Tuesday, February 24, 2009

Jumpalik

Huff... Setelah membaca post yang hampir semuanya berat, marilah kita refreshing dengan post yang lebih ringan. Jadi, saya akan menceritakan kejadian aneh bin ajaib yang saya alami tadi siang.
Jadi, hal ini terjadi tepat sebelum ekskul teater yang saya ikuti dimulai. Atas perintah Yang Mulia Maha BAIK, saya pun memanggil Pak Aji selaku pembimbing ekskul tersebut. Saya bersama dua makhluk asing dan aneh yaitu Ratih dan Fitri, alias Surat dan Zoo, yang malangnya (buat mereka, bukan saya) harus menemani saya.
Nah, akhirnya prosesi memanggil berlangsung. Sementara Pak Aji membaca sekilas bagan biologi entah apapun itu, kami bertiga ngadem di depan kipas angin karatan seperti orang baru lihat itu mesin. Akhirnya, kami pun berangkat. Pak Aji menempuh jalan lewat jalur timur dari Bengkel PANAMA, sedangkan kami lewat utara.
Dan di sinilah kejadian aneh bermula.
Karena Ratih dan Fitri meninggalkan saya, maka saya pun mengejar mereka. Semua orang tahu saya tukang tubruk. Maka dengan seenaknya saya hantam gandengan tangan mereka... hanya untuk kehilangan keseimbangan. Ratih pun ngglimpang terduduk, saya rada kejlungup... Tapi berhasil berdiri lagi. Kemudian saya menoleh ke belakang.
Dan tahu, nggak, apa yang saya dapati? Fitri tergeletak di atas tanah, kakinya ngangkang ke atas, muka dan tangan mencium tanah.
Kaya orang bodoh berusaha nyelem ke dalam tanah.
Kontan saja saya dan Ratih tertawa. Benar-benar nggak ketulungan, bermenit-menit ngakak sampai tawanya nggak keluar dan perut mulas puarah. Dengan tubuh kerempengnya Fitri terduduk dan misuh-misuh, bajunya belepotan tanah parah banget, wajahnya menjeb wagu. Saking gelinya, kita nggak niat menolong Fitri.
Sumpah. Geli banget. Pernah lihat kartun, di mana tokohnya jatuh ke tanah dan kaki-tangan mengarah ke empat penjuru mata angin, sementara tanah di sekitarnya retak? Lha, itulah keadannya Fitri.
Wuah. Benar-benar tidak terlupakan. Sudah begitu, mengingat betapa kerempengnya Fitri, nggak terkira kok dia bisa nggak retak.
Dengan masih tertawa, kami pun memapah Fitri menuju Aula. Benar-benar dalam keadaan yang menyedihkan: tubuhnya berbalut debu. Tentu saja, murkalah Fitri.
Tapi tentu saja saya dan Ratih tetap tertawa. Habis lucu sih...