Kadang-kadang, aku hanya ingin menjadi tiada
Tidak mati, namun tidak juga hidup
Aku ingin menjadi manifestasi netralitas sepenuhnya
Seakan-akan rohaniku mengambang antara jasmani dan mati
Antara rengkuhan Gaia dan pelukan Hades
Aku ingin tidak merasakan apapun
Karena kini aku pun menjadi hilang
Tiada emosi berkecamuk dalam hati
Mata tak membelalak, juga tak menyipit
Tak senyum, juga tak cemberut
Astaga, apakah diriku saat ini?
Bila bahkan untuk menjerit saja rasanya kosong?
Dan aku menyadari saat ini aku menjadi hampa
Walau untuk menulis "aku menyadari" saja rasanya...
...tidak merasakan apa-apa
Karena untuk menulis "aku menyadari" dibutuhkan emosi
Rasa tergugah untuk menunjukkan kesadaran akan sesuatu
Tapi bukankah kini kurasa hampa?
Teman, isilah diriku ini
Dengan ria, lewat canda tawamu
Atau mungkin kau ingin sodorkan amarah, dengan memakiku
Bisa juga tangis, sentuh relung terdalam sensitifitasku
Oh! Sepertinya kurogoh sesuatu dari kedalaman jiwa
Apakah itu keinginan untuk tertawa?
Kawanku, cepat, gugahlah!
Sehingga aku menunjukkan esensi sejati,
apakah aku ini
Aku manusia!
Saturday, February 28, 2009
Thursday, February 26, 2009
Tidak Ada yang Romantis dari Hujan
Inilah yang terjadi pada saya sore ini.
Jadi ceritanya begini. Hari ini saya ada les di Neutron, jam 4 sore. Karena tidak ada yang mengantar, seperti biasa saya harus bersepeda. Seperti biasa pula saya selalu membawa mantel ayah saya yang notabene kebesaran walaupun konon benar-benar manjur dalam hal antiair. Maka, setelah mandi dan merasa sudah cakep, maka saya pun mengayuh itu sepeda menuju jalan raya, langsung ke arah Neutron.
Tetapi, pemandangan yang saya lihat sungguh mengerikan. Di langit, bukannya cerah seperti yang saya lihat saat menjemur cucian, justru mendung bergumul-gumul seram. It's like Mordor is awakened in Jogja's sky. Dari dua arah pula: selatan dan utara. Saya sempat was-was, jangan-jangan nanti hujan? Namun, mengingat saya sudah empat kali membolos les, saya pun mengurungkan niat untuk berbalik pulang. Rasa waswas akan kemungkinan hujan dikalahkan rasa ngeri bila nantinya saya terpaksa menghadapi kemurkaan kakak perempuan saya yang nyinyir.
Di Neutron, saya selalu waswas. Sudah cukup beruntung, kelas saya ditaruh di lantai paling atas, sehingga bila hujan akan kelihatan. Tapi kemudian dipindah ke bawah... dan akhirnya, saya pun terpaksa menjadi "buta" terhadap cuaca di luar sana. Apakah hujan, ataukah terang? Entahlah. Dengan sok rajin saya berusaha memerhatikan pelajaran biologi yang gurunya bukan hanya membosankan (sampai kelas saya, yang selalu dikatakan biang rame dan pengganggu oleh mentor-mentor, sepiii... sekali, sampai jangkrik saja berbunyi) namun juga--aduh, maafkan saya bapak mentor--amit-amit--maaf sekali ya, pak--sungguh, ampunilah murid Anda ini...
dan saya harus menahan itu semua--plus rasa mengantuk--hingga jam setengah enam. Akhirnya bel berbunyi, dan keluarlah saya. Dari pintu saya merasa melihat hujan. Namun karena saya menolak untuk mengakuinya, saya pun buru-buru keluar.
Dan... Oh, Tuhan! Astaghfirullah! TERNYATA MEMANG HUJAN!!!
Padahal, sekali lagi saya ingatkan, saya berangkat bersepeda. Mungkin orangtua saya sudah pulang, namun tetap saja, kalau dijemput, mau diapakan sepeda saya? Tetap, satu-satunya jalan terbaik adalah pulang sendiri. Maka, seraya mengucap basmalah agar tidak kehujanan parah, saya pun memakai mantel bapak saya dan mengayuh sepeda.
Dan tahu, nggak? Baru mau menyeberang saja tudung mantel tersebut sudah melorot menutupi mata; celana saya dan semua bagian tak bermantel basah koejoep; dan saya kedinginan.
Dengan sekuat tenaga saya menghadapi guyuran zat cair yang intensitasnya bisa membuat penduduk Gunungkidul sujud syukur di kala kemarau. Saya bisa menahan tudung yang selalu menutupi pandangan maupun guyuran air di mata yang kadang-kadang nyaris menyelinap ke dalam kerongkongan. Namun, yang kurangajar, ternyata kancing mantel itu tidak rapat! Hasilnya, bagian paha saya tidak terlindungi. Padahal tas samping dari Bobo yang saya kenakan sepanjang paha tersebut.
Apa yang terjadi? Double malapetaka: buku saya basah dengan parahnya; dan tas Bobo saya bodol.
Entah seberapa paniknya saya. Bayangkan! Sementara hujan menghalangi pandangan saya, membasahi seluruh tubuh, dengan kendaraan bermotor yang lalu lalang sama paniknya seperti saya dan membuat saya lebih panik lagi, saya harus dibuat tambah panik dengan ketakutan akan tas Bobo yang semakin jebol dan menjatuhkan isinya ke aspal. Kemungkinan efeknya hanya dua: buku saya basah, hanyut, dan rusak; atau dilindas mobil dengan tenangnya.
Malapetaka ekstra. Ultra. Mega.
Dengan segenap usaha saya berusaha menahan tas Bobo itu sambil bersepeda; dan kadang-kadang, saya terpaksa mengancingkan kembali mantelnya. Sungguh, ujian psikis dan fisik. Saya jadi tambah heran dan tidak mengerti terhadap adegan dalam film-film Hollywood, yang menyuguhkan pemandangan romantis pasangan yang terguyur hujan. Astaga, apanya yang romantis coba? Sudah basah kuyup, diintimidasi kendaraan bermotor, buku dan tas rusak pula!
Aaargh! Rasanya saya ingin menjerit lepas!
Seperti itulah pengalaman saya bersepeda di jalan raya seraya menerjang hujan. GILA. Dan saya sampai-sampai harus tiga kali mampir di emperan toko untuk membetulkan mantel sialan itu. Dan juga membetulkan posisi tas Bobo yang bodol.
Untung kalau cuma itu...
Anda tahu apa yang menyambut saya di rumah? Saat saya menyelonongkan sepeda saya ke depan rumah, dengan santainya budhe saya berseru, "Pite dilebokke wetan--Sepedanya ditaruh di garasi timur!"
SIALAN. Sudah basah begini, harus memutar lagi hanya untuk menaruh sepeda? Dengan sangat tidak peduli saya balas membentak, dan justru membanting sepeda saya. Hasilnya? Pot tanaman cuil. Dan budhe saya tambah membentak lagi.
Saya meninggalkannya hanya untuk mendapati ibu saya berkata bahwa bapak saya sedang menjemput.
HAAAAH??? Aduh, apa yang harus saya lakukan. Dengan tergesa saya meminta tolong kakak saya yang lamban untuk memberitahu bapak saya sudah pulang--tapi dasar lamban. Akhirnya, meski saya ingin sekali lekas berganti baju dan mencopot segala barang basah dari tubuh saya, saya bergegas menuju telepon dan memberitahu bapak bahwa saya sudah pulang.
Anda tahu, apa yang dilakukan kakak saya waktu itu? Minum air putih.
Menyebalkan sekali! Dengan mutung saya naik ke kamar saya di atas, mencopot baju dan celana dan tas bodol ke dalam bak cucian serta menjemur buku-buku basah di bawah kipas angin. Sungguh, saya mutung sekali! Saya berganti baju dan diam di sana hingga maghrib.
Apa kesimpulan yang didapat di sini? Tentu saja, seperti judul post ini, TIDAK ADA YANG ROMANTIS DARI HUJAN. Terserah para sutradara maupun penulis skenario Hollywood mau bicara apa, tapi saya tidak percaya. Karena saya sudah mengalaminya. Dan apa yang saya dapat sekarang?
Kepala pusing dan tubuh kedinginan.
Jadi ceritanya begini. Hari ini saya ada les di Neutron, jam 4 sore. Karena tidak ada yang mengantar, seperti biasa saya harus bersepeda. Seperti biasa pula saya selalu membawa mantel ayah saya yang notabene kebesaran walaupun konon benar-benar manjur dalam hal antiair. Maka, setelah mandi dan merasa sudah cakep, maka saya pun mengayuh itu sepeda menuju jalan raya, langsung ke arah Neutron.
Tetapi, pemandangan yang saya lihat sungguh mengerikan. Di langit, bukannya cerah seperti yang saya lihat saat menjemur cucian, justru mendung bergumul-gumul seram. It's like Mordor is awakened in Jogja's sky. Dari dua arah pula: selatan dan utara. Saya sempat was-was, jangan-jangan nanti hujan? Namun, mengingat saya sudah empat kali membolos les, saya pun mengurungkan niat untuk berbalik pulang. Rasa waswas akan kemungkinan hujan dikalahkan rasa ngeri bila nantinya saya terpaksa menghadapi kemurkaan kakak perempuan saya yang nyinyir.
Di Neutron, saya selalu waswas. Sudah cukup beruntung, kelas saya ditaruh di lantai paling atas, sehingga bila hujan akan kelihatan. Tapi kemudian dipindah ke bawah... dan akhirnya, saya pun terpaksa menjadi "buta" terhadap cuaca di luar sana. Apakah hujan, ataukah terang? Entahlah. Dengan sok rajin saya berusaha memerhatikan pelajaran biologi yang gurunya bukan hanya membosankan (sampai kelas saya, yang selalu dikatakan biang rame dan pengganggu oleh mentor-mentor, sepiii... sekali, sampai jangkrik saja berbunyi) namun juga--aduh, maafkan saya bapak mentor--amit-amit--maaf sekali ya, pak--sungguh, ampunilah murid Anda ini...
(bapaknya bau keringat)
dan saya harus menahan itu semua--plus rasa mengantuk--hingga jam setengah enam. Akhirnya bel berbunyi, dan keluarlah saya. Dari pintu saya merasa melihat hujan. Namun karena saya menolak untuk mengakuinya, saya pun buru-buru keluar.
Dan... Oh, Tuhan! Astaghfirullah! TERNYATA MEMANG HUJAN!!!
Padahal, sekali lagi saya ingatkan, saya berangkat bersepeda. Mungkin orangtua saya sudah pulang, namun tetap saja, kalau dijemput, mau diapakan sepeda saya? Tetap, satu-satunya jalan terbaik adalah pulang sendiri. Maka, seraya mengucap basmalah agar tidak kehujanan parah, saya pun memakai mantel bapak saya dan mengayuh sepeda.
Dan tahu, nggak? Baru mau menyeberang saja tudung mantel tersebut sudah melorot menutupi mata; celana saya dan semua bagian tak bermantel basah koejoep; dan saya kedinginan.
Dengan sekuat tenaga saya menghadapi guyuran zat cair yang intensitasnya bisa membuat penduduk Gunungkidul sujud syukur di kala kemarau. Saya bisa menahan tudung yang selalu menutupi pandangan maupun guyuran air di mata yang kadang-kadang nyaris menyelinap ke dalam kerongkongan. Namun, yang kurangajar, ternyata kancing mantel itu tidak rapat! Hasilnya, bagian paha saya tidak terlindungi. Padahal tas samping dari Bobo yang saya kenakan sepanjang paha tersebut.
Apa yang terjadi? Double malapetaka: buku saya basah dengan parahnya; dan tas Bobo saya bodol.
Entah seberapa paniknya saya. Bayangkan! Sementara hujan menghalangi pandangan saya, membasahi seluruh tubuh, dengan kendaraan bermotor yang lalu lalang sama paniknya seperti saya dan membuat saya lebih panik lagi, saya harus dibuat tambah panik dengan ketakutan akan tas Bobo yang semakin jebol dan menjatuhkan isinya ke aspal. Kemungkinan efeknya hanya dua: buku saya basah, hanyut, dan rusak; atau dilindas mobil dengan tenangnya.
Malapetaka ekstra. Ultra. Mega.
Dengan segenap usaha saya berusaha menahan tas Bobo itu sambil bersepeda; dan kadang-kadang, saya terpaksa mengancingkan kembali mantelnya. Sungguh, ujian psikis dan fisik. Saya jadi tambah heran dan tidak mengerti terhadap adegan dalam film-film Hollywood, yang menyuguhkan pemandangan romantis pasangan yang terguyur hujan. Astaga, apanya yang romantis coba? Sudah basah kuyup, diintimidasi kendaraan bermotor, buku dan tas rusak pula!
Aaargh! Rasanya saya ingin menjerit lepas!
...
Seperti itulah pengalaman saya bersepeda di jalan raya seraya menerjang hujan. GILA. Dan saya sampai-sampai harus tiga kali mampir di emperan toko untuk membetulkan mantel sialan itu. Dan juga membetulkan posisi tas Bobo yang bodol.
Untung kalau cuma itu...
Anda tahu apa yang menyambut saya di rumah? Saat saya menyelonongkan sepeda saya ke depan rumah, dengan santainya budhe saya berseru, "Pite dilebokke wetan--Sepedanya ditaruh di garasi timur!"
SIALAN. Sudah basah begini, harus memutar lagi hanya untuk menaruh sepeda? Dengan sangat tidak peduli saya balas membentak, dan justru membanting sepeda saya. Hasilnya? Pot tanaman cuil. Dan budhe saya tambah membentak lagi.
Saya meninggalkannya hanya untuk mendapati ibu saya berkata bahwa bapak saya sedang menjemput.
HAAAAH??? Aduh, apa yang harus saya lakukan. Dengan tergesa saya meminta tolong kakak saya yang lamban untuk memberitahu bapak saya sudah pulang--tapi dasar lamban. Akhirnya, meski saya ingin sekali lekas berganti baju dan mencopot segala barang basah dari tubuh saya, saya bergegas menuju telepon dan memberitahu bapak bahwa saya sudah pulang.
Anda tahu, apa yang dilakukan kakak saya waktu itu? Minum air putih.
Menyebalkan sekali! Dengan mutung saya naik ke kamar saya di atas, mencopot baju dan celana dan tas bodol ke dalam bak cucian serta menjemur buku-buku basah di bawah kipas angin. Sungguh, saya mutung sekali! Saya berganti baju dan diam di sana hingga maghrib.
***
Apa kesimpulan yang didapat di sini? Tentu saja, seperti judul post ini, TIDAK ADA YANG ROMANTIS DARI HUJAN. Terserah para sutradara maupun penulis skenario Hollywood mau bicara apa, tapi saya tidak percaya. Karena saya sudah mengalaminya. Dan apa yang saya dapat sekarang?
Kepala pusing dan tubuh kedinginan.
Tuesday, February 24, 2009
Jumpalik
Huff... Setelah membaca post yang hampir semuanya berat, marilah kita refreshing dengan post yang lebih ringan. Jadi, saya akan menceritakan kejadian aneh bin ajaib yang saya alami tadi siang.
Jadi, hal ini terjadi tepat sebelum ekskul teater yang saya ikuti dimulai. Atas perintah Yang Mulia Maha BAIK, saya pun memanggil Pak Aji selaku pembimbing ekskul tersebut. Saya bersama dua makhluk asing dan aneh yaitu Ratih dan Fitri, alias Surat dan Zoo, yang malangnya (buat mereka, bukan saya) harus menemani saya.
Nah, akhirnya prosesi memanggil berlangsung. Sementara Pak Aji membaca sekilas bagan biologi entah apapun itu, kami bertiga ngadem di depan kipas angin karatan seperti orang baru lihat itu mesin. Akhirnya, kami pun berangkat. Pak Aji menempuh jalan lewat jalur timur dari Bengkel PANAMA, sedangkan kami lewat utara.
Dan di sinilah kejadian aneh bermula.
Karena Ratih dan Fitri meninggalkan saya, maka saya pun mengejar mereka. Semua orang tahu saya tukang tubruk. Maka dengan seenaknya saya hantam gandengan tangan mereka... hanya untuk kehilangan keseimbangan. Ratih pun ngglimpang terduduk, saya rada kejlungup... Tapi berhasil berdiri lagi. Kemudian saya menoleh ke belakang.
Dan tahu, nggak, apa yang saya dapati? Fitri tergeletak di atas tanah, kakinya ngangkang ke atas, muka dan tangan mencium tanah.
Kaya orang bodoh berusaha nyelem ke dalam tanah.
Kontan saja saya dan Ratih tertawa. Benar-benar nggak ketulungan, bermenit-menit ngakak sampai tawanya nggak keluar dan perut mulas puarah. Dengan tubuh kerempengnya Fitri terduduk dan misuh-misuh, bajunya belepotan tanah parah banget, wajahnya menjeb wagu. Saking gelinya, kita nggak niat menolong Fitri.
Sumpah. Geli banget. Pernah lihat kartun, di mana tokohnya jatuh ke tanah dan kaki-tangan mengarah ke empat penjuru mata angin, sementara tanah di sekitarnya retak? Lha, itulah keadannya Fitri.
Wuah. Benar-benar tidak terlupakan. Sudah begitu, mengingat betapa kerempengnya Fitri, nggak terkira kok dia bisa nggak retak.
Dengan masih tertawa, kami pun memapah Fitri menuju Aula. Benar-benar dalam keadaan yang menyedihkan: tubuhnya berbalut debu. Tentu saja, murkalah Fitri.
Tapi tentu saja saya dan Ratih tetap tertawa. Habis lucu sih...
Jadi, hal ini terjadi tepat sebelum ekskul teater yang saya ikuti dimulai. Atas perintah Yang Mulia Maha BAIK, saya pun memanggil Pak Aji selaku pembimbing ekskul tersebut. Saya bersama dua makhluk asing dan aneh yaitu Ratih dan Fitri, alias Surat dan Zoo, yang malangnya (buat mereka, bukan saya) harus menemani saya.
Nah, akhirnya prosesi memanggil berlangsung. Sementara Pak Aji membaca sekilas bagan biologi entah apapun itu, kami bertiga ngadem di depan kipas angin karatan seperti orang baru lihat itu mesin. Akhirnya, kami pun berangkat. Pak Aji menempuh jalan lewat jalur timur dari Bengkel PANAMA, sedangkan kami lewat utara.
Dan di sinilah kejadian aneh bermula.
Karena Ratih dan Fitri meninggalkan saya, maka saya pun mengejar mereka. Semua orang tahu saya tukang tubruk. Maka dengan seenaknya saya hantam gandengan tangan mereka... hanya untuk kehilangan keseimbangan. Ratih pun ngglimpang terduduk, saya rada kejlungup... Tapi berhasil berdiri lagi. Kemudian saya menoleh ke belakang.
Dan tahu, nggak, apa yang saya dapati? Fitri tergeletak di atas tanah, kakinya ngangkang ke atas, muka dan tangan mencium tanah.
Kaya orang bodoh berusaha nyelem ke dalam tanah.
Kontan saja saya dan Ratih tertawa. Benar-benar nggak ketulungan, bermenit-menit ngakak sampai tawanya nggak keluar dan perut mulas puarah. Dengan tubuh kerempengnya Fitri terduduk dan misuh-misuh, bajunya belepotan tanah parah banget, wajahnya menjeb wagu. Saking gelinya, kita nggak niat menolong Fitri.
Sumpah. Geli banget. Pernah lihat kartun, di mana tokohnya jatuh ke tanah dan kaki-tangan mengarah ke empat penjuru mata angin, sementara tanah di sekitarnya retak? Lha, itulah keadannya Fitri.
Wuah. Benar-benar tidak terlupakan. Sudah begitu, mengingat betapa kerempengnya Fitri, nggak terkira kok dia bisa nggak retak.
Dengan masih tertawa, kami pun memapah Fitri menuju Aula. Benar-benar dalam keadaan yang menyedihkan: tubuhnya berbalut debu. Tentu saja, murkalah Fitri.
Tapi tentu saja saya dan Ratih tetap tertawa. Habis lucu sih...
Subscribe to:
Posts (Atom)