadarnya. Oh God. Salah seorang dari kami melihat keduanya, berbisik, “Eh, yang asli datang!” dan seketika semua panitia menoleh.

Ya ampun, betapa malunya kami! Saya membayangkan pasutri dan putera mereka tersebut pasti luar biasa takjub melihat Haidar dan Akbar, seakan-akan penampilan mereka sedang diolok-olok di tengah Gembiraloka; dan betapa mereka amat murka. Salah seorang dari panitia justru nyeletuk, “Waduh! Kalo mereka marah terus ngebom Gembiraloka piye coba?” Kami buru-buru gaduh, menutup muka dan menyembunyikan diri dari pandangan, menyingkir dari lapangan unta, berpura-pura tidak kenal Haidar.

Namun pada saat itu untanya justru berhenti (sialnya) di dekat kami, dan kami terpaksa menyambut Haidar dengan muka merah padam. Tidak terbayangkan betapa malunya kami. Mas Handy segera mengambil kamera, memotret Haidar dan Akbar, dan inilah salah satu hasil jepretan Mas Handy:
Dan kemudian, tibalah giliran primadona kami—Simbah alias Luthfi!

Kami segera riuh, dan buru-buru memakaikan baju gamis dan kafiyeh milik Haidar ke Luthfi. Tapi Luthfi anak yang amat sangat jaim dan galak dan bawel, dan dia sudah mulai panik dan berusaha mengulur waktu.

LUTHFI : “Ini aku ganti baju sekarang apa nanti?”
SAYA : “Udah sekarang aja, cepetan to! Kasian yang udah nunggu di Taman Pintar!”
LUTHFI : (Menunjuk kafiyeh) “Ha tapi ini pake kafiyeh nya gimana?”
SAYA : “Kayak Haidar aja ya, gini aja yang simpel, gausah rewel deh, kelamaan!”
LUTHFI : (Kelabakan ngubet-ubet kafiyeh) “Lha tapi ini copot-copot e, Kib! Nah, ini malah berkibar-kibar gimana…”
SAYA : “RIBUT AMAT SIH MBAH??? Udah sana naik, entar keburu direbut orang giliranmu!”
LUTHFI : “Tapi aku entar diputer-puterin enggak? Mbok enggak usah aja ya?”
SAYA : “Haidar sama Akbar aja berani, lagian man eman, ini sekali naik sepuluh ribu masa mau diem?? Udah naik aja!”
LUTHFI : (Bolak-balik nggak jelas) “Aduh, itu dah ada yang di atas—nah, ini dateng satu lagi, terus gimana?”
SAYA : “YA ALLAH YA RABBI, MAKANYA KAMU LANGSUNG SANA NAIK UNTANYA HABIS INI!!!”

Jadi, Luthfi yang serba kikuk dan menahan malu itu pun naik tangga ke punggung unta. Tapi, kami segera panik saat Luthfi justru nyungsep di celah antara tangga dan unta, terjepit di tengah-tengahnya, tidak bisa naik ke punggung unta maupun kembali ke tangga. Kebingungan dan panik, Luthfi mondar-mandir di celah itu, kehabisan akal—hingga akhirnya pawang untanya menolong Luthfi naik unta. Pada saat itulah kafiyeh Luthfi jatuh—dan unta mulai berjalan. Kami sudah panik—pawangnya dengan terburu-buru mengembalikan kafiyeh, dan seraya menunggang unta, Luthfi membetulkan kafiyehnya.

Kami segera bersorak! Sungguh, saya tertawa-tawa melihat Luthfi di atas unta. Benar-benar persis seorang kakek 60 tahun menunggang unta, menyusuri Saudi Arabia untuk melaksanakan ibadah haji pada tahun 1800-an! Makin banyak pengunjung berkerumun untuk menyaksikan Luthfi. Beberapa di antara mereka tersenyum-senyum. Sementara Luthfi? Jangan diributkan, ia sedang menunggang unta dengan muka semerah padam udang rebus.

Tepat pada saat itu, datanglah seromobongan ibu-ibu berkerudung dengan keluarga besar mereka, tampaknya rombongan piknik ibu-ibu pengajian. Mereka menoleh ke arah Luthfi dan tertawa—dan kemudian, mendadak, serentak mereka mengeluarkan kamera digital untuk memotret Luthfi! Astaga! Luthfi dikira atraksi Orang-gila-bergamis-dan-berkafiyeh-naik-unta-purapura-jadi-Arab! Saya tidak bisa lagi menahan tawa saat orang-orang sibuk mengabadikan Luthfi dengan kamera digital dan ponsel. Sungguh, melihat Luthfi yang diam seribu satu kata, tak berkutik, pastilah sahabat saya itu malu luar biasa.

Maka, setelah Mas Handy memotret Luthfi, saat Luthfi turun dari punggung unta dan berjalan ke arah kami, kami segera bertepuk tangan riuh dan bersorak memberi selamat. Saya sungguh salut dengan Luthfi, serta Haidar dan Akbar, melihat sikap tenang mereka menghadapi para pengunjung Gembiraloka lainnya—walaupun itu 80% karena malu bagi Luthfi dan Akbar, serta 80% karena tidak tahu malu bagi Haidar. Kami membantu Luthfi melepaskan baju gamis dan kafiyehnya, dan segera memberi selamat bagi Luthfi, karena, sungguh, fotonya adalah foto terbaik hari itu menurut saya.

Kemudian, bersama-sama kami berjalan menuju lapangan parkir untuk pergi ke Taman Pintar. Sesi USA2 sudah menunggu sejak 1,5 jam yang lalu, dan saya tidak sabar ingin tahu, kejutan seperti apa yang akan kami temui selanjutnya—ataukah kemalangan yang kami temui?

Sunday, April 4, 2010

Rehat

Rehat. Itu satu hal yang sangat, sangat saya butuhkan sekarang. Tetapi, sayangnya, tidak bisa saya dapatkan.

Sumpah, pembaca, saya capai sekali mengikuti 4 hari Ujian Nasional tersebut. Rasanya seluruh tenaga saya terforsir untuk mengikuti UN. Ingin sekali saya rehat setidaknya tiga hari untuk memulihkan tenaga. Satu hari untuk memuaskan ledakan hasrat-ingin-
ngompi saya, satu hari untuk merelaksasi tubuh, satu hari untuk mempersiapkan diri demi persiapan Ujian Sekolah.

Tetapi,
oh, damn. Ada satu pihak yang tidak mengizinkan saya dan secara umum kami, para siswa, untuk relaksasi. Secara mengejutkan pihak itu adalah sekolah saya sendiri.

Hari Sabtu kami langsung diperintahkan untuk masuk sekolah. Bukan itu saja--kami diberi
empat belas paket soal latihan Ujian Sekolah dengan tujuh pelajaran yang berbeda. Masing-masing paket ada yang berisi lima puluh soal pilihan ganda, atau dua puluh lima soal pilihan ganda dengan sekian uraian.
Oh, God. Yang menakjubkan, kami hanya diberi waktu tiga hari tiga malam untuk mengerjakan soal tersebut. Itu pun termasuk pada hari Minggu ini, dan Jumat Agung kemarin, dua hari libur yang seharusnya digunakan untuk istirahat, bukannya mengerjakan soal! Dan hasilnya dikumpulkan besok Senin. BESOK SENIN!!! Ya, Tuhan...

Saya sungguh bingung dengan sekolah. Saya tahu bahwa Ujian Sekolah dilaksanakan kira-kira dua minggu lagi, tepatnya sekitar tanggal 12 April, dan bahwa kami hanya mempunyai waktu satu minggu untuk mempelajari materinya. Tetapi, tidakkah mereka juga mengerti, bahwa kami para murid juga membutuhkan waktu beristirahat?

Kami menyadari semua tanggung jawab kami, jujur, Bapak dan Ibu Guru. Namun, sungguh, kami butuh
rehat. Satu hari mungkin bisa saja cukup; namun, satu hari libur dengan beban 14 paket soal? Itu sama sekali bukan istirahat, mengingat satu paket paling cepat membutuhkan waktu setengah jam.

Itu sama saja tidak memberi kami waktu istirahat. Hasilnya, pembaca, saya dan teman-teman saya sama sekali
b tidak serius saat mengerjakan latihan tersebut. Saya survey, ternyata teman-teman saya nyaris sabodo dengan hasilnya. Kebanyakan nilainya tujuh, enam--sejauh ini saya paling bagus delapan. Eight, for God's sake! Belum lagi, soal Bahasa Jawa kuncinya jelas-jelas error. Ya Allah ya rabbi.

Saya menulis ini saat tengah depresi mengerjakan soal-soal tersebut, jadi jelas bahwa
post kali ini cacat di sana-sini. Post ini sebenarnya hanya chit-chat saya saja. Saya sebenarnya ingin mengkritik metode pembelajaran sekolah yang sangat memberatkan ini. Saya benar-benar kesal dengan metode pembelajaran yang berat sebelah, yang seperti dikatakan kakak saya, "Sangat mengejar nilai akademis tapi payah," dan hasilnya justru amat memberatkan murid. Sangat memberatkan.

Saya capek lahir batin. Jujur, saya ingin muntab, mencak-mencak di
post ini. Tetapi, mengingat ada kemungkinan sekolah saya terserang sindrom power-crazy seperti sekolah-sekolah lain, saya memutuskan untuk tidak misuh-misuh di post ini, mengingat sindrom tersebut dapat mengakibatkan dikeluarkannya saya dari sekolah.

Jadi, saya pikir sampai di sini dulu, lah,
post saya. Ini hanya sekadar curhat dari stres saya. Mungkin akan ada post sekuelnya, namun, entahlah. Saya sekarang harus kembali mengerjakan soalnya--saya hanya memiliki enam belas jam untuk menyelesaikan tugas tersebut tanpa tidur!

Semoga sekolah membaca, dan memahami bahwa mereka telah membuat keputusan yang salah, yang memberatkan murid dan tidak memberikan hasil optimal.

Thursday, April 1, 2010

Final Exam Aftermath

And now, at last, I can shout out loud, AT LAST!”

Akhirnya, setelah berbulan-bulan tidak memainkan satu pun game; setelah satu bulan penuh tidak berhubungan dengan internet, baik melalui handphone maupun komputer; setelah kira-kira dua minggu berturut-turut tidak menyentuh komputer; dan terutama, setelah menghabiskan empat hari penuh konsentrasi, tekanan, dan kecemasan, saya berhasil menempuh Ujian Nasional tingkat SMP, insya Allah, dengan baik.

Ujian Nasional tingkat SMP dilaksanakan mulai dari tanggal 29 Maret – 1 April 2010. Empat hari, yang bukan hanya empat hari, karena 1095 hari pembelajaran saya di SMP diakumulasi dalam empat hari tersebut. Di empat hari tersebut saya akan menentukan nilai saya, untuk dijadikan acuan dalam masuk ke SMA mana nantinya—dan dengan begitu, menjadi acuan masa depan saya, karena SMA merupakan titik awal mulainya karir dan kehidupan dewasa sesorang—di SMA-lah, ditentukan, akankah saya sukses di masa depan. Oleh karena itu, tuntutan untuk menjalani empat hari ini dengan sempurna amat besar. Sungguh, empat hari yang meskipun hanya 96 jam saja, namun begitu melelahkan; emapt hari yang benar-benar menuntut perubahan mendasar dalam hidup saya. Perubahan dalam aspek paling fundamental, yang begitu berat hingga saya amat tertekan karenanya.

Saya harus belajar setiap saat: menelaah tiap catatan, mempelajari tiap buku, mengerjakan tiap soal, mengulang tiap pelajaran—suatu hal yang belum pernah saya lakukan sebelumnya. Bagi pembaca, mungkin hal ini terdengar lebay—namun, sungguh, hal itu berat. Tiap ada waktu, saya dituntut untuk memanfaatkannya demi dua hal—belajar atau istirahat. Tidak ada pilihan lain. Tidak ada waktu untuk bermain, untuk dibuang percuma. Tiap hari Minggu saya mengikuti tryout bila ada; tiap sepulang sekolah saya lebih baik tidur daripada membuang energi untuk hal lainnya.

Ini berarti, saya juga tidak bisa menggunakan komputer dalam bentuk apapun. Padahal, betapa besarnya godaan untuk main komputer tersebut! Godaan ini adalah salah satu hal yang amat menekan saya. Saya, bisa dibilang, telah teradiksi komputer—sebelum satu bulan ini saya benar-benar tidak bisa lepas dari komputer, minimal tiga hari sekali saya harus menggunakan komputer, entah untuk hal apapun. Masalahnya, saya orangnya sangat rapuh—sekali saya main komputer, selanjutnya saya akan berkeinginan untuk menggunakannya lagi, lagi, dan lagi.

Hal itu dalam menjadi ganjalan bagi saya untuk belajar—oleh karena itu, tidak ada cara lain, saya harus melepaskan komputer, setidaknya satu bulan, dalam kehidupan saya. Dan itu sungguh, sungguh berat. Anda tidak bisa membayangkan betapa gatalnya jari saya untuk memainkan keyboard dan mouse; gatalnya pantat saya untuk duduk berjam-jam di depan komputer; gatalnya mata saya untuk menelan apapun yang ada di monitor. Otak saya pun juga gatal, begitu ingin menumpahkan tetek-bengek imajinasi saya yang sudah menggunung—mungkin itu sebabnya post ini tampaknya agak kacau-balau. Sungguh, pembaca, saya ingin meraung-raung akibat tekanan godaan ini: godaan untuk mengetik cerita, mengedit foto, membuat desain, bermain game, sekadar mendengarkan lagu, dan terutama browsing internet.

Saking gatalnya, saya nyaris bersumpah bahwa tepat setelah hari terakhir UN, hal pertama yang saya lakukan adalah pergi ke warnet dan melakukan hal-hal ini: update status Facebook; membuka video Lady Gaga dan Alicia Keys, minimal, di YouTube; posting di Blogspot; membuat minimal tiga desain baru di Looklet; melihat berita baru di Wikipedia; dan seabreg kegiatan lainnya.

***

Tetapi, pada hari post ini ditulis, tanggal 1 April 2010, saya nyatanya tidak browsing di internet. Pertanyaannya, mengapa? Saya tidak menemukan jawaban lain kecuali satu hal: saya sudah berubah. Sejujurnya, begitu besar perubahan saya dalam satu bulan ini.

Dalam satu bulan, saya dan sahabat saya memulai sebuah pertengkaran dengan seorang lagi sahabat saya yang berakhir fatal hingga sekarang. Saya, kadang-kadang, agak menyesali hal ini—namun, secara keseluruhan, saya tidak merasa bersalah. Apa yang kami lakukan demi kebaikan sahabat kami tersebut, jadi sungguh, saya sama sekali tidak keberatan kalau dia justru pergi meninggalkan kami, toh nyatanya hingga sekarang dia tidak mempertahankan persahabatan kami. Sebenarnya, saya justru terkejut mendapati diri saya kini terasa begitu bebas, tanpa ikatan—saya benar-benar sesuatu yang amat berbeda. Saya adalah Muhammad Akib Aryo Utomo yang berbeda, dengan solituditas dan kebebasan penuh, siap untuk mengambil langkah-langkah baru.

Saya menjadi lebih berpikiran terbuka terhadap kemungkinan-kemungkinan yang berbeda, dan terutama, patuh pada kehendak saya sendiri. Ini merupakan perubahan mendasar yang terjadi dalam satu bulan ini. Patuh pada kehendak berbeda dengan patuh dengan hasrat. Dalam konteks saya, patuh pada hasrat berarti main komputer sepuasnya. Sedangkan patuh pada kehendak justru kebalikannya. Kehendak saya adalah saya ingin diterima bersekolah di SMA Negeri 3 Padmanaba Yogyakarta—maka saya harus membuat suatu komitmen.

Saya menempatkan kehendak saya tersebut menjadi prioritas yang harus diperhatikan dalam tiap tindakan saya. Ini berarti, tiap hal yang berdampak positif terhadap terwujudnya keinginan saya—tidak peduli bagaimanapun melelahkan, tidak menyenangkan, dan membosankan—harus saya lakukan. Maka, saya menuntut diri saya sendiri untuk belajar lebih keras. Ini juga berarti, tiap hal yang berdampak negatif terhadap kehendak saya—tidak peduli bagaimanapun saya menginginkannya—harus ditangguhkan. Salah satunya, menahan diri dari main komputer, membeli CD The Fame Monster, dan menonton Alice in Wonderland.

Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, hal tersebut berat. Namun, seperti yang juga sudah saya katakan sebelumnya, rutinitas menjadi murid-sempurna-yang-rajin-giat-dan-tekun ini membawa perubahan besar dalam diri saya. Secara mengejutkan, saya sendiri justru tidak keberatan.

Efeknya ternyata begitu positif. Ada kedamaian tersendiri yang saya temukan dari menghabiskan malam-malam saya dengan belajar, dan memenuhi hari-hari saya dengan beribadah. Sebelum satu bulan ini, saya nyaris tidak pernah shalat tahajjud, jarang shalat dhuha, dan hanya kadang-kadang membaca Al-Quran. Semuanya berubah menjadi kebalikannya—dan saya justru menyukai rutinitas ini.

Pertanyaannya, sekali lagi, mengapa? Karena saya menemukan semua ketenangan diri dari rutinitas saya tersebut. Terutama karena saya berhasil mengendalikan hasrat saya. Saya kini benar-benar mampu menentukan suatu skala prioritas dan bertindak sesuai skala tersebut. Hasilnya, saya merasa hidup saya tertata rapi. Saya tahu saya harus melakukan apa setelah ini, mementingkan pekerjaan yang mana, menangguhkan tindakan apa. Rutinitas ini, nyatanya, memberikan efek ketenangan yang tidak saya temukan sebelum satu bulan ini. Sebelumnya saya kerap kemrungsung melakukan sesuatu, kadang-kadang bingung di tengah perencanaan saya sendiri. Saya merasa dituntut melakukan ribuan hal—beberapa di antaranya nyatanya tidak berguna—hanya karena saya tidak bisa menentukan penting-tidaknya hal tersebut. Oleh karena itu, saya gampang kelelahan dan depresi.

Sekarang, saya merasa begitu tenang, bebas, damai, dan bersih. Tenang, karena saya tahu tindakan apa yang harus dilakukan setelah ini dan itu—bebas, karena saya kini mengetahui bahwa betapa saya sebenarnya memiliki amat banyak waktu luang! Sedangkan damai saya dapatkan karena saya mempunyai waktu lebih banyak untuk berdoa.

Selama ini, jujur, kadang-kadang saya terbebani dengan tuntutan untuk beribadah. Namun, dalam satu bulan ini, saya menyadari bahwa saya sangat perlu beribadah. Bagi saya, beribadah itu seperti meditasi: sepuluh menit untuk menarik diri dari hiruk-pikuk dunia dan terjun ke alam abstrak yang lebih tenang dan hening. Saya menemukan kedamaian dalam konsentrasi saya saat berbincang-bincang dengan Yang Mahakuasa. Shalat, bagi saya, adalah suatu metode yoga. Saya bisa melepaskan semua depresi dengan sepuas hati kepada Yang Mahakuasa, tanpa merasa dibebani seperti apabila saya berkeluh-kesah dengan sesama manusia. Dengan begitu, saya merasa lebih bersih. Bersih dari pikiran-pikiran kotor; bersih dari kecemasan-kecemasan depresif; bersih dari tekanan-tekanan duniawi; bersih dari ketidakteraturan.

***

Saya berubah bahkan dalam aspek paling fundamental saya. Saya tidak lagi merasa tertekan, terburu-buru, dan cemas, serba penuh ambisi akan kesempurnaan yang begitu menuntut. Kini saya merasa lebih tenang, entah bagaimana cenderung apatis dalam bentuk kepasrahan terhadap apapun yang mungkin terjadi di masa depan. Saya masih mempunyai ambisi, tentu—saya masih berkeinginan mengirim The Tale of Bo ke penerbit dan membuat desain tee’s distro baru—namun, saya lebih tenang dalam mengejar ambisi saya. Saya merasa berprinsip seperti lagu Jordin Sparks: took one step at a time—there’s no need to rush.Betapa satu bulan yang mengejutkan. Satu bulan penuh tekanan dan kecemasan—satu bulan penuh ketenangan dan kedamaian. Ada banyak hal lain yang terjadi dalam satu bulan ini—keretakan persahabatan saya, yang sudah disebut tadi; seabreg perubahan lainnya. Namun, sejujurnya, saya tidak terlalu memikirkan hal-hal tersebut, karena saya merasa bahwa apa yang saya lakukan sudah benar. Bahkan menyangkut sahabat-saya-yang-saya-tinggalkan tersebut—karena saya merasa, dia harus disadarkan; dunia kecilnya yang sempurna itu harus diguncangkan agar dia bisa menghargai orang lain; agar dia belajar untuk memosisikan diri dengan berbeda di depan orang yang berbeda pula.

Saya adalah Muhammad Akib Aryo Utomo yang baru, yang berjalan dengan ringan, santai, namun pasti. Muhammad Akib Aryo Utomo yang tahu pasti cara menjalani hidupnya; yang tahu pasti tindakan apa yang harus dilakukan; dan yang yakin dengan keputusannya sendiri. Oleh karena itu, saya tidak menyesali tindakan-tindakan yang saya lakukan bulan ini, karena saya tahu, semua itu murni adalah kehendak saya sendiri. Sebelumnya, selalu ada infiltrasi dari pihak sana-sini dari keputusan saya; namun, satu bulan ini, saya benar-benar menjadi sosok yang independen.

Dengan cara yang aneh saya merindukan UN: merindukan rutinitas ekstra-belajar dan ekstra-ibadahnya yang melelahkan, namun membawa ketenangan tersendiri. Namun, saya tidak mau mengulang UN! Saya sudah puas dengan apa yang telah saya lakukan. Saya merindukan UN terutama mengingat jasanya dalam mengubah saya menjadi sosok yang lebih memuaskan. Sulit melupakan sesuatu yang berefek begitu besar dalam hidupmu; namun, UN sudah berlalu. Kini saya tinggal membuat ambisi baru lagi dan memasrahkan semua hasilnya kepada Yang Mahakuasa.

Maka dari itu, saya juga meminta doa dari pembaca sekalian, dari segala jenjang umur—doakan saya, Muhammad Akib Aryo Utomo, agar saya berhasil mendapatkan nilai sempurna dalam UN, dengan total NEM 40; sehingga saya, Muhammad Akib Aryo Utomo, berhasil diterima bersekolah di SMA Negeri 3 Padmanaba Yogyakarta! Amin, amin ya rabbal alamin. (Maaf, saya promosi doa di sini.)

Inilah rangkuman saya mengenai bulan-bulan isolasi saya dari komputer dan internet. Saya masih mencintai dua hal itu, tentu—namun saya tidak lagi teradiksi olehnya. Saya sudah bisa menakar porsi yang tepat dalam menggunakan waktu saya untuk keduanya. Tapi… Well, bagaimanapun, UN sudah selesai! Kini saya memiliki waktu untuk memuaskan hasrat saya tersebut!

Jadi, inilah post pertama saya bagi bulan baru ini—sekaligus post pertama saya bagi sebuah awal yang baru.

01 April 2010