Sebenarnya saya belum terlalu mood menulis... tapi kalau ini ditunda-tunda terus, gimana aku mau nyeritain Safari Jurnalistik? Jadi, ini poin-poin penting yang harus Anda ketahui.
Tanggal 2 Maret 2009.
Saya pulang dari sekolah pada pukul 15.00 WIB setelah latihan musik. Meskipun begitu, akibat kebodohan teman saya, si XXXX sialan itu, kami tidak jadi latihan di studio musik!!! Mengapa? Karena masnya penjaga sudah pulang dan teman saya tersebut lupi untuk meminta kunci studio. Padahal, dia dan kroni-kroninya itu sudah sibuk nyinyir dengan bibir mereka yang pengin saya jepit pakai jepitan jemuran: "Jangan makan dulu! Latihan musik dulu! JANGAN MAKAN!"
Dasar gila mereka itu. DILARANG MAKAN? Ingin sekali saya tampar mereka sambil berteriak, "Wooi, hari udah siang, bangun dong! Hari gini gak boleh makan? Kalian mau aku laporin ke Komnas HAM?"
Saya dan beberapa teman saya murka luar biasa atas keputusan sepihak ini. Siapa mereka, sembarangan saja melarang orang? Kalau tahu-tahu salah satu dari kita mendadak mati kelaparan, apa mereka mau nanggung. Dengan semangat '45 yang menggebu-gebu, kami melancarkan pemberontakan besar-besaran: dengan nekatnya kami makan seraya tidak memedulikan apa kata XXXX dan Kroninya itu. Sungguh mengejutkan, simpatisan pendukung revolusi ini ternyata banyak, dan akhirnya berkembang menjadi kudeta. Seluruh anggota kelompok akhirnya makan dan pemerintahan otoriter XXXX dan Kroninya pun jatuh ke dalam liang eek kucing.
Tapi ya itu tadi hasilnya... Masnya keburu pulang. Saya pun akhirnya juga pulang. Latihan musik gagal.
5 Maret 2009.
Kami akhirnya latihan musik lagi. Tidak di studio yang sudah di-booking pihak lainya (Sebel deh saya jadinya... Emosi terus!!!). Dengan meksonya kami latihan di aula. Namun justru si XXXX hilang begitupun anak-anak lainnya. Maka saya memilih mengikuti rapat OSIS dahulu... yang ternyata juga berlangsung di Aula. Bahkan meskipun saya telat sepuluh menit, para pengurus inti menobatkan saya sebagai salah satu anggota yang datang tepat waktu (nyahaha... terima kasih Dheru, Anda amat baik sekali... lebih baik dari Pak Amat, malah...) dan dipisahkan dari Kelompok Anak Terlambat. Si XXXX beserta anggota gengnya yang aneh itu ternyata termasuk terlambat, dan akhirnya mereka pun dibentak-bentak oleh Nyai Marendita.
Rapat pun berlalu... jam dua, melihat perkembangan rapat yang sudah mulai tidak produktif, saya meminta ijin untuk lain. Loading... dan dalam dua detik, access accepted. Saya pun akhirnya mulai bergabung dengan kelompok musik dan dengan suara saya yang rada gerok akibat serangan flu, mulai menjalankan tugas saya sebagai vokalis.
(Satu pertanyaan besar yang muncul adalah, mengapa semua koran tanggal 6 Maret 2009 tidak ada yang berheadline "AULA SMP N 5 YOGYAKARTA RUNTUH MENDADAK: Diduga Terkait Aktivitas Gelombang Supermegaultrasonik dari Suara Setan Seorang Murid")
Akhirnya tugas musik selesai... Saya pulang setelah jemputan saya yang berwarna kuning datang. Saya pun membayar upah Rp 1.500,00 kepada asisten supir saya, dan sementara kendaraan besar itu melaju, saya mulai merasa waswas: Akankah hari ini hujan, mengingat mega mendung mengerikan sudah berkerumun di langit sedari tadi?
Tapi saya berhasil mencapai kediaman saya sebelum hujan sempat turun. Waktu menunjukkan pukul 15.30--itu berarti, saya masih sempat mengejar waktu untuk les. Jangan lupa, hari itu hari kamis, sehingga saya harus mengikuti lembimjar Neutron.
Air hangat dengan campuran sirih dan serai sebagai obat alergi pun akhirnya siap. Saya cebar-cebur di kamar mandi, menyanyi dengan suara yang mengguncang dunia (harap dipahami secara denotatif), serta berlagak seakan saya penyanyi yang telah menaklukkan dunia (dalam pemahaman cara yang cenderung destruktif). Dan segera semuanya selesai.
Sepeda dikeluarkan, saya bersiap menggenjot...
...tapi akhirnya hujan turun.
WAAAA. TIDAAAK. Satu hal yang paling tidak saya inginkan sekarang adalah berhujan-hujanan lagi, tidak setelah kejadian dalam post Tidak Ada yang Romantis dari Hujan. Saya berniat membolos, tetapi teringat bahwa saya sudah membolos lima kali; dan itu berarti, kakak saya yang lambanluarbiasa, nyinyirtiadatara, dan sokketattanpaampun itu tidak akan memperbolehkan saya.
Benarlah, saat saya berkonsultasi, bahkan sebelum selesai ia memotong dengan suaranya yang membuat tikus merinding: "Ora entuk! Kowe wis mbolos ping lima! Nganggo mantel lak ya isa, tha?"
Kemarahan yang mengikuti tiada terkira. Sungguh, ingin sekali saya balas berseru, "Dasar tjah klemat-klemet, mbok ya kowe ki nyadar yen ora penak ngepit pas udan-udan! Wis raine teles, angine ngabul-abulake mantel, ngelek banyu udan maneh! Dasar tjah sing pikirane sempit!" dan ribuan serapah yang tidak sepantasnya ditulis disini, mengingat blog saya nanti bisa-bisa dihapus oleh pengawas pemerintah akibat memuat hal-hal tidak senonoh (kok bahasanya nggak enak sih?).
Seraya bersungut-sungut akibat marah luar biasa, saya segera menarik mantel dan mengenakannya, kemudian mulai bersepeda. Saya tidak mau mendeskripsikan kejadiannya: kurang lebih sama, bahkan dalam beberapa hal cenderung lebih mengerikan daripada deskripsi dalam post Tidak Ada yang Romantis dari Hujan mengingat saya sedang flu; kecuali bagian bahwa tas saya bodhol karena memang saya sudah ganti tas.
Saya memang tiba di Neutron dengan selamat, tapi kakak saya dengan kebodohannya telah menyebabkan celaka pada saya: sementara tubuh masih basah, AC dalam kelas masih bertiup, dan hasilnya adalah...
FLU. TOTAL. BUKAN CUMA ALERGI: FLU. TOTAL. LENGKAP DENGAN BATUK, PUSING, DEMAM, DAN TETEK BENGEK LAINNYA.
Sambil menahan segala kemurkaan dan hasrat-ingin-ngumbel saya pun mengutuk kakak saya tersebut, berharap ia mendapat balasan yang setimpal atas apa yang ia dapatkan. Sepanjang pelajaran di Neutron itu saya tidak henti-hentinya bersin, batuk, serta ragam flu lainnya, menyebabkan saya menjadi sasaran tawa dan gunjingan menghina segelintir orang, yang dimaksudkan diam-diam, namun justru jadi diketahui oleh umum (Hukumlah pula para penghina ini dengan azab-Mu, Ya Rabbi...)
Bel pulang berbunyi. Hujan sudah berhenti sepenuhnya dan saya pulang--perjalanan pulang paling tidak mengenakkan sedunia. Bayangkan, saya sudah tidak dapat konsentrasi sedikitpun dalam menyetir!!! Setidaknya tiga kali saya hampir menabrak pohon, atau orang, atau kejeglong lubang, atau keblasuk ke jalan rusak, atau jatuh kejlungup dari sepeda. Sengsaranya tiada terkira. Dalam hati, saya menduga, orang-orang yang melihat saya pasti membatin, "Ini anak naik sepeda kok sambil mabox..."
Setelah bersusah payah menyeberang jalan, saya melalui sebuah gang kecil yang membawa saya menuju jalan pintas ke belakang perumahan saya. Saya berhenti di sebuah toko untuk membeli spidol hitam. Di sini, saya mulai mendapat Sindrom Bersinus Kayaus Topanus Plus Lesus. Dengan sangat tidak konsentrasinya saya memarkir sepeda, yang langsung ambruk; kemudian mencari-cari dompet yang ternyata berada di dalam kantong. Bahkan saat memilih spidol saya masih bersin, dan dengan malu saya mendapati penjualnya menatap saya dengan iba.
Batinnya, "Aduh, ini anak kasihan sekali, udah teler sampai sekarat kok ya malah beli spidol bukannya obat, apa umbelnya sudah mempengaruhi otak..."
Dengan tidak peduli saya pun tetap membeli spidol. Kembali ke sepeda, saya segera menaikinya sebelum menyadari bahwa sepeda masih dikunci. MALU BANGET DEH, APALAGI DILIHATIN SAMA BAPAK-IBUNYA PEMILIK TOKO. Jadi saya mencari kunci, yang berada di dompet; kemudian mendapati dompet saya tidak ada di bagian dalam tas; maupun bagian depan tas; dan ternyata cuma di saku saya.
(Bapak-ibu pemilik toko: "Ya Allah, tolong berilah ketabahan kepada anak ini, serta kesembuhan baginya, supaya otaknya bisa bersih dari umbel dan ia kembali kepada konsentrasi yang lurus...")
Akhir kata, saya mengayuh sepeda untuk segera pulang. Perjalanan pulang masih sama tidak masuk akalnya dengan perjalanan sebelumnya, sama-sama keblasuk, kejeglong, kejlungup. Dan apa yang menanti di rumah?
Sekali lagi, "Pite dilebokake garasi wetan! Sepedanya dimasukkan garasi timur!"
Murka luar biasa--tapi saya tidak berani menolak karena yang bicara adalah bapak saya. Dengan mutungnya saya menaruh sepeda di garasi--tepatnya membanting sepeda di garasi--dan segera melepaskan segala mantel basah sialan dan properti kuyup lainnya. Dan saya segera naik ke kamar, membiarkan diri saya teriak-teriak murka tidak jelas.
(Ibu saya: "Ya Allah, ada apa dengan anakku? Setan apa yang menyambet dirinya? Sadarkanlah ia, Ya Rabbi!")
Apapun yang mungkin dibayangkan oleh orang-orang yang mendapati saya dalam keadaan setengah-histeris, setengah-gila, setengah-teler, dan seratus-persen-penuh-umbel-dan-flu, kakak saya telah menjatuhkan efek kebodohannya kepada saya:
FLU TOTAL, BUKAN CUMA FLU ALERGI, LENGKAP DENGAN BATUK, PANAS, KECAPEKAN, DAN SEGALA PROPERTI FLU TOTAL LAINNYA.
Sebuah malapetaka sempurna untuk anak yang akan mengikuti Safari Jurnalistik.
Dan dalam kondisi seperti itulah, penuh ingus dan seratus persen flu, saya memulai petualangan saya di Dinas P dan P dalam sebuah Safari Jurnalistik.
***
Tanggal 2 Maret 2009.
Saya pulang dari sekolah pada pukul 15.00 WIB setelah latihan musik. Meskipun begitu, akibat kebodohan teman saya, si XXXX sialan itu, kami tidak jadi latihan di studio musik!!! Mengapa? Karena masnya penjaga sudah pulang dan teman saya tersebut lupi untuk meminta kunci studio. Padahal, dia dan kroni-kroninya itu sudah sibuk nyinyir dengan bibir mereka yang pengin saya jepit pakai jepitan jemuran: "Jangan makan dulu! Latihan musik dulu! JANGAN MAKAN!"
Dasar gila mereka itu. DILARANG MAKAN? Ingin sekali saya tampar mereka sambil berteriak, "Wooi, hari udah siang, bangun dong! Hari gini gak boleh makan? Kalian mau aku laporin ke Komnas HAM?"
Saya dan beberapa teman saya murka luar biasa atas keputusan sepihak ini. Siapa mereka, sembarangan saja melarang orang? Kalau tahu-tahu salah satu dari kita mendadak mati kelaparan, apa mereka mau nanggung. Dengan semangat '45 yang menggebu-gebu, kami melancarkan pemberontakan besar-besaran: dengan nekatnya kami makan seraya tidak memedulikan apa kata XXXX dan Kroninya itu. Sungguh mengejutkan, simpatisan pendukung revolusi ini ternyata banyak, dan akhirnya berkembang menjadi kudeta. Seluruh anggota kelompok akhirnya makan dan pemerintahan otoriter XXXX dan Kroninya pun jatuh ke dalam liang eek kucing.
Tapi ya itu tadi hasilnya... Masnya keburu pulang. Saya pun akhirnya juga pulang. Latihan musik gagal.
5 Maret 2009.
Kami akhirnya latihan musik lagi. Tidak di studio yang sudah di-booking pihak lainya (Sebel deh saya jadinya... Emosi terus!!!). Dengan meksonya kami latihan di aula. Namun justru si XXXX hilang begitupun anak-anak lainnya. Maka saya memilih mengikuti rapat OSIS dahulu... yang ternyata juga berlangsung di Aula. Bahkan meskipun saya telat sepuluh menit, para pengurus inti menobatkan saya sebagai salah satu anggota yang datang tepat waktu (nyahaha... terima kasih Dheru, Anda amat baik sekali... lebih baik dari Pak Amat, malah...) dan dipisahkan dari Kelompok Anak Terlambat. Si XXXX beserta anggota gengnya yang aneh itu ternyata termasuk terlambat, dan akhirnya mereka pun dibentak-bentak oleh Nyai Marendita.
Rapat pun berlalu... jam dua, melihat perkembangan rapat yang sudah mulai tidak produktif, saya meminta ijin untuk lain. Loading... dan dalam dua detik, access accepted. Saya pun akhirnya mulai bergabung dengan kelompok musik dan dengan suara saya yang rada gerok akibat serangan flu, mulai menjalankan tugas saya sebagai vokalis.
(Satu pertanyaan besar yang muncul adalah, mengapa semua koran tanggal 6 Maret 2009 tidak ada yang berheadline "AULA SMP N 5 YOGYAKARTA RUNTUH MENDADAK: Diduga Terkait Aktivitas Gelombang Supermegaultrasonik dari Suara Setan Seorang Murid")
Akhirnya tugas musik selesai... Saya pulang setelah jemputan saya yang berwarna kuning datang. Saya pun membayar upah Rp 1.500,00 kepada asisten supir saya, dan sementara kendaraan besar itu melaju, saya mulai merasa waswas: Akankah hari ini hujan, mengingat mega mendung mengerikan sudah berkerumun di langit sedari tadi?
Tapi saya berhasil mencapai kediaman saya sebelum hujan sempat turun. Waktu menunjukkan pukul 15.30--itu berarti, saya masih sempat mengejar waktu untuk les. Jangan lupa, hari itu hari kamis, sehingga saya harus mengikuti lembimjar Neutron.
Air hangat dengan campuran sirih dan serai sebagai obat alergi pun akhirnya siap. Saya cebar-cebur di kamar mandi, menyanyi dengan suara yang mengguncang dunia (harap dipahami secara denotatif), serta berlagak seakan saya penyanyi yang telah menaklukkan dunia (dalam pemahaman cara yang cenderung destruktif). Dan segera semuanya selesai.
Sepeda dikeluarkan, saya bersiap menggenjot...
...tapi akhirnya hujan turun.
WAAAA. TIDAAAK. Satu hal yang paling tidak saya inginkan sekarang adalah berhujan-hujanan lagi, tidak setelah kejadian dalam post Tidak Ada yang Romantis dari Hujan. Saya berniat membolos, tetapi teringat bahwa saya sudah membolos lima kali; dan itu berarti, kakak saya yang lambanluarbiasa, nyinyirtiadatara, dan sokketattanpaampun itu tidak akan memperbolehkan saya.
Benarlah, saat saya berkonsultasi, bahkan sebelum selesai ia memotong dengan suaranya yang membuat tikus merinding: "Ora entuk! Kowe wis mbolos ping lima! Nganggo mantel lak ya isa, tha?"
Kemarahan yang mengikuti tiada terkira. Sungguh, ingin sekali saya balas berseru, "Dasar tjah klemat-klemet, mbok ya kowe ki nyadar yen ora penak ngepit pas udan-udan! Wis raine teles, angine ngabul-abulake mantel, ngelek banyu udan maneh! Dasar tjah sing pikirane sempit!" dan ribuan serapah yang tidak sepantasnya ditulis disini, mengingat blog saya nanti bisa-bisa dihapus oleh pengawas pemerintah akibat memuat hal-hal tidak senonoh (kok bahasanya nggak enak sih?).
Seraya bersungut-sungut akibat marah luar biasa, saya segera menarik mantel dan mengenakannya, kemudian mulai bersepeda. Saya tidak mau mendeskripsikan kejadiannya: kurang lebih sama, bahkan dalam beberapa hal cenderung lebih mengerikan daripada deskripsi dalam post Tidak Ada yang Romantis dari Hujan mengingat saya sedang flu; kecuali bagian bahwa tas saya bodhol karena memang saya sudah ganti tas.
Saya memang tiba di Neutron dengan selamat, tapi kakak saya dengan kebodohannya telah menyebabkan celaka pada saya: sementara tubuh masih basah, AC dalam kelas masih bertiup, dan hasilnya adalah...
FLU. TOTAL. BUKAN CUMA ALERGI: FLU. TOTAL. LENGKAP DENGAN BATUK, PUSING, DEMAM, DAN TETEK BENGEK LAINNYA.
Sambil menahan segala kemurkaan dan hasrat-ingin-ngumbel saya pun mengutuk kakak saya tersebut, berharap ia mendapat balasan yang setimpal atas apa yang ia dapatkan. Sepanjang pelajaran di Neutron itu saya tidak henti-hentinya bersin, batuk, serta ragam flu lainnya, menyebabkan saya menjadi sasaran tawa dan gunjingan menghina segelintir orang, yang dimaksudkan diam-diam, namun justru jadi diketahui oleh umum (Hukumlah pula para penghina ini dengan azab-Mu, Ya Rabbi...)
Bel pulang berbunyi. Hujan sudah berhenti sepenuhnya dan saya pulang--perjalanan pulang paling tidak mengenakkan sedunia. Bayangkan, saya sudah tidak dapat konsentrasi sedikitpun dalam menyetir!!! Setidaknya tiga kali saya hampir menabrak pohon, atau orang, atau kejeglong lubang, atau keblasuk ke jalan rusak, atau jatuh kejlungup dari sepeda. Sengsaranya tiada terkira. Dalam hati, saya menduga, orang-orang yang melihat saya pasti membatin, "Ini anak naik sepeda kok sambil mabox..."
Setelah bersusah payah menyeberang jalan, saya melalui sebuah gang kecil yang membawa saya menuju jalan pintas ke belakang perumahan saya. Saya berhenti di sebuah toko untuk membeli spidol hitam. Di sini, saya mulai mendapat Sindrom Bersinus Kayaus Topanus Plus Lesus. Dengan sangat tidak konsentrasinya saya memarkir sepeda, yang langsung ambruk; kemudian mencari-cari dompet yang ternyata berada di dalam kantong. Bahkan saat memilih spidol saya masih bersin, dan dengan malu saya mendapati penjualnya menatap saya dengan iba.
Batinnya, "Aduh, ini anak kasihan sekali, udah teler sampai sekarat kok ya malah beli spidol bukannya obat, apa umbelnya sudah mempengaruhi otak..."
Dengan tidak peduli saya pun tetap membeli spidol. Kembali ke sepeda, saya segera menaikinya sebelum menyadari bahwa sepeda masih dikunci. MALU BANGET DEH, APALAGI DILIHATIN SAMA BAPAK-IBUNYA PEMILIK TOKO. Jadi saya mencari kunci, yang berada di dompet; kemudian mendapati dompet saya tidak ada di bagian dalam tas; maupun bagian depan tas; dan ternyata cuma di saku saya.
(Bapak-ibu pemilik toko: "Ya Allah, tolong berilah ketabahan kepada anak ini, serta kesembuhan baginya, supaya otaknya bisa bersih dari umbel dan ia kembali kepada konsentrasi yang lurus...")
Akhir kata, saya mengayuh sepeda untuk segera pulang. Perjalanan pulang masih sama tidak masuk akalnya dengan perjalanan sebelumnya, sama-sama keblasuk, kejeglong, kejlungup. Dan apa yang menanti di rumah?
Sekali lagi, "Pite dilebokake garasi wetan! Sepedanya dimasukkan garasi timur!"
Murka luar biasa--tapi saya tidak berani menolak karena yang bicara adalah bapak saya. Dengan mutungnya saya menaruh sepeda di garasi--tepatnya membanting sepeda di garasi--dan segera melepaskan segala mantel basah sialan dan properti kuyup lainnya. Dan saya segera naik ke kamar, membiarkan diri saya teriak-teriak murka tidak jelas.
(Ibu saya: "Ya Allah, ada apa dengan anakku? Setan apa yang menyambet dirinya? Sadarkanlah ia, Ya Rabbi!")
Apapun yang mungkin dibayangkan oleh orang-orang yang mendapati saya dalam keadaan setengah-histeris, setengah-gila, setengah-teler, dan seratus-persen-penuh-umbel-dan-flu, kakak saya telah menjatuhkan efek kebodohannya kepada saya:
FLU TOTAL, BUKAN CUMA FLU ALERGI, LENGKAP DENGAN BATUK, PANAS, KECAPEKAN, DAN SEGALA PROPERTI FLU TOTAL LAINNYA.
Sebuah malapetaka sempurna untuk anak yang akan mengikuti Safari Jurnalistik.
Dan dalam kondisi seperti itulah, penuh ingus dan seratus persen flu, saya memulai petualangan saya di Dinas P dan P dalam sebuah Safari Jurnalistik.